Tuesday, 24 June 2014

Parewa



Kumpulan Cerpen Khas Ranesi

Ali Yusran Datuk Majo Indo

19-02-2007


"Muhamad Amin, Lahir 20 Januari 1940.  Bagian dari kalimat yang terlukis pada sebuah Al   Hijrat bergambar pemandangan alam dengan latar belakang Jam Gadang. Lukisan itu di atas kaca berukuran 80x80 cm yang dilukis dengan cat minyak. Sudut kirinya sompel sedikit,  karton lapisan belakangnya juga hancur, cat yang digunakan untuk melukis di atas kaca itu telah kehilangan daya kilatnya.  Lukisan itu sendiri sebenarnya sudah kabur, namun kelihatannya Anna mencoba memperbaikinya.

Anna Amin, baru tiba dari jauh. Dari Belanda dia terbang ke Indonesia, ke Sumatera Barat tujuan utamanya.  Memperjelas asal keturunannya, mencari sesuatu jika masih tersisa.  Dari lapangan udara Tebing, Anna naik taksi ke Bukittinggi, begitu petunjuk dari ayahnya.  Dengan kemampuan bahasa Minang dan Indonesia yang cukup baik, Anna tidak canggung untuk berceloteh dengan supir taksi.


"Tujuan akhirmu ke mana, Dik?"
"Tujuanku ke Tantaman Bang, Kecamatan Palembayan." Jawab Anna singkat.
"Tapi kamu dari Belanda dan wajahmu…." Supir menyiasat.
"Aku dari Belanda, ke sini mencari kampung ayahku."
“Kalau boleh tahu, siapa ayahmu Dik. Aku berasal dari Tantaman juga kebetulan.  Entah yang bersaudaranya kita." Supir bicara sungguh-sungguh.

"Ayahku Si Amik, bergelar Sutan Raja Endah. Berasal dari Tanjung Batang Damar biasa juga di sebut Pekan Kamis." Anna menerangkan sesuai dengan petunjuk dari ayahnya.
"Dik Anna kita bersaudara!" Si Supir setengah menjerit.
"Ayahmu dan bapakku bersaudara. Bukan bersaudara kandung, tetapi mereka di masa mudanya sangat dekat.” Katanya lagi meneruskan.
"Kamu akan aku antar sampai ke kampung. Kebetulan aku sendiri sudah lama tidak pernah pulang." Supir itu seperti berkata pada dirinya sendiri. Suaranya hampir tidak terdengar oleh Anna karena suara mesin mobil ditanjakan sangat keras.

Mereka terhenti bicara.  Matahari senja yang kemerahan menerpa kabut asap di puncak Merapi.  Kota Bukittinggi bagaikan berbalut emas ketika taksi itu meluncur memasuki pintu kota.

"Kita istirahat dulu, minum atau makan di sini.  Kamu jangan takut, aku saudaramu. Jika kamu pulang nanti ke Belanda, bilang sama Bapak di sana kalau supir taksi yang mengantarmu ke kampong, anaknya Si Udi. Itu nama panggilan Bapakku dan pasti Bapak di Belanda akan mengingatnya. Mereka teman dekat dari kecil. Sama bersekolah di Sekolah Dasar. Di sekolah menengah, ayahmu masuk sekolah guru sementara bapakku masuk sekolah tehnik. Mereka sama-sama pergi merantau sesudah terjadinya perang saudara di negeri ini." Kisah si Supir taksi yang bernama Arman.
"Kamu minum apa?"
"Aku teh manis dingin sajalah Bang."

Di simpang Padanglua masih di pinggir kota Bukittinggi.  Beberapa meter dari Lepau tempat mereka minum jalan bersimpang, sesimpang menuju Maninjau dan Palembayan. Azan magrib berkumandang dari masjid di sekitar tempat itu. Setelah memesan minuman dan makanan mereka ke toilet.

