Cerpen Adek Alwi
Sabtu, 11 November 2006
WAKTU kecil, ia suka memasukkan
bunga cengkeh atau kulit manis ke dalam saku. Ia ingin seperti ayahnya. Baju,
tubuh, bahkan peluh ayahnya beraroma rempah.
"Ayah harum," katanya
sambil memijiti kaki ayahnya. "Seperti cengkeh, kulit manis, pala!"
Ayahnya diam saja. Dia terus juga bicara.
"Aku suka cengkeh, kulit
manis, pala!" katanya lagi, suatu hari. Ayahnya tidak bereaksi. Dia tetap
bicara.
"Kata orang kedai rempah
Ayah sudah tua sekali. Betul itu, Yah? Mereka bilang kita turunan pedagang
rempah. Sejak kakek buyutku, dan kakek-kakeknya lagi. Betul, Yah?" Ayahnya
tetap diam, memejamkan mata. Ia tahu ayahnya tak tidur. Dan ketika ia lirik ke
pintu, dia lihat ibunya mendelik sebelum keluar kamar.
"Basuh tanganmu
bersih-bersih!" ujar ibunya di belakang. "Tubuh dan bajumu pun bau
rempah sekarang!" Ibunya kembali mendelik.
Ia tahu ibunya tak suka aroma
cengkeh, pala, kulit manis, tapi tak tahu kenapa. Kakak-kakaknya bilang itu
biasa. "Selera dan penciuman orang beda," ujar kakaknya tertua, yang
terbaik, dan cantik. Teman sekolahnya juga tak suka aroma rempah, tapi ada yang
minta bunga cengkeh, memasukkan ke saku. "Harum! Segar!" ujar mereka.
"Tapi Kakak suka aroma
rempah?" Kakak sulungnya tak langsung menyahut. Menatap dia, senyum,
mengangguk cepat-cepat. Lantas ia teruskan pekerjaannya menisik baju-baju yang
sobek atau retas benangnya. Dia sering iba melihat kakaknya. Gaun kakaknya
tidak banyak dan semua sudah tua, tak seperti baju kakak perempuan kawan-kawannya.
Tapi kakak sulungnya tidak terlihat sedih atau malu memakai baju-baju itu.
Biasa dan wajar saja sikapnya.
Sebetulnya, orang tuanya tidak
kuat menguliahkan kakaknya ke kota
provinsi, karena untuk biaya sehari-hari saja hasil kedai ayahnya tak memadai.
Tapi kakaknya berkeras. Ia memberi les Inggris, menerima jahitan, membuat kue
dan menitipkan ke toko cina untuk biaya kuliah. Sebulan atau dua minggu sekali
kakaknya pulang ke kota
mereka. Saat kembali dibekali ibu lauk kering, sedikit beras. Ia selalu
mengantar kakaknya ke stasiun bila kembali ke kota provinsi. Di jalan atau di stasiun pun
wajah kakaknya terlihat wajar, dengan mata indah yang menyorot lembut, tidak
peduli pada pandangan orang-orang yang sering jatuh ke bajunya.
"Bagaimana sekolahmu? Ada kau rajin
belajar?" tanya kakaknya di stasiun.
"Selalu, Kak. Aku bertekad
terus jadi juara kelas!"
"Kakak senang."
Kakaknya tersenyum. "Apalagi bila tekadmu tidak berkelahi juga
besar." Dia tersipu.
"Orang tak dihormati karena
jago berkelahi," tambah kakaknya. "Perilaku baik dan pengetahuan
membuat seseorang dihormati." Ia melihat kepada kakaknya dengan sayang.
Saat-saat begitu ia merasa makin akrab dengan kakaknya yang cantik itu. Dan
tempo-tempo ia bercerita banyak, termasuk pertengkaran orangtua mereka.
"Tak elok menguping pembicaraan orangtua," tegur kakaknya.
"Jangan kau lakukan itu
lagi."
"Mereka bertengkar di
dekatku. Ibu yang mulai. Selalu mengeluh!" dia bilang.
"Biasa orang berumah tangga
bertengkar," sahut kakaknya. "Itu tanda mereka saling
perhatian."
"Ini tak biasa, Kak! Ibu
mengomel terus, sampai ayah pergi, tidur di kedai!"
