Sunday, 22 June 2014

Aroma Rempah




Cerpen Adek Alwi

Sabtu, 11 November 2006
WAKTU kecil, ia suka memasukkan bunga cengkeh atau kulit manis ke dalam saku. Ia ingin seperti ayahnya. Baju, tubuh, bahkan peluh ayahnya beraroma rempah.

"Ayah harum," katanya sambil memijiti kaki ayahnya. "Seperti cengkeh, kulit manis, pala!" Ayahnya diam saja. Dia terus juga bicara.

"Aku suka cengkeh, kulit manis, pala!" katanya lagi, suatu hari. Ayahnya tidak bereaksi. Dia tetap bicara.


"Kata orang kedai rempah Ayah sudah tua sekali. Betul itu, Yah? Mereka bilang kita turunan pedagang rempah. Sejak kakek buyutku, dan kakek-kakeknya lagi. Betul, Yah?" Ayahnya tetap diam, memejamkan mata. Ia tahu ayahnya tak tidur. Dan ketika ia lirik ke pintu, dia lihat ibunya mendelik sebelum keluar kamar.

"Basuh tanganmu bersih-bersih!" ujar ibunya di belakang. "Tubuh dan bajumu pun bau rempah sekarang!" Ibunya kembali mendelik.

Ia tahu ibunya tak suka aroma cengkeh, pala, kulit manis, tapi tak tahu kenapa. Kakak-kakaknya bilang itu biasa. "Selera dan penciuman orang beda," ujar kakaknya tertua, yang terbaik, dan cantik. Teman sekolahnya juga tak suka aroma rempah, tapi ada yang minta bunga cengkeh, memasukkan ke saku. "Harum! Segar!" ujar mereka.

"Tapi Kakak suka aroma rempah?" Kakak sulungnya tak langsung menyahut. Menatap dia, senyum, mengangguk cepat-cepat. Lantas ia teruskan pekerjaannya menisik baju-baju yang sobek atau retas benangnya. Dia sering iba melihat kakaknya. Gaun kakaknya tidak banyak dan semua sudah tua, tak seperti baju kakak perempuan kawan-kawannya. Tapi kakak sulungnya tidak terlihat sedih atau malu memakai baju-baju itu. Biasa dan wajar saja sikapnya.

Sebetulnya, orang tuanya tidak kuat menguliahkan kakaknya ke kota provinsi, karena untuk biaya sehari-hari saja hasil kedai ayahnya tak memadai. Tapi kakaknya berkeras. Ia memberi les Inggris, menerima jahitan, membuat kue dan menitipkan ke toko cina untuk biaya kuliah. Sebulan atau dua minggu sekali kakaknya pulang ke kota mereka. Saat kembali dibekali ibu lauk kering, sedikit beras. Ia selalu mengantar kakaknya ke stasiun bila kembali ke kota provinsi. Di jalan atau di stasiun pun wajah kakaknya terlihat wajar, dengan mata indah yang menyorot lembut, tidak peduli pada pandangan orang-orang yang sering jatuh ke bajunya.

"Bagaimana sekolahmu? Ada kau rajin belajar?" tanya kakaknya di stasiun.
"Selalu, Kak. Aku bertekad terus jadi juara kelas!"

"Kakak senang." Kakaknya tersenyum. "Apalagi bila tekadmu tidak berkelahi juga besar." Dia tersipu.

"Orang tak dihormati karena jago berkelahi," tambah kakaknya. "Perilaku baik dan pengetahuan membuat seseorang dihormati." Ia melihat kepada kakaknya dengan sayang. Saat-saat begitu ia merasa makin akrab dengan kakaknya yang cantik itu. Dan tempo-tempo ia bercerita banyak, termasuk pertengkaran orangtua mereka. "Tak elok menguping pembicaraan orangtua," tegur kakaknya.
"Jangan kau lakukan itu lagi."
"Mereka bertengkar di dekatku. Ibu yang mulai. Selalu mengeluh!" dia bilang.
"Biasa orang berumah tangga bertengkar," sahut kakaknya. "Itu tanda mereka saling perhatian."
"Ini tak biasa, Kak! Ibu mengomel terus, sampai ayah pergi, tidur di kedai!"

