WAKTU
menyempurnakan segalanya. Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak
ada yang abadi. Juga di rumah seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala,
sembilan mulut, sembilan perut di rumah itu. Kami sebut keluarga R karena
namanya semua diawali huruf R. Mulai Rus’ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas
tujuh anak yang berleret susun paku: Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam,
Rismun, Rusmin, dan Ramena.
Keluarga R
dapat pula kita tandai dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari
rata-rata kepala manusia, serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan
tak pernah mengatup, perut bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya
denganku, dan Rismun sang adik, ditambah perangai balaku baruak alias
nakal, rakus, bandel, kurang ajar tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai
mengarah perilaku itu, kendati masih tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang
terlihat direbut, dipurukkan ke mulut. Ramena yang berumur beberapa bulan pun
demikian. Tidak henti menggeliat, meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar
ibu, tiap kali bayi serupa kera itu dibawa ibunya atau Rosmalia main ke
rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi Ramena tetap meliuk-liuk seolah
terbuat dari karet.
Rustam dan
Rismun, bukan cuma lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di
pohon jambu, mangga atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung
melihat ibu memasak. Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang
dimasak diangkat dari penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru
ibu, tidak jarang dengan menokok tangan keduanya. "Basuh tangan
dulu!," Dua bersaudara itu terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu
menyendok dua piring nasi, sayur, sekerat ikan, atau kentang goreng balado.
Sedang
lahap-lahap begitu kadang aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya
tergeragap, menyeringai menampakkan taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan
selesai makan ngeluyur beriringan bak beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku
muncul saat mereka dicegah mencomot sesuatu. Selain kubentak, kusepak.
"Rakus!," Keduanya lagi-lagi menyeringai, kabur, tetapi tak lama
mencogok kembali. Ngehek benar!
Hanya
saja, ibu dan ayah tak suka aku begitu. "Kenapa harus kasar dan
marah-marah," tegur ayah. "Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah
dan tidak suka kepada sesama!"
"Kasihan,"
ibu menambahkan. "Lagi pula, takkan mengurangi kalau kita beri."
Memang
tidak mengurangi. Mangga atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang
diminta Rustam juga potongan potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku
tak digunakan. Ibu sesekali memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku
menengok kepala bak jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain,
tidak pernah Rustam tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun.
Keduanya sama, cuma nama saja dibolak-balik.
Satu-satunya
yang meredam rasa gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu
Ainah langsung terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan
berkembang biak di situ. Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku
cukup mendesiskan "ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga
bisa kusalin seutuhnya, hingga ke titik-koma.
Tetapi itu
tetap tak membuatku cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang
jalan itu; mengantar gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa
saja sebagai pengganjal perut. Ada
saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka
kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa
mereka?"
"Menyanyi!"
"Menyanyi?"
"Menyanyi.
Ngobrol. Tertawa-tawa!"
Itu lagi
kebiasaan sekaligus keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak
Rus'ad dan nyonya, kemudian mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak
ada apa-apa.
Pernah,
usai magrib, aku tak dapat mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan
ke rumah seberang jalan itu. Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara
orang menyanyi, bercakap-cakap, diselingi gelak tawa. Lantas senyap,
terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di ambang pintu. Berpasang-pasang mata
terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku. Kemudian Bu Rakena senyum-senyum
menghampiri.
Pulangnya,
iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam kulekapkan kuping ke dinding.
"Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau tidak Rusmin, tentu Rismun.
Bisa juga Rustam.
"Sabar,
sabar. Semua dapat. Semuanya diberi."
"Tapi
aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!"
"Adik
dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!"
Sesampai
di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa bumbu.
***
ANGGOTA
keluarga R kemudian lenyap satu-satu. Mula-mula Ridwan, anak pertama, yang
suka senyum serta penyapa. Konon dibawa famili ke Jakarta. Menyusul Ruslan, ke Medan, juga dibawa
keluarga. Di tempat kami wujud kekerabatan seperti itu. Mereka yang merantau,
apalagi jaya, menjelma lokomotif penarik bagi yang lain. Jadi wajar bila Anda
jumpa orang daerahku di mana pun kapan pun di pelbagai belahan dunia. Mereka
pasti tidak sendiri di sana.
Lalu
kepala keluarga, Rus'ad, lenyap. Tapi tak lama, sekitar lima-enam bulan.
Barangkali penguasa tahun '66 juga berpikir, tak mungkin tukang gerobak
seperti Pak Rus'ad ancaman bagi negara, sehingga ia dilepas kembali setelah
di bui. Jika pun ikut-ikutan organisasi pasti agar lebih mudah dapat minyak
tanah, sabun, atau gula; seperti ayah masuk koperasi.
Tetapi Pak
Rus’ad tidak balik ke profesi semula pulang dari bui. Alih profesi jadi anak-ula,
alias kernet lepas bus jurusan Bukittinggi --terkadang ikut bus ayah.
Tubuhnya tambah kurus, kepalanya makin mirip jerangkong, keluar penjara.
Dengan kondisi begitu bisa-bisa dia yang didorong gerobak disarati
berkarung-karung beras, kelapa, minyak goreng, sayur-mayur, entah apa lagi.
Masa itu, pedagang di kota
kami mengandalkan gerobak bertenaga manusia mengangkut mata dagangan dari
stasiun ke pasar atau sebaliknya. Sejumlah orang bergiat dalam jasa ini,
tetapi tidak seorang pun bertubuh kerempeng dan berkepala besar bagaikan
jerangkong.