Kakaknya diam. Tertunduk.
Wajahnya muram bak hari berkabut. Ia menyesal dan tidak tega lagi bercerita.
Bahwa sejak itu ayahnya berubah. Lebih pendiam, seolah tidak suka dia datang ke
kedai. Bila dia datang ayahnya buru-buru saja memberi uang, menyuruh pulang.
Padahal ia tak ingin uang. Ingin dekat ayah, ikut melayani pembeli, menikmati
aroma rempah yang menguar dari semua penjuru kedai.
* * *
PADA masa puber, ketika kawan SMP
lalu SMA-nya menyegarkan mulut di malam Minggu dengan permen, dia biasa
mengulum bunga cengkeh atau sekerat kulit manis. Seperti waktu kecil, reaksi
teman-temannya beragam. Ada
yang suka, banyak yang tidak. "Dasar turunan pedagang rempah!" komentar
anak-anak yang tak suka. Teman-teman gadisnya tak ada yang suka. Remaja-remaja
putri cantik-manis yang dipacarinya mendesah kepedasan sewaktu bibir mereka
bertemu malam Minggu. Satu-dua orang nyaris meludah. "Ih, pedas! Kamu
mengunyah cengkeh ya! Dasar!" Hubungan mereka putus. Ia sedih, tapi tidak
marah disebut turunan pedagang rempah. Masa itu tumbuh kesadaran, ia patut
bangga mewarisi darah pedagang rempah. Tidak semua orang turunan pedagang
rempah yang bersejarah di masa lalu.
Ayahnya mengelola kedai rempah
satu-satunya pula di kota
mereka. Meskipun ayahnya malas bercerita, apalagi dekat ibunya, dari banyak
orang dia tahu kedai itu telah berjejak lama, ratusan tahun. Dirintis entah
oleh buyut-buyutnya yang keberapa, diwariskan turun-temurun, lalu sampai ke
tangan ayahnya. Jejak-jejak kejayaan kedai itu terlihat dari bentuk
bangunannya. Juga kedai-kedai di sebelahnya, yang dulu merupakan bagian namun
kemudian dijual ayahnya lantaran terdesak oleh berbagai kebutuhan. Ayahnya
tidak punya keahlian lain untuk mendapat uang selain dari kedai rempah tua itu.
Tapi, saat ia di SMP lalu SMA
kehidupan keluarganya telah lebih baik. Kakak sulungnya sudah tamat kuliah,
kerja, tetap membuat kue dan juga menjahit. Abangnya bekerja, meski tak kuliah.
Begitu pula abangnya satu lagi. Kecuali itu, pada suatu hari kedai ayahnya
dikunjungi dua orang aneh. Seorang Belanda tua, bersama pria muda gagah, yang
kemudian diketahui cucu si gaek. Begitu tiba si Opa Belanda itu langsung
menanyakan kakeknya, Rafilus, dengan bahasa Indonesia patah-patah serta
Belanda.
"Rafilus ayah saya, Tuan.
Mijn vader," jawab ayahnya dengan Belanda patah-patah tambah Indonesia.
"Tuan terlambat. Ayah meninggal dua puluh tiga tahun lalu."
Opa Belanda itu terduduk, nyaris
pingsan, menangis tersedak. Cucunya sibuk membujuk. "Sterkte, Opa! Tabah.
Sabar!" Dia yang waktu itu ada di kedai buru-buru disuruh ayahnya memesan
teh hangat ke warung sebelah.
"Cepat, cepat! Benar-benar
pingsan Opa itu nanti!" ujar ayahnya.
"Mijn vriend...." Si
Opa merintih setelah meneguk teh. Keringatnya membersit sebesar-besar merica.
Tapi napasnya mulai reda. "Rafilus mijn goed vriend."
Ayahnya terharu, manggut-manggut.
Belanda gaek itu lalu bercerita. Dulu dia tinggal sekaligus eksportir
rempah-rempah di Padang.
Dan kakeknya, Rafilus Rajo Alam pemasok terbesar dagangan si Opa itu.
"Rafilus orang baik. Tekun, jujur, selalu tepati janji," ujar si Opa,
yang pulang ke Negeri Belanda saat Jepang mulai merajalela di Asia Tenggara.
