Cerpen An. Ismanto
Dimuat di Seputar Indonesia 11/11/2007 Telah Disimak 735 kali
Acara sinetron di televisi baru saja akan
dimulai,tetapi Marni sudah tergopoh-gopoh berpamitan.Bu Santi, yang sudah
maklum,memberi Marni dua bungkus nasi berlauk gurame goreng. Setelah
mengucapkan terima kasih,Marni buru-buru pulang.
SETIBA di rumahnya, yang berdinding separuh bata
separuh papan, dia langsung menuju dapur dan meletakkan makanan pemberian Bu
Santi di atas meja.Dia akan makan nanti bersama Marjo kalau dia sudah pulang.
Kemudian,dia ke kamar tidur dan telentang di dipan.
Kasur dipan itu sudah lapuk dan tanpa seprei,
tetapi Marni merasa punggungnya nyaman. Sebentar kemudian dia sudah terlelap.
Marni terjaga ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya dengan suara
membentak. ?Marni! Marni!? Marni bergegas bangkit dan setengah berlari menuju
pintu depan.
Namun, pintu itu sudah lebih dulu didobrak. Marjo
masuk dengan badan sempoyongan dan menatap nyalang pada Marni. Mulutnya bau
minuman keras. Marni menghampiri lelaki itu untuk membantu berjalan.Tetapi
lelaki itu justru menendang Marni hingga terjungkal di lantai tanah.
Kemudian Marjo memukuli, menendangi, dan menjambaki
Marni. Bu Santi mendengar sayup-sayup suara itu dan mengecilkan suara televisi.
Kini dia dapat mendengar dengan jelas jerit kesakitan seorang perempuan, yang
kemudian berubah menjadi lolongan memilukan. Lalu, dia membesarkan lagi suara
televisinya. Dia bersyukur karena kedua anak perempuannya yang masih kecil
sudah tidur di kamar. ***
Esok harinya,Marni datang ke rumah Bu Santi dengan
wajah memar. Pipinya lebam. Kedua matanya bengkak dan membiru. Dia langsung
mengambil tempat duduknya yang biasa di bawah pohon jambu batu berdaun lebat di
pekarangan dan menyiapkan pisaunya. Dua perempuan setengah baya menyusul duduk
di dekatnya.
Sejenak, mereka memandangi Marni, kemudian
menyiapkan peralatan masing-masing. ?Kau kenapa, Mar? Dipukuli lagi?? tanya Bu
Santi. Marni mengangguk pelan tanpa memandang Bu Santi.Dia sibuk menusuki sebuah
jagung muda yang sudah busuk dengan pisaunya. Bu Santi geleng-geleng dan
mendekat. Dia merinding melihat wajah Marni yang memar itu. ?Kenapa Marjo
memukulimu??
?Semalam dia mabuk. Saya terlambat membuka pintu,?
jawab Marni lirih. Bu Santi mendecakkan lidah. ?Dasar laki-laki....,? bisiknya.
Marjo memang sering memukuli Marni karena sebab-sebab sepele.Mana yang nasi
bikinan Marni terlalu keras, atau teh yang terlalu pahit, atau rumah yang belum
dibersihkan. Bu Santi bersyukur karena nasibnya lebih baik.
Suaminya, yang seorang guru SD negeri yang baik,
tidak pernah memukulnya. Ketika mobil pengangkut jagung datang, Marni dan dua
perempuan setengah baya itu membantu sopir dan Marjo, kernet mobil itu,
membongkar muatan. Selama bekerja, Marjo tidak pernah mengajak Marni bicara,
bahkan melirik pun tidak. Kemudian Marni dan kedua perempuan separuh baya itu
mulai bekerja mengupas kulit luar buah jagung dan memotongi bagian pangkal dan
ujungnya.