Kakaknya diam. Tertunduk. Wajahnya muram bak hari berkabut. Ia menyesal dan tidak tega lagi bercerita. Bahwa sejak itu ayahnya berubah. Lebih pendiam, seolah tidak suka dia datang ke kedai. Bila dia datang ayahnya buru-buru saja memberi uang, menyuruh pulang. Padahal ia tak ingin uang. Ingin dekat ayah, ikut melayani pembeli, menikmati aroma rempah yang menguar dari semua penjuru kedai.

* * *

PADA masa puber, ketika kawan SMP lalu SMA-nya menyegarkan mulut di malam Minggu dengan permen, dia biasa mengulum bunga cengkeh atau sekerat kulit manis. Seperti waktu kecil, reaksi teman-temannya beragam. Ada yang suka, banyak yang tidak. "Dasar turunan pedagang rempah!" komentar anak-anak yang tak suka. Teman-teman gadisnya tak ada yang suka. Remaja-remaja putri cantik-manis yang dipacarinya mendesah kepedasan sewaktu bibir mereka bertemu malam Minggu. Satu-dua orang nyaris meludah. "Ih, pedas! Kamu mengunyah cengkeh ya! Dasar!" Hubungan mereka putus. Ia sedih, tapi tidak marah disebut turunan pedagang rempah. Masa itu tumbuh kesadaran, ia patut bangga mewarisi darah pedagang rempah. Tidak semua orang turunan pedagang rempah yang bersejarah di masa lalu.

Ayahnya mengelola kedai rempah satu-satunya pula di kota mereka. Meskipun ayahnya malas bercerita, apalagi dekat ibunya, dari banyak orang dia tahu kedai itu telah berjejak lama, ratusan tahun. Dirintis entah oleh buyut-buyutnya yang keberapa, diwariskan turun-temurun, lalu sampai ke tangan ayahnya. Jejak-jejak kejayaan kedai itu terlihat dari bentuk bangunannya. Juga kedai-kedai di sebelahnya, yang dulu merupakan bagian namun kemudian dijual ayahnya lantaran terdesak oleh berbagai kebutuhan. Ayahnya tidak punya keahlian lain untuk mendapat uang selain dari kedai rempah tua itu.

Tapi, saat ia di SMP lalu SMA kehidupan keluarganya telah lebih baik. Kakak sulungnya sudah tamat kuliah, kerja, tetap membuat kue dan juga menjahit. Abangnya bekerja, meski tak kuliah. Begitu pula abangnya satu lagi. Kecuali itu, pada suatu hari kedai ayahnya dikunjungi dua orang aneh. Seorang Belanda tua, bersama pria muda gagah, yang kemudian diketahui cucu si gaek. Begitu tiba si Opa Belanda itu langsung menanyakan kakeknya, Rafilus, dengan bahasa Indonesia patah-patah serta Belanda.

"Rafilus ayah saya, Tuan. Mijn vader," jawab ayahnya dengan Belanda patah-patah tambah Indonesia. "Tuan terlambat. Ayah meninggal dua puluh tiga tahun lalu."

Opa Belanda itu terduduk, nyaris pingsan, menangis tersedak. Cucunya sibuk membujuk. "Sterkte, Opa! Tabah. Sabar!" Dia yang waktu itu ada di kedai buru-buru disuruh ayahnya memesan teh hangat ke warung sebelah.
"Cepat, cepat! Benar-benar pingsan Opa itu nanti!" ujar ayahnya.

"Mijn vriend...." Si Opa merintih setelah meneguk teh. Keringatnya membersit sebesar-besar merica. Tapi napasnya mulai reda. "Rafilus mijn goed vriend."


Ayahnya terharu, manggut-manggut. Belanda gaek itu lalu bercerita. Dulu dia tinggal sekaligus eksportir rempah-rempah di Padang. Dan kakeknya, Rafilus Rajo Alam pemasok terbesar dagangan si Opa itu. "Rafilus orang baik. Tekun, jujur, selalu tepati janji," ujar si Opa, yang pulang ke Negeri Belanda saat Jepang mulai merajalela di Asia Tenggara.
"Sejak itu Tuan tidak jumpa ayah saya?" tanya ayahnya.
"Betul. Sejak itu tidak jumpa Rafilus." Opa manggut-manggut, berwajah duka.
"Dan sejak itu Tuan tidak berdagang rempah-rempah?"

