Kumpulan Cerpen Khas Ranesi
Ali Yusran Datuk Majo Indo
19-02-2007
"Muhamad Amin, Lahir 20 Januari 1940. Bagian dari kalimat yang terlukis pada sebuah
Al Hijrat bergambar pemandangan alam
dengan latar belakang Jam Gadang. Lukisan itu di atas kaca berukuran 80x80 cm
yang dilukis dengan cat minyak. Sudut kirinya sompel sedikit, karton lapisan belakangnya juga hancur, cat
yang digunakan untuk melukis di atas kaca itu telah kehilangan daya kilatnya. Lukisan itu sendiri sebenarnya sudah kabur,
namun kelihatannya Anna mencoba memperbaikinya.
Anna Amin, baru tiba dari jauh. Dari Belanda dia
terbang ke Indonesia, ke Sumatera Barat tujuan utamanya. Memperjelas asal keturunannya, mencari
sesuatu jika masih tersisa. Dari
lapangan udara Tebing, Anna naik taksi ke Bukittinggi, begitu petunjuk dari
ayahnya. Dengan kemampuan bahasa Minang
dan Indonesia yang cukup baik, Anna tidak canggung untuk berceloteh dengan
supir taksi.
"Tujuan akhirmu ke mana, Dik?"
"Tujuanku ke Tantaman Bang, Kecamatan
Palembayan." Jawab Anna singkat.
"Tapi kamu dari Belanda dan wajahmu…."
Supir menyiasat.
"Aku dari Belanda, ke sini mencari kampung
ayahku."
“Kalau boleh tahu, siapa ayahmu Dik. Aku berasal
dari Tantaman juga kebetulan. Entah yang
bersaudaranya kita." Supir bicara sungguh-sungguh.
"Ayahku Si Amik, bergelar Sutan Raja Endah.
Berasal dari Tanjung Batang Damar biasa juga di sebut Pekan Kamis." Anna
menerangkan sesuai dengan petunjuk dari ayahnya.
"Dik Anna kita bersaudara!" Si Supir
setengah menjerit.
"Ayahmu dan bapakku bersaudara. Bukan
bersaudara kandung, tetapi mereka di masa mudanya sangat dekat.” Katanya lagi
meneruskan.
"Kamu akan aku antar sampai ke kampung.
Kebetulan aku sendiri sudah lama tidak pernah pulang." Supir itu seperti
berkata pada dirinya sendiri. Suaranya hampir tidak terdengar oleh Anna karena
suara mesin mobil ditanjakan sangat keras.
Mereka terhenti bicara. Matahari senja yang kemerahan menerpa kabut
asap di puncak Merapi. Kota Bukittinggi
bagaikan berbalut emas ketika taksi itu meluncur memasuki pintu kota.
"Kita istirahat dulu, minum atau makan di
sini. Kamu jangan takut, aku saudaramu.
Jika kamu pulang nanti ke Belanda, bilang sama Bapak di sana kalau supir taksi
yang mengantarmu ke kampong, anaknya Si Udi. Itu nama panggilan Bapakku dan
pasti Bapak di Belanda akan mengingatnya. Mereka teman dekat dari kecil. Sama
bersekolah di Sekolah Dasar. Di sekolah menengah, ayahmu masuk sekolah guru
sementara bapakku masuk sekolah tehnik. Mereka sama-sama pergi merantau sesudah
terjadinya perang saudara di negeri ini." Kisah si Supir taksi yang
bernama Arman.
"Kamu minum apa?"
"Aku teh manis dingin sajalah Bang."
Di simpang Padanglua masih di pinggir kota
Bukittinggi. Beberapa meter dari Lepau
tempat mereka minum jalan bersimpang, sesimpang menuju Maninjau dan Palembayan.
Azan magrib berkumandang dari masjid di sekitar tempat itu. Setelah memesan
minuman dan makanan mereka ke toilet.