Kedua perempuan separuh baya mendapat upah berupa
kulit luar jagung. Kulit itu adalah pakan yang disukai ternak peliharaan
mereka. Hanya Marni yang mendapat upah berupa uang, yang kecil jumlahnya,
karena dia tidak punya ternak. Ketiga perempuan itu harus melakukan pekerjaan
mereka dengan cepat karena sebelum siang semua buah jagung itu sudah harus
direbus di dalam drum besar di dapur.
Menjelang sore, ketika jagung sudah matang, enam
perempuan penjaja akan berdatangan dengan sepeda dan keranjang, mengambil
jagungjagung rebus itu dan menjajakannya ke desa-desa sekitar dan kota
terdekat. Setelah pekerjaan hari itu selesai, Marni tidak pulang.Dia tetap di
rumah Bu Santi, membantu juragan jagung itu mengerjakan pekerjaan rumah tangga
atau menonton televisi.Malam harinya,sekitar jam delapan malam, sebelum Marjo
pulang dari keluyuran,baru dia pulang. ***
Di rumah Marni tidak ada televisi karena uang Marjo
selalu habis di lingkaran judi atau minuman keras. Maka Marni lebih suka berada
di rumah Bu Santi. Selain bisa menonton televisi, dia juga bisa mengagumi rumah
Bu Santi yang lantainya keramik, dindingnya tembok, dan perabotnya lengkap.
Marjo sendiri jarang berada di rumah. Setelah
pekerjaannya menebas dan mengangkut jagung beres, dia lebih sering keluyuran,
berjudi atau mabuk-mabukan. Bu Santi tidak pernah melarang Marni. Malah dia
suka karena Marni sering membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun,
lama kelamaan dia merasa jengah juga. Dia khawatir ketika kedua anak
perempuannya yang masih kecil-kecil itu mulai terbiasa dan akrab dengan Marni.
Bagi Bu Santi, walaupun Marni banyak membantunya,
dia bukan teman yang baik untuk kedua anaknya. Baru delapan bulan Marni tinggal
bersama Marjo. Mereka bertemu di sebuah pentas dangdut di kecamatan. Mereka
tidak menikah.Mereka hanya kumpul kebo. Terang saja itu memancing gunjingan.
Namun, Marjo sudah tuli pada gunjingan orang. Marni pun demikian.
Pernah Pak Kadus menasihati Marjo agar menikahi
Marni secara resmi, tetapi Marjo menganggap sepi nasihat itu. Pak Kadus angkat
tangan,sedangkan para pemuda enggan menggerebek karena kasihan pada Marni.
Sebelum bertemu Marjo, Marni bekerja di sebuah toko di pasar kecamatan.
Sekali seminggu dia pulang ke kampung halamannya,
sebuah dusun kecil yang miskin dan tandus di tengah sebuah hutan jati, untuk
menjenguk anak lelakinya yang tinggal bersama orangtuanya. Tak lama setelah
anak itu lahir, enam tahun lalu, suami Marni pamit merantau ke Jakarta,dan
tidak pernah pulang lagi. Tidak ada pilihan bagi Marni selain tetap tinggal
bersama Marjo.
Kalau pulang, dia hanya akan menjadi beban bagi orangtuanya
karena di dusun itu tidak ada pekerjaan. ?Marni, apakah Marjo masih memberimu
uang belanja?? tanya Bu Santi pada suatu sore ketika mereka menonton televisi.
?Masih, Bu.? ?Berapa?? Marni menyebutkan jumlah yang membikin Bu Santi
tercekat. Jumlah itu kecil,sangat kecil,bahkan menurut perhitungannya tidak
cukup untuk makan seminggu dengan lauk ikan asin sekalipun.
?Marjo itu kubayar cukup besar. Tega betul dia
memberimu uang belanja segitu. Kalau begitu kau akan kuberi pekerjaan tambahan.
Mulai besok sore, kau akan menjajakan jagung rebus. Kau bisa memakai sepedaku
yang sudah tua dan lama tidak kupakai. Ada di gudang.