"Nee!" Nada Opa Dick meninggi. Disertai goyang tangan berkali-kali. "Saya punya kedai rempah di Holland. Cucu saya yang urus. Johann!" Pria muda gagah itu mengangguk ramah.

Kakek-cucu itu diajak ayahnya singgah ke rumah, tapi si Opa menolak karena mau ke Bukittinggi. Besoknya terbang ke Medan, mencari sahabat lamanya sebelum perang.
"Orang tidak mungkin lupa masa lalu dan kawan lama, bukan?" dia bilang.
"Oh. Betul, Tuan. Terima kasih Tuan masih ingat ayah saya," sahut ayahnya.

Sebelum mereka berangkat, disepakati perjanjian dagang ayahnya dan Johann. Ayahnya akan mengirim kulit manis, cengkeh, pala, jintan, merica, ketumbar, empat bulan sekali ke Belanda. Johann membayar sesuai aturan main. Buat kiriman pertama, ia bayar kontan. Ketiganya berjabat tangan. Tersenyum. Dia ikut disalami Johann dan si Opa, yang menepuk-nepuk bahunya dengan mata berkaca.
"Rafilus, oh, wajahmu mirip sekali Rafilus!"

"Orang baik. Juga lihai," puji ayahnya sepergi keduanya. "Dia ingatkan kita soal kejujuran dan janji dengan mencontohkan kakekmu. Ayo, kita kemasi pesanan mereka biar tepat waktu tiba di Belanda!"

Ketika peristiwa itu diceritakan di rumah, semua gembira. Hanya ibunya acuh tak acuh. Ibunya masih tak suka pakaiannya bau rempah, walau sejak kelas lima SD ia mencuci baju sendiri. Ayahnya juga sudah kembali ke sikap semula, membiarkan dia main ke kedai. Masa SMP dan SMA itu ayahnya mau pula bercerita, meski sepotong-sepotong. Bahwa betul mereka turunan pedagang rempah. Benar kedai ayahnya sudah tua, ratusan tahun, sejak kota mereka kampung kecil penampung rempah-rempah dari pedalaman. "Jadi, bisa disebut buyut-buyut kita termasuk orang yang mendirikan kota ini," cerita ayahnya.

* * *

BERBEDA dengan tiga kakaknya yang disekolahkan hingga perguruan tinggi di kota provinsi, ia kuliah di Ibu Kota. Kemudian kerja, lalu tinggal di sana. Dan suatu hari, pada sebuah pesta, dia kenalan dengan seorang perempuan setelah lama enggan mendekati wanita karena takut kecewa seperti masa SMA. Tetapi wajah serta tubuh gadis itu menyiratkan kesuburan. Matanya bintang yang berkerlip di langit jauh. Maka ketika musik lembut dimainkan dia beranikan diri mengajak gadis itu berdansa.

"Aroma rempah!" Gadis itu tersenyum anggun, saat mereka mulai mengayun langkah. "Hm, saya suka aroma rempah!"
Matanya kontan terbelalak.

"Mengapa kaget?" Gadis itu senyum kembali. "Parfumku juga, kan?" Seketika dia sadar bahwa aroma rempah yang sejak tadi menguar tak hanya berasal dari bunga cengkeh di mulutnya. Dan sebulan kemudian, dilamarnya gadis itu. "Dengan senang hati," balas si gadis tidak malu-malu. "Aku juga suka kamu. Barangkali kita memang ditakdirkan bertemu. Sesama penyuka rempah, pencinta sejarah."

Sayang, waktu itu ayahnya sudah meninggal. Ibunya juga. Dan kedai rempah keluarganya tidak ada lagi, lenyap digilas zaman. Tidak jelas, bagaimana nasib kedai rempah Johann di Negeri Belanda, karena Opa Dick itu pun telah lama tiada. ***

Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

0 comments:

Post a Comment