"Kamu sangat beruntung Dik Anna, dilahirkan di
negeri yang diatur cukup baik. Negeri kecil yang minus sumber alam tetapi bisa
menjadi negeri yang kaya. Kami di sini,
di negeri yang terkenal sangat kaya tetapi hidup dalam kemiskinan akut. Abang hanya kebagian menjadi supir taksi
karena kurangnya lapangan pekerjaan. Untuk hidup sangat sederhana dalam ukuran
kami di sini pun sangatlah sulit." Arman memulai lagi dialog mereka yang
terputus.
"Kami di Belanda ikut prihatin melihat kondisi
di Indonesia walaupun kami mengikutinya hanya melalui siaran televisi. Saya sarankan juga pada Ayah agar kembali ke
Indonesia sesuai dengan seruan pemerintah RI. Ayah kan orang yang dulu diberi
Pemerintah Soekarno Tunjangan Ikatan Dinas (TID) untuk belajar ke luar. Sesudah
berganti pemerintahan, Ayah dan teman-temannya yang tergolong orang-orang kiri
tidak berani pulang. Dengan beberapa
teman akhirnya mereka berusaha agar diakui sebagai warga negara Belanda karena
mereka masih lahir ketika negeri ini bernama Hindia Belanda.
Perjuangan mereka ternyata berhasil. Menjawab
usulan kami agar di hari tuanya Ayah dapat memberikan sesuatu kepada negerinya
di sini ayah bilang, kami tidak suka bekerja untuk kesia-siaan yang terencana.
Kesulitan utama dalam suatu perubahan adalah ketidaktahuan. Jika kebodohan dan kebobrokan moral telah
menjadi kehormatan apalagi yang hendak dikerjakan. Kemurnian idealisme telah
eksodus dari bumi Indonesia dan tidak akan terkembalikan hanya oleh kami yang
sekian jumlahnya ini.” Kata Anna panjang lebar perihal ayahnya.
"Analisa bapak itu cukup memadai walaupun dia
tidak menyaksikan apa yang terjadi di sini.
Indonesia masih menjadi ajang pertarungan mahluk-mahluk raksasa pemakan
apa saja. Lebih baik memang menghindar jika tidak ingin menjadi santapan empuk
mereka.”
"Ah, Abang terlalu pesimis. Apa mungkin tidak
ada ruang untuk memperbaiki" Anna memancing lebih jauh.
"Menurut Abang, dalam jangka pendek begitulah
adanya. Banyak kekeliruan yang ditempatkan sama dengan kewajaran atau malah
disamakan dengan kebenaran di negeri ini.
Jadi kita harus memulai dari menyamakan kesadaran, tentunya dengan
menyamakan cara berpikir, cara melihat persoalan dan jika memang harus diubah
bagaimana cara mengubahnya?" Arman tetap dengan nada pesimis.
Menjelang jam sembilan malam taksi memasuki desa
terpencil yang dituju Anna. Pekan Kamis,
sebuah desa di lereng bukit, diselimuti kabut tipis malam itu. Cahaya bulan
temaram kehilangan rona aslinya. Lampu jalan tidak cukup menerobos kegelapan
kampung yang dipenuhi pepohonan.
Taksi berbelok dari jalan beraspal, memasuki sebuah
komplek. Ada sebuah bangunan tanpa
dinding yang disebut Los, tempat orang berjualan. Pekan Kamis, tempat orang jual beli
bahan-bahan kebutuhan hidup yang ramainya sekali seminggu, tepatnya pada setiap
hari Kamis. Karena itulah maka desa itu disebut juga Pekan Kamis di samping
namanya yang lain yaitu Desa Batang Damar.
Di Desa itulah Muhammad Amin dilahirkan. Ayahnya seorang buron, pelarian dari
peristiwa pemberontakan Sarikat Sekerja Sawahlunto diakhir tahun 1920an. Di kampung itu dia dikenal sebagai Parewa,
seorang lelaki muda yang aneh, berpakaian sesuka hati, baju warna hitam
bercelana hitam dan selalu memakai destar merah. Orang seni yang pandai bermain salung,
bermain randai, tonel dan enggan mengikuti norma-norma umum yang terbiasa. Di desa itu Palimo Sirah menikah dengan
Kamisah dan dari rahimnyalah lahir Muhammad Amin ayah kandung Anna.
"Tek, ini anak Etek, anaknya Pak Amik dari
Belanda." Kata supir taksi itu.
