Tuesday, 24 June 2014

Di Balik Gemerlap Podium


02 Januari 2006 - 01:29   (Diposting oleh: redaksi)

Cerpen Karya Arnette Harjanto

Cahaya spot light yang menyala terang jatuh tepat di wajahku. Di sampingku duduk seorang renta. Namun, sorot matanya memancarkan kepribadian yang kuat - bila tidak mau disebut keras kepala. Senyumnyapun terkembang, membuat wajahnya berseri-seri. Orang tua itu adalah bapakku, bapak yang menghilang dari kehidupan kami selama 14 tahun, yang membuat aku, ibu, dan keenam saudaraku membanting tulang mencari sesuap nasi.
Kini orang tua itu telah kembali. Dan di sinilah kami saat ini berada - aku, bapak, dan ibu – di Denmark, di bawah sorotan lampu-lampu besar, di bawah tatapan berpasang-pasang mata kagum. Dinding Ballroom tempat kami berada dihiasi lukisan-lukisan bapak yang berhasil disembunyikan pada masa Orde Lama. Malam ini bapak akan menerima penghargaan dari Denmark, penghargaan yang tak pernah diberikan ibu pertiwi.

Ketika gemuruh tepuk tangan menggema dan bapak mulai menandatangani kopi buku kumpulan lukisannya, aku menyelinap keluar…dan celingak-celinguk mencari toilet. Ups, toiletnya penuh. Dari depan wastafel tak sengaja kudengar percakapan wanita-wanita asing (bagiku) yang tengah melakukan aktivitas di dalam toilet - (percakapan ini telah kuterjemahkan ke dalam bahasa kita),
“Hebat ya, beliau. Masih bisa survive di dalam penjara.” Aku tersenyum dibuatnya. “Ya,” kata yang kedua,”Katanya, sewaktu masih bergabung dalam barisan militer, beliau adalah serdadu yang cakap dan kuat. Kebiasaannya yang keras di barak membuatnya tak nyaman bila belum mencangkul selama 8 jam sehari. Kau bisa lihat kebun penjara Digul, betapa subur dan melimpah hasilnya ketika ia masih ditahan di sana.” Ya, ya. Bapak memang pernah ditahan di sana – sebelum kemudian dipindahkan ke pulau Buru dan kemudian…ah, entah ke mana lagi. Klik, salah satu kunci dibuka dan menyediakan ruang kosong untukku. Ups, aku lupa mengatakan bahwa yang kini kugunakan adalah toilet campur. Entah memang tradisi di sana atau yang ini merupakan sesuatu yang khusus, toilet ini diperuntukkan bagi kaum adam dan kaum hawa.
Mungkin mereka begitu yakin takkan ada pasangan yang akan memanfaatkan ruang ini untuk hal-hal lain, tidak seperti di tanah air. Entah. Rasa penasaran yang menggelitik membuatku bertahan. Kubiarkan ruang kosong itu menganga. Aku masih ingin mendengar kelanjutan obrolan mereka.
“Ya, aku pernah mendengar perihal itu,” sahut yang pertama, “Sayang, manusia tak berkuasa atas waktu. Lihat kakinya yang gemetaran itu. Untung saja ia memiliki anak dan istri yang merawatnya.” “Hh…justru itulah yang kusesali…dari keenam anaknya, hanya satu yang bersedia merawat beliau – kau lihat pemuda yang duduk di sampingnya di panggung tadi?” Senyumku lenyap seketika. “Oh ya?! Mengapa?” Sambung yang pertama lagi. Kini giliranku menghela napas. Hh…andai mereka tahu….
* * *
Aku masih terduduk lemas di bangkuku saat sebuah lengan terulur padaku. Melihat lengan yang terulur itu perlahan aku mengangkat kepala sedikit dan menatap kosong padanya. Kosong. Tapi, adegan itu tidak berlangsung lama. Detik itu pula kertas yang semula menyita seluruh perhatianku kini berpindah tangan dan setelah satu putaran, mendarat tepat di hadapan Frau Siegel, guru Jerman kami. Aku menghela napas. Panjang. Entah apa yang harus kulakukan.
“Gila! Gw merah lagi! Kita masih berapa kali lagi sih kayak gini?” teman sebangkuku mulai bersuara bersamaan dengan dering bell istirahat.
“Sekarang tanggal berapa?” Aku balik bertanya.
“22..Auf wiedersehen, Frau!”
“Berarti masih dua kali..ya minimal 1x lagi. Eh, tapi minggu depan tanggal merah…”
“Kira-kira keburu ga ya? Yang berikut minimal gw harus 7,2 baru bisa nutup rata-ratanya neh..”
“Bisa lah…”
“Ya elo enak, item…”
“Itemnya mepet banget! Lagian loe khan tau sendiri, Inggris gw jeblok abiz”
“Ye..sama aja..inggris gw juga jeblok, bagusan elo malah…Lagian elo khan leader-nya di sini..”

Kembali ke sepatu di tanganku. Sepatu ini dulu dibeli bapak untuk Mas-ku di loakan. “Ini untukmu,” bapak menyodorkan sepasang sepatu itu pada Mas-ku,”Hasil panen tahun ini baik. Mungkin tahun depan giliran adikmu…,” katanya ketika itu. Bukan main girangnya Mas-ku ketika itu. Ia pun berjanji aku boleh memakainya bila aku masuk sekolah nanti