"Sejak itu Tuan tidak jumpa
ayah saya?" tanya ayahnya.
"Betul. Sejak itu tidak
jumpa Rafilus." Opa manggut-manggut, berwajah duka.
"Dan sejak itu Tuan tidak
berdagang rempah-rempah?"
"Nee!" Nada Opa Dick
meninggi. Disertai goyang tangan berkali-kali. "Saya punya kedai rempah di
Holland. Cucu
saya yang urus. Johann!" Pria muda gagah itu mengangguk ramah.
Kakek-cucu itu diajak ayahnya
singgah ke rumah, tapi si Opa menolak karena mau ke Bukittinggi. Besoknya
terbang ke Medan,
mencari sahabat lamanya sebelum perang.
"Orang tidak mungkin lupa
masa lalu dan kawan lama, bukan?" dia bilang.
"Oh. Betul, Tuan. Terima
kasih Tuan masih ingat ayah saya," sahut ayahnya.
Sebelum mereka berangkat,
disepakati perjanjian dagang ayahnya dan Johann. Ayahnya akan mengirim kulit
manis, cengkeh, pala, jintan, merica, ketumbar, empat bulan sekali ke Belanda.
Johann membayar sesuai aturan main. Buat kiriman pertama, ia bayar kontan.
Ketiganya berjabat tangan. Tersenyum. Dia ikut disalami Johann dan si Opa, yang
menepuk-nepuk bahunya dengan mata berkaca.
"Rafilus, oh, wajahmu mirip
sekali Rafilus!"
"Orang baik. Juga
lihai," puji ayahnya sepergi keduanya. "Dia ingatkan kita soal
kejujuran dan janji dengan mencontohkan kakekmu. Ayo, kita kemasi pesanan
mereka biar tepat waktu tiba di Belanda!"
Ketika peristiwa itu diceritakan
di rumah, semua gembira. Hanya ibunya acuh tak acuh. Ibunya masih tak suka
pakaiannya bau rempah, walau sejak kelas lima
SD ia mencuci baju sendiri.
Ayahnya juga sudah kembali ke sikap semula, membiarkan dia main ke kedai. Masa
SMP dan SMA itu ayahnya mau pula bercerita, meski sepotong-sepotong. Bahwa
betul mereka turunan pedagang rempah. Benar kedai ayahnya sudah tua, ratusan
tahun, sejak kota
mereka kampung kecil penampung rempah-rempah dari pedalaman. "Jadi, bisa
disebut buyut-buyut kita termasuk orang yang mendirikan kota ini," cerita ayahnya.
* * *
BERBEDA dengan tiga kakaknya yang
disekolahkan hingga perguruan tinggi di kota
provinsi, ia kuliah di Ibu Kota.
Kemudian kerja, lalu tinggal di sana.
Dan suatu hari, pada sebuah pesta, dia kenalan dengan seorang perempuan setelah
lama enggan mendekati wanita karena takut kecewa seperti masa SMA. Tetapi wajah
serta tubuh gadis itu menyiratkan kesuburan. Matanya bintang yang berkerlip di
langit jauh. Maka ketika musik lembut dimainkan dia beranikan diri mengajak
gadis itu berdansa.
"Aroma rempah!" Gadis
itu tersenyum anggun, saat mereka mulai mengayun langkah. "Hm, saya suka
aroma rempah!"
Matanya kontan terbelalak.
"Mengapa kaget?" Gadis
itu senyum kembali. "Parfumku juga, kan?"
Seketika dia sadar bahwa aroma rempah yang sejak tadi menguar tak hanya berasal
dari bunga cengkeh di mulutnya. Dan sebulan kemudian, dilamarnya gadis itu.
"Dengan senang hati," balas si gadis tidak malu-malu. "Aku juga
suka kamu. Barangkali kita memang ditakdirkan bertemu. Sesama penyuka rempah,
pencinta sejarah."
Sayang, waktu itu ayahnya sudah
meninggal. Ibunya juga. Dan kedai rempah keluarganya tidak ada lagi, lenyap
digilas zaman. Tidak jelas, bagaimana nasib kedai rempah Johann di Negeri
Belanda, karena Opa Dick itu pun telah lama tiada. ***
Copy Right ©2000 Suara Karya
Online
Powered by Hanoman-i
0 comments:
Post a Comment