Dengan keuntungan yang kau dapatkan, walaupun
kecil,kau bisa menambah uang belanjamu. Kalau kau rajin menabung, mungkin kau
bisa membeli baju baru.? Marni senang sekali dengan usul itu. Malam harinya dia
sulit tidur. Dia tidak sabar menunggu hari berikutnya tiba.
Sepeda tua dengan keranjang di boncengan
terbayang-bayang di benaknya. Lalu, dia membayangkan menjajakan jagung dengan
sepeda itu keliling kampung dan mendapatkan uang. Dia ingin menabung agar bisa
menyekolahkan atau membelikan baju baru untuk anaknya. Bayangan dia bersepeda
menjajakan jagung itu tetap tinggal di kepalanya, bahkan ketika malam itu Marjo
menerkam dan menggumulinya penuh nafsu. ***
Bu Santi kini agak lega karena Marni sudah jarang
berada di rumahnya.Marni hanya datang pagi hari, yaitu saat mengupas jagung.
Siangnya dia pulang untuk menyiapkan sepeda dan keranjang. Sorenya dia datang
lagi mengambil jagung rebus dan menjajakannya.Biasanya Marni baru pulang
setelah jam sembilan malam.
Hidup Marni kini lebih baik. Penghasilan dari
menjual jagung rebus itu tidak seberapa memang, tetapi bagi Marni yang tidak
seberapa itu sudah sangat membantu. Uang belanjanya bertambah, walaupun
sedikit,dan dia mulai bisa menabung. Marjo tidak pernah mempersoalkan pekerjaan
baru Marni.
Apalagi setelah Marni memberikan sebagian
keuntungan dari hasil berjualan itu kepadanya.Dua pekan setelah Marni mulai
berjualan, Bu Santi tidak pernah lagi mendengar jerit kesakitan dan lolongan
memilukan Marni. Bu Santi berharap ketenangan itu terus berlanjut.
Bahkan Bu Santi berharap Marjo mau dibujuk untuk
menikahi Marni secara resmi sehingga tidak ada lagi gunjingan tentang mereka.
Namun, harapan itu berantakan ketika pada suatu malam jerit kesakitan dan
lolongan itu terdengar lagi, tak lama setelah Marni pulang berjualan. Marni
datang dengan wajah pucat pasi dan napas yang memburu. Dia menubruk Bu Santi
yang sedang menonton televisi.
?To... tolong saya, Bu, Marjo mau... mau membunuh
saya....,? kata Marni. Terdengar hingar-bingar di pekarangan. Belum sempat Bu
Santi bangkit, Marjo sudah muncul di pintu dengan sabit di tangannya. Dia
memaki-maki Marni. Beberapa orang lelaki berjaga-jaga di belakangnya. Ketika
Marjo melompat, mereka menahannya dan merebut sabit itu. Setelah itu mereka
menggelandang Marjo ke rumahnya. ?Marjo marah karena saya tidak mau memberikan
uang tabungan saya kepadanya,? kata Marni kepada Bu Santi. ***
Sudah lima hari ini Marni tak berjualan jagung
rebus. Marjo tidak mengizinkannya.Dia hanya boleh bekerja mempersiapkan jagung
untuk direbus di rumah Bu Santi. Selama itu, setiap malam Bu Santi mendengar
jerit kesakitan dan lolongan memilukan Marni.Dan dia akan mendekap suaminya erat-erat
seraya bersyukur kepada Tuhan karena mendapat suami yang baik dan tidak pernah
memukulnya.
Namun, Bu Santi serbasalah. Di satu sisi,dia ingin
membantu.Dia betul-betul tidak tega mendengar suara-suara itu.Di sisi lain,
walaupun Marni dan Marjo tidak menikah, tetapi urusan di rumah mereka adalah
urusan rumah tangga mereka sendiri, bukan urusan orang lain. Karena serba
salah, Bu Santi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya bisa membantu sebatas memberi
pekerjaan kepada Marni. Dan jerit kesakitan dan lolongan memilukan itu terus
terdengar setiap malam....*** Yogya, 2007?
0 comments:
Post a Comment