Seorang perempuan tua, rambut di kepalanya sudah
rata putih dan kulitnya kering keriput dimakan usia melonjak seketika, "Oh
anakku? Anak Udaku? Udaku Sayang,
masihkah hidup dia. Apakah Udaku itu masih sehat-sehat saja? Mari anakku
sayang, aku ini adik Ayahmu." Ibu tua itu memeluk erat Anna dan
pertanyaannya yang mengalir bagaikan terjangan air bah itu kelihatannya tidak
butuh jawaban.
"Dari jauh kau datang anakkku, siapa
temanmu. Hai ! Kalian semua angkat
barang-barang kakakmu dan kasih tahu sama semua famili, anak Uda Amik datang
dari Belanda." Perempuan tua itu bercakap seperti orang mabuk.
Tangan Anna dipegangnya erat memasuki rumah di desa
terpencil itu. Tidak lama antaranya rumah itu telah dipenuhi oleh sanak famili.
Anna sibuk dengan segala macam pertanyaan, mendengar cerita masa lalu Ayahnya
dan menerangkan seperlunya tentang keadaan Ayahnya di Belanda.
Cahaya mentari pagi menerobos celah jendela
kamar. Tidur Anna malam itu sangat pulas
tanpa mimpi apapun. Suhu yang tidak
begitu panas dan udara yang bersih membuat fisik dan psikisnya dapat istirahat
sepenuhnya. Anna terbangun oleh
suara-suara tamu yang datang menemuinya.
Kedatangan Anna ke Indonesia di samping ingin tahu
tentang asal keluarga ayahnya juga untuk kepentingan studi. Anna ingin meneliti peran Tan Malaka dalam
proses kemerdekaan Indonesia. Keinginan
itu dipicu oleh cerita dan sedikit catatan dari ayahnya.
Ibu dan ayahnya adalah teman sepermainan ketika
mereka hidup dalam hutan. Kakeknya
Palimo Sirah, membangun kelompok bersenjata ketika pendudukan Jepang. Kakek neneknya yang campuran Belanda dan
Perancis itu diselamatkan oleh Palimo Sirah dari kejamnya serdadu Jepang. Akhirnya kelompok ini bergabung dengan
kelompok Baso pimpinan Tuanku Nan Putiah setelah diproklamirkannya kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.
Yang sangat menarik perhatian Anna ialah mengapa
kelompok Baso yang intinya adalah kelompok bersenjata yang dipimpin Kakeknya
Palimo Sirah dihabisi oleh tentara pemerintah sebelum agresi pertama
Belanda. Apa pula hubungannya dengan
gerak dan hilangnya Tan Malaka secara misterius setelah mengucapkan pidato
Merdeka 100% pada tahun 1949. Mengapa
dan siapa yang bertanggung jawab.
"Oh…sangat menarik!" Seru Anna ketika
menjawab pertanyaan mereka yang ingin tahu.
"Apakah tidak sekedar keinginan untuk
mendapatkan kebanggaan karena Palimo Sirah itu adalah Kakek Anda sendiri?"
Sebuah pertanyaan menggelitik dilontarkan seorang dosen sejarah dari
Universitas Andalas, Padang ketika Anna ingin mendapatkan informasi dalam
proses penelitiannya.
Anna memulai pekerjaan pagi itu dengan mengumpulkan
data tentang kehidupan Palimo Sirah dan ayahnya Muhammad Amin yang di kampung
itu dikenal dengan nama kecilnya, Amik. Palimo Sirah mati ditembak karena
kegiatannya yang membantu pemerintah dalam pemberantasan pemberontak PRRI. Ayahnya Muhammad Amin, seorang yang terpilih
belajar ke luar negeri dengan biaya pemerintah dan tidak bisa kembali ke
negerinya sampai tua.
Di rumah itu masih tersisa beberapa foto hitam
putih, gambar nenek-kakek dan ayahnya semasa remaja. Yang paling menarik perhatian Anna ialah dari
orang tua sampai ke anak-anak kecil mengenal nama Amik. Ayahnya Anna meninggalkan kampung sejak awal
tahun 1960. Mengapa semua orang masih mengenal namanya? Adakah sesuatu yang teramat berkesan dari
Amik itu?