"Kamu sangat beruntung Dik Anna, dilahirkan di negeri yang diatur cukup baik. Negeri kecil yang minus sumber alam tetapi bisa menjadi negeri yang kaya.  Kami di sini, di negeri yang terkenal sangat kaya tetapi hidup dalam kemiskinan akut.  Abang hanya kebagian menjadi supir taksi karena kurangnya lapangan pekerjaan. Untuk hidup sangat sederhana dalam ukuran kami di sini pun sangatlah sulit." Arman memulai lagi dialog mereka yang terputus.

"Kami di Belanda ikut prihatin melihat kondisi di Indonesia walaupun kami mengikutinya hanya melalui siaran televisi.  Saya sarankan juga pada Ayah agar kembali ke Indonesia sesuai dengan seruan pemerintah RI. Ayah kan orang yang dulu diberi Pemerintah Soekarno Tunjangan Ikatan Dinas (TID) untuk belajar ke luar. Sesudah berganti pemerintahan, Ayah dan teman-temannya yang tergolong orang-orang kiri tidak berani pulang.  Dengan beberapa teman akhirnya mereka berusaha agar diakui sebagai warga negara Belanda karena mereka masih lahir ketika negeri ini bernama Hindia Belanda.

Perjuangan mereka ternyata berhasil. Menjawab usulan kami agar di hari tuanya Ayah dapat memberikan sesuatu kepada negerinya di sini ayah bilang, kami tidak suka bekerja untuk kesia-siaan yang terencana. Kesulitan utama dalam suatu perubahan adalah ketidaktahuan.  Jika kebodohan dan kebobrokan moral telah menjadi kehormatan apalagi yang hendak dikerjakan. Kemurnian idealisme telah eksodus dari bumi Indonesia dan tidak akan terkembalikan hanya oleh kami yang sekian jumlahnya ini.” Kata Anna panjang lebar perihal ayahnya.

"Analisa bapak itu cukup memadai walaupun dia tidak menyaksikan apa yang terjadi di sini.  Indonesia masih menjadi ajang pertarungan mahluk-mahluk raksasa pemakan apa saja. Lebih baik memang menghindar jika tidak ingin menjadi santapan empuk mereka.”
"Ah, Abang terlalu pesimis. Apa mungkin tidak ada ruang untuk memperbaiki" Anna memancing lebih jauh.
"Menurut Abang, dalam jangka pendek begitulah adanya. Banyak kekeliruan yang ditempatkan sama dengan kewajaran atau malah disamakan dengan kebenaran di negeri ini.  Jadi kita harus memulai dari menyamakan kesadaran, tentunya dengan menyamakan cara berpikir, cara melihat persoalan dan jika memang harus diubah bagaimana cara mengubahnya?" Arman tetap dengan nada pesimis.

Menjelang jam sembilan malam taksi memasuki desa terpencil yang dituju Anna.  Pekan Kamis, sebuah desa di lereng bukit, diselimuti kabut tipis malam itu. Cahaya bulan temaram kehilangan rona aslinya. Lampu jalan tidak cukup menerobos kegelapan kampung yang dipenuhi pepohonan.

Taksi berbelok dari jalan beraspal, memasuki sebuah komplek.  Ada sebuah bangunan tanpa dinding yang disebut Los, tempat orang berjualan.  Pekan Kamis, tempat orang jual beli bahan-bahan kebutuhan hidup yang ramainya sekali seminggu, tepatnya pada setiap hari Kamis. Karena itulah maka desa itu disebut juga Pekan Kamis di samping namanya yang lain yaitu Desa Batang Damar.

Di Desa itulah Muhammad Amin dilahirkan.  Ayahnya seorang buron, pelarian dari peristiwa pemberontakan Sarikat Sekerja Sawahlunto diakhir tahun 1920an.  Di kampung itu dia dikenal sebagai Parewa, seorang lelaki muda yang aneh, berpakaian sesuka hati, baju warna hitam bercelana hitam dan selalu memakai destar merah.  Orang seni yang pandai bermain salung, bermain randai, tonel dan enggan mengikuti norma-norma umum yang terbiasa.  Di desa itu Palimo Sirah menikah dengan Kamisah dan dari rahimnyalah lahir Muhammad Amin ayah kandung Anna.