Sementara
itu, Rosmalia dan Rustam lenyap saat Pak Rus'ad di penjara. Rosmalia dibawa
famili entah ke Dumai, Rumbai, Duri, tidak kuketahui. Yang tahu dan merasa
kehilangan abangku, Zein. Selain sama-sama kelas satu SMA, sekelas pula, Zein
ada hati pada Rosmalia. Itu sebabnya Zein oposan kami di rumah selain ibu dan
ayah.
Tapi Zein
berlebihan. Mati-matian dia bela keluarga R. Juga kelewat sensitif. Misalnya,
kalau aku mengacungkan lidi sate kota
kami yang terkenal sedap itu dengan menggoyang-goyangnya, Zein langsung
membelalak. "Tidak baik begitu!" dia bilang. "Kalau rezeki Pak
Rus’ad sebaik ayah tentu anak-anaknya sehat seperti kita!"
Rosmalia
sebenarnya manis. Bahkan cantik, dengan kulit halus warna gading, suara dan
senyum lembut, bola mata hitam-bulat tidak berputar-putar liar. Tapi seperti
saudara-saudara serta orang tuanya, tubuh Rosmalia lurus saja, panjang, dan
memang mirip lidi sate.
Ke mana raibnya
Rustam diajak famili, tidak kuketahui. Mungkin ke Bandung,
Semarang, Surabaya, sungguh tak terang. Aku juga tak
bernafsu mengetahui. Sebagai kawan Rustam hanyalah mentimun bungkuk, ada tapi
tidak masuk hitungan --kecuali ada ulangan. Selain itu, setahun setelah
kepergiannya, tamat SD, giliranku lenyap dari kota kami. Ikut, sekaligus disekolahkan
abang sulung yang sudah mandiri di Jakarta.
Hari-hariku
selanjutnya sarat dengan kesibukan sekolah, kuliah, bekerja, lantas menikah.
Keluarga R sesekali saja teringat. Misalnya jumpa relasi bernama Risman,
Rasmin, Rismuji. Dan kalaupun ingat tidak merangsang tanya bila aku pulang
sesekali ke kota
kelahiran. Sampai satu hari tiga puluh tiga tahun sesudah kepergianku, mataku
bagai terganjal tidak dapat berkedip menatap seorang pemakalah dalam suatu
seminar di Bandung.
Rustam Rus'ad, PhD ekonomi lulusan universitas kenamaan di Amerika Serikat!
Memang
sulit dipercaya. Tapi ketika moderator membaca biodatanya, perlahan mataku
berkedip lagi. Ia memang Rustam si mentimun bungkuk, keluarga jerangkong.
Namun mulutnya tidak lagi menerowong. Dan meski bagian depan kepalanya botak
bagai kepalaku, karena usia, kini tak mirip jerangkong. Malah serasi dengan
tubuhnya yang bugar berisi, membuatku teringat kembali ucapan abangku Zein
yang telah tiada, mati muda.
Kudekati
dia saat rehat. Dan bila aku masih tertegun-tegun, Rustam langsung
terbelalak. Sekejap kemudian didekapnya aku erat-erat. "Mandius!
Mandius!” ujarnya dengan suara bergetar, dan serak. Kepada orang-orang yang
terpana di sekitar kami, ia lalu berucap: “Saudara saya! Sahabat baik waktu
kecil!" Alamak!
***
PULANG
libur ke kota
kelahiran bersama istri, anak-anak, dan calon menantu, kuceritakan pertemuan
itu kepada ibu. "Jumpa aku si Rustam di Bandung," kataku.
"O,
ya," balas Ibu. "Memang di Bandung dia. Abangnya si Ruslan sekarang
di Batam, pengusaha hotel. Adiknya Rusmin, jadi dosen di Medan."
Betapa
ajaib sang waktu memburai-burai nasib, sekaligus menatanya kembali. Kutoleh
rumah seberang jalan itu melalui jendela yang lebar terbuka. "Siapa
sekarang penghuninya?"
"Anak
si Ridwan nomor tiga," sahut Ibu. "Si Ridwan pun kerap pulang
setelah pensiun dari departemen luar negeri. Selalu singgah dia kemari."
Dari Ibu
pula kutahu Rismun sudah meninggal dunia. Bukan jatuh dari tembok pekarangan
kami, tetapi helikopter, pulang survei minyak di lepas pantai Pulau Pagai.
Rismun insinyur perminyakan. Rosmalia istri wali kota
di Sumatra. Dan ibu mereka, Rakena, bersama
Ramena. Ramena sendiri, yang sejak kecil dibawa abangnya Ridwan ketika tugas
di sejumlah negara Eropa, guru balet di Paris; menikahi pria bule, punya anak
satu. Tentu bukan karena namanya serupa nama Rumania, atau orang-orang Eropa
Timur.
"Senang
hidup si Rakena itu sekarang, telah dua kali naik haji," ujar ibu.
"Tapi Tuhan punya rencana lebih sempurna, buru-buru memanggil suaminya,
seperti juga ayahmu."
Sebagaimana
ayah, Pak Rus’ad telah wafat. Jauh lebih dulu dari ayah, kira-kira setahun
sekeluar penjara. Walau lima-enam bulan saja di bui, agaknya tidak kuat batin
dan tubuhnya yang tipis-kerempeng bak jerangkong menanggung derita.
Jakarta, 24 Juni 2005
|
0 comments:
Post a Comment