Amik dilahirkan di desa terpencil di mana budaya
Minang masih begitu kental. Ayahnya
seorang Parewa, manusia aneh yang penampilannya lain dari kebiasaan umum. Seorang seniman tradisonal yang menguasai
semua cabang seni tradisi Minang mulai dari mahir meniup salung, pandai
berdendang, guru silat dan mengajar randai dan menguasai sastra lisan seperti,
kaba Magekmanandin, Si Untuang Sudah, Malem Deman, Rancak di Labuah dan banyak
lagi. Di samping itu menguasai dengan
baik petatah-petitih adat. Pandai
berbalas pantun secara spontan dan mampu bertutur atau bercerita dalam alur
syair.
Semua keahliannya itu telah diajarkannya kepada
anak lelaki satu-satunya yang dia miliki.
Amik telah menjadi Parewa sejak usia anak-anak. Amik juga mahir bermain silat, bermain
randai, peniup salung dan penyanyi dengan suara yang cukup bagus.
Alam Minangkabau sedang berubah. Adat alam Minangkabau pada era pertanian
telah menghadirkan kondisi Firdaus dalam kehidupan nyata untuk kaumnya, namun
kini sedang digoncang oleh proses perubahan.
Globalisasi budaya telah berjalan dengan perlahan tetapi pasti. Para perantau dari berbagai penjuru dunia
menjadi ujung tombak perubahan itu.
Dimulai oleh Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya yang membawa budaya
Timur Tengah lalu diteruskan oleh Haji Rasul, Sheik Arasuli dan Jamil Jambek.
Budaya Eropa dipelopori oleh Belanda yang menjajah sangat lama.
Munculnya anak-anak asuh mereka seperti Tan Malaka,
Hatta, Sahril dan lain-lain mempercepat proses budaya itu. Amik muda ketika itu adalah Parewa terakhir
yang sedang berproses menjadi seniman dalam asuhan budaya global.
Amik yang sudah terkenal sebagai Parewa kecil
ketika itu mendapat kesempatan belajar setelah menamatkan Sekolah Rakyat. Pemerintah Indonesia yang baru merdeka
memerlukan tenaga guru untuk ditempatkan di seluruh daerah. Anak-anak yang berotak encer diberi beasiswa
yang bernama Tunjangan Ikatan Dinas (TID).
Amik yang jenius terus mendapatkan TID sampai ke perguruan tinggi dan
kemudian diteruskan ke luar negeri.
Sejak keberangkatannya ke Eropa tahun 1963 dia tidak pernah lagi pulang
ke Indonesia sampai sekarang.
Yang membuat namanya selalu menjadi sebutan dan
tetap diingat oleh orang-orang di kampungnya adalah karena Amik seniman
tradisional terakhir yang menguasai semua cabang seni tradisi sejak kecil. Di kampung itu Amik merupakan generasi akhir
dari apa yang disebut Parewa dan akhirnya nama Muhammad Amin dikenal sebagai
seorang seniman terutama seni sastra di Indonesia. Jadi Amik yang berdialektika dari seniman
tradisonal asuhan budaya Minang menjadi seniman dalam asuhan budaya global.
Semua proses yang dijalani itulah membuatnya selalu diingat oleh masyarakat di
desanya.
Akhir tahun 1965 perubahan secara cepat terjadi di
Indonesia. Konspirasi kekuatan raksasa dunia berhasil menyisihkan kekuatan
dunia ketiga. Cecunguk-cecunguk
kapitalisme global di Indonesia menghalalkan semua cara untuk mematikan langkah
Soekarno yang ditakuti dunia. Jutaan
orang-orang pro Soekarno dibunuh dan jutaan lainnya mati pelan-pelan. Mereka yang menuntut ilmu di luar negeri
dipanggil pulang dan yang enggan pulang tentulah menjadi buron politik di
negeri orang.