"Tek, ini anak Etek, anaknya Pak Amik dari Belanda." Kata supir taksi itu. 

Seorang perempuan tua, rambut di kepalanya sudah rata putih dan kulitnya kering keriput dimakan usia melonjak seketika, "Oh anakku? Anak Udaku?  Udaku Sayang, masihkah hidup dia. Apakah Udaku itu masih sehat-sehat saja? Mari anakku sayang, aku ini adik Ayahmu." Ibu tua itu memeluk erat Anna dan pertanyaannya yang mengalir bagaikan terjangan air bah itu kelihatannya tidak butuh jawaban.

"Dari jauh kau datang anakkku, siapa temanmu.  Hai ! Kalian semua angkat barang-barang kakakmu dan kasih tahu sama semua famili, anak Uda Amik datang dari Belanda." Perempuan tua itu bercakap seperti orang mabuk.

Tangan Anna dipegangnya erat memasuki rumah di desa terpencil itu. Tidak lama antaranya rumah itu telah dipenuhi oleh sanak famili. Anna sibuk dengan segala macam pertanyaan, mendengar cerita masa lalu Ayahnya dan menerangkan seperlunya tentang keadaan Ayahnya di Belanda.

Cahaya mentari pagi menerobos celah jendela kamar.  Tidur Anna malam itu sangat pulas tanpa mimpi apapun.  Suhu yang tidak begitu panas dan udara yang bersih membuat fisik dan psikisnya dapat istirahat sepenuhnya.  Anna terbangun oleh suara-suara tamu yang datang menemuinya.

Kedatangan Anna ke Indonesia di samping ingin tahu tentang asal keluarga ayahnya juga untuk kepentingan studi.  Anna ingin meneliti peran Tan Malaka dalam proses kemerdekaan Indonesia.  Keinginan itu dipicu oleh cerita dan sedikit catatan dari ayahnya.

Ibu dan ayahnya adalah teman sepermainan ketika mereka hidup dalam hutan.  Kakeknya Palimo Sirah, membangun kelompok bersenjata ketika pendudukan Jepang.  Kakek neneknya yang campuran Belanda dan Perancis itu diselamatkan oleh Palimo Sirah dari kejamnya serdadu Jepang.  Akhirnya kelompok ini bergabung dengan kelompok Baso pimpinan Tuanku Nan Putiah setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.

Yang sangat menarik perhatian Anna ialah mengapa kelompok Baso yang intinya adalah kelompok bersenjata yang dipimpin Kakeknya Palimo Sirah dihabisi oleh tentara pemerintah sebelum agresi pertama Belanda.  Apa pula hubungannya dengan gerak dan hilangnya Tan Malaka secara misterius setelah mengucapkan pidato Merdeka 100% pada tahun 1949.  Mengapa dan siapa yang bertanggung jawab.

"Oh…sangat menarik!" Seru Anna ketika menjawab pertanyaan mereka yang ingin tahu.
"Apakah tidak sekedar keinginan untuk mendapatkan kebanggaan karena Palimo Sirah itu adalah Kakek Anda sendiri?" Sebuah pertanyaan menggelitik dilontarkan seorang dosen sejarah dari Universitas Andalas, Padang ketika Anna ingin mendapatkan informasi dalam proses penelitiannya.

Anna memulai pekerjaan pagi itu dengan mengumpulkan data tentang kehidupan Palimo Sirah dan ayahnya Muhammad Amin yang di kampung itu dikenal dengan nama kecilnya, Amik. Palimo Sirah mati ditembak karena kegiatannya yang membantu pemerintah dalam pemberantasan pemberontak PRRI.  Ayahnya Muhammad Amin, seorang yang terpilih belajar ke luar negeri dengan biaya pemerintah dan tidak bisa kembali ke negerinya sampai tua.

Di rumah itu masih tersisa beberapa foto hitam putih, gambar nenek-kakek dan ayahnya semasa remaja.  Yang paling menarik perhatian Anna ialah dari orang tua sampai ke anak-anak kecil mengenal nama Amik.  Ayahnya Anna meninggalkan kampung sejak awal tahun 1960. Mengapa semua orang masih mengenal namanya?  Adakah sesuatu yang teramat berkesan dari Amik itu?

Amik dilahirkan di desa terpencil di mana budaya Minang masih begitu kental.  Ayahnya seorang Parewa, manusia aneh yang penampilannya lain dari kebiasaan umum.  Seorang seniman tradisonal yang menguasai semua cabang seni tradisi Minang mulai dari mahir meniup salung, pandai berdendang, guru silat dan mengajar randai dan menguasai sastra lisan seperti, kaba Magekmanandin, Si Untuang Sudah, Malem Deman, Rancak di Labuah dan banyak lagi.  Di samping itu menguasai dengan baik petatah-petitih adat.  Pandai berbalas pantun secara spontan dan mampu bertutur atau bercerita dalam alur syair.

Semua keahliannya itu telah diajarkannya kepada anak lelaki satu-satunya yang dia miliki.  Amik telah menjadi Parewa sejak usia anak-anak.  Amik juga mahir bermain silat, bermain randai, peniup salung dan penyanyi dengan suara yang cukup bagus.

Alam Minangkabau sedang berubah.  Adat alam Minangkabau pada era pertanian telah menghadirkan kondisi Firdaus dalam kehidupan nyata untuk kaumnya, namun kini sedang digoncang oleh proses perubahan.  Globalisasi budaya telah berjalan dengan perlahan tetapi pasti.  Para perantau dari berbagai penjuru dunia menjadi ujung tombak perubahan itu.  Dimulai oleh Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya yang membawa budaya Timur Tengah lalu diteruskan oleh Haji Rasul, Sheik Arasuli dan Jamil Jambek. Budaya Eropa dipelopori oleh Belanda yang menjajah sangat lama.

Munculnya anak-anak asuh mereka seperti Tan Malaka, Hatta, Sahril dan lain-lain mempercepat proses budaya itu.  Amik muda ketika itu adalah Parewa terakhir yang sedang berproses menjadi seniman dalam asuhan budaya global.

Amik yang sudah terkenal sebagai Parewa kecil ketika itu mendapat kesempatan belajar setelah menamatkan Sekolah Rakyat.  Pemerintah Indonesia yang baru merdeka memerlukan tenaga guru untuk ditempatkan di seluruh daerah.  Anak-anak yang berotak encer diberi beasiswa yang bernama Tunjangan Ikatan Dinas (TID).  Amik yang jenius terus mendapatkan TID sampai ke perguruan tinggi dan kemudian diteruskan ke luar negeri.  Sejak keberangkatannya ke Eropa tahun 1963 dia tidak pernah lagi pulang ke Indonesia sampai sekarang.

Yang membuat namanya selalu menjadi sebutan dan tetap diingat oleh orang-orang di kampungnya adalah karena Amik seniman tradisional terakhir yang menguasai semua cabang seni tradisi sejak kecil.  Di kampung itu Amik merupakan generasi akhir dari apa yang disebut Parewa dan akhirnya nama Muhammad Amin dikenal sebagai seorang seniman terutama seni sastra di Indonesia.  Jadi Amik yang berdialektika dari seniman tradisonal asuhan budaya Minang menjadi seniman dalam asuhan budaya global. Semua proses yang dijalani itulah membuatnya selalu diingat oleh masyarakat di desanya.

Akhir tahun 1965 perubahan secara cepat terjadi di Indonesia. Konspirasi kekuatan raksasa dunia berhasil menyisihkan kekuatan dunia ketiga.  Cecunguk-cecunguk kapitalisme global di Indonesia menghalalkan semua cara untuk mematikan langkah Soekarno yang ditakuti dunia.  Jutaan orang-orang pro Soekarno dibunuh dan jutaan lainnya mati pelan-pelan.  Mereka yang menuntut ilmu di luar negeri dipanggil pulang dan yang enggan pulang tentulah menjadi buron politik di negeri orang.