Ketika itu Muhammad Amin sedang belajar di
Universitas Sorbonne Perancis. Pemutusan
beasiswa bukanlah menjadi halangan baginya karena dia sudah berpenghasilan
tetap dari kampusnya sebagai dosen sastra dan bahasa Indonesia. Yang ditakutinya hanya aksi kekerasan seperti
penculikan yang dilakukan secara misterius entah oleh siapa. Ketika itulah dia berkenalan dengan Ibu Anna
yang kebetulan temannya semasa kanak-kanak ketika mereka sama-sama berada dalam
hutan. Ibu Anna ketika itu sedang
belajar budaya dan sastra Indonesia yang salah satu dosennya adalah Amin.
“Jenete Jonnes, Jonnes Beternann dan Saskia
Jonnes.” Amin sedang membuka catatan
nama-nama yang diberikan oleh ibunya sebelum berangkat ke Eropa dulu. Seorang
Perancis yang isterinya orang Belanda, bekerja di perkebunan The Kerinci dan
diselamatkan oleh Kakek Amin ketika Palimo Sirah membangun kelompok bersenjata
pada masa pendudukan Jepang. Tetapi bagaimana mencarinya. Alamat mereka tidak diketahui. Apakah Jenete Jonnes anak dari Jonnes
Betermann yang dulu sahabat kakeknya.
Tentulah tidak ada salahnya jika dia mencari tahu tentang itu. Jenete mahasiswanya yang tercatat sebagai
warga Belanda dan karenanya masih sangat mungkin apa yang dipikirkan Amin itu
benar.
Seminggu telah berlalu. Salju turun menyelimuti kota Paris. Menurut perhitungan pakar cuaca musim salju
kali ini akan berlangsung agak lama dengan suhu terdingin dalam beberapa tahun
belakangan ini. Pagi itu Amin menggigil
dalam mantelnya ketika memasuki ruang kuliah. Mobil antar jemput mengantarnya
sampai ke pintu lokal tempatnya memberikan pelajaran sastra Indonesia pagi itu.
“Pak, Ayah dan Ibu di Belanda mengundang Bapak
kalau bisa dalam minggu ini.” Kata Jenet sambil mendekat kepada Amin.
“Jadi benarkah kamu Si Jenet kecil temanku ketika
kita sama dalam hutan dahulu?”
Tanpa menunggu jawaban dua orang anak manusia itu
sama-sama mendekat, mereka berpelukan erat.
Nuansa keharuan menyelimuti kedua insan.
Kesan masa kanak-kanak sama menyentuh dua hati. Air mata keduanya sama meleleh di pipi.
Mahasiswa yang sudah hadir di ruangan itu menjadi
saksi pertemuan mereka setelah 20 tahun berpisah. Acara kuliah pagi itu diawali dengan
penjelalasan Amin dan Jenet bahwa mereka pernah menjadi teman sepermainan ketika
hidup bersama dalam hutan tropis Sumatra.
Jenet lahir di Solok 1941 sementara Amin lahir 1940 di sekitar daerah
Bukittinggi yang sama-sama masuk dalam Keresidenan Sumatra Tengah. Setelah Indonesia merdeka, Ibu dan Ayah Jenet
memutuskan untuk kembali ke Eropa dan menetap tinggal di Belanda sementara Amin
kembali ke kampungnya.
Asam di gunung, ikan di laut kondisi objektif
mempertemukannya dalam kuali. Akhirnya Amin dan Jenet menjadi pasangan ideal
dalam kehidupan. Anna Amin adalah buah cinta mereka satu-satunya. Kini Anna Amin sedang berada di kampung
halaman ayahnya, menelusuri jejak perjuangan kakek-neneknya dalam rangka
menyelesaikan tugas penelitian untuk program doktor sejarah.
“Bukan hanya sekedar untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan, aku berpikir bahwa ada tanggung jawab moral yang menjadi beban
secara individu atas diriku sebagai cucu seorang pahlawan yang terlupakan,
sebagai anak seseorang yang dituduhkan sebagai komunis Indonesia yang
dipersalahkan telah mengadakan segala macam kejahatan politik dan
kriminal. Sejarah Indonesia belum lagi
ditulis dan aku merasa bertanggung jawab untuk itu.” Kata Anna warga Belanda
itu.
0 comments:
Post a Comment