Ketika itu Muhammad Amin sedang belajar di Universitas Sorbonne Perancis.  Pemutusan beasiswa bukanlah menjadi halangan baginya karena dia sudah berpenghasilan tetap dari kampusnya sebagai dosen sastra dan bahasa Indonesia.  Yang ditakutinya hanya aksi kekerasan seperti penculikan yang dilakukan secara misterius entah oleh siapa.  Ketika itulah dia berkenalan dengan Ibu Anna yang kebetulan temannya semasa kanak-kanak ketika mereka sama-sama berada dalam hutan.  Ibu Anna ketika itu sedang belajar budaya dan sastra Indonesia yang salah satu dosennya adalah Amin.

“Jenete Jonnes, Jonnes Beternann dan Saskia Jonnes.”  Amin sedang membuka catatan nama-nama yang diberikan oleh ibunya sebelum berangkat ke Eropa dulu. Seorang Perancis yang isterinya orang Belanda, bekerja di perkebunan The Kerinci dan diselamatkan oleh Kakek Amin ketika Palimo Sirah membangun kelompok bersenjata pada masa pendudukan Jepang. Tetapi bagaimana mencarinya.  Alamat mereka tidak diketahui.  Apakah Jenete Jonnes anak dari Jonnes Betermann yang dulu sahabat kakeknya.  Tentulah tidak ada salahnya jika dia mencari tahu tentang itu.  Jenete mahasiswanya yang tercatat sebagai warga Belanda dan karenanya masih sangat mungkin apa yang dipikirkan Amin itu benar.

Seminggu telah berlalu.  Salju turun menyelimuti kota Paris.  Menurut perhitungan pakar cuaca musim salju kali ini akan berlangsung agak lama dengan suhu terdingin dalam beberapa tahun belakangan ini.  Pagi itu Amin menggigil dalam mantelnya ketika memasuki ruang kuliah. Mobil antar jemput mengantarnya sampai ke pintu lokal tempatnya memberikan pelajaran sastra Indonesia pagi itu.

“Pak, Ayah dan Ibu di Belanda mengundang Bapak kalau bisa dalam minggu ini.” Kata Jenet sambil mendekat kepada Amin.
“Jadi benarkah kamu Si Jenet kecil temanku ketika kita sama dalam hutan dahulu?”
Tanpa menunggu jawaban dua orang anak manusia itu sama-sama mendekat, mereka berpelukan erat.  Nuansa keharuan menyelimuti kedua insan.  Kesan masa kanak-kanak sama menyentuh dua hati.  Air mata keduanya sama meleleh di pipi.

Mahasiswa yang sudah hadir di ruangan itu menjadi saksi pertemuan mereka setelah 20 tahun berpisah.  Acara kuliah pagi itu diawali dengan penjelalasan Amin dan Jenet bahwa mereka pernah menjadi teman sepermainan ketika hidup bersama dalam hutan tropis Sumatra.  Jenet lahir di Solok 1941 sementara Amin lahir 1940 di sekitar daerah Bukittinggi yang sama-sama masuk dalam Keresidenan Sumatra Tengah.  Setelah Indonesia merdeka, Ibu dan Ayah Jenet memutuskan untuk kembali ke Eropa dan menetap tinggal di Belanda sementara Amin kembali ke kampungnya.

Asam di gunung, ikan di laut kondisi objektif mempertemukannya dalam kuali. Akhirnya Amin dan Jenet menjadi pasangan ideal dalam kehidupan. Anna Amin adalah buah cinta mereka satu-satunya.  Kini Anna Amin sedang berada di kampung halaman ayahnya, menelusuri jejak perjuangan kakek-neneknya dalam rangka menyelesaikan tugas penelitian untuk program doktor sejarah.

“Bukan hanya sekedar untuk mendapatkan gelar kesarjanaan, aku berpikir bahwa ada tanggung jawab moral yang menjadi beban secara individu atas diriku sebagai cucu seorang pahlawan yang terlupakan, sebagai anak seseorang yang dituduhkan sebagai komunis Indonesia yang dipersalahkan telah mengadakan segala macam kejahatan politik dan kriminal.  Sejarah Indonesia belum lagi ditulis dan aku merasa bertanggung jawab untuk itu.” Kata Anna warga Belanda itu.

0 comments:

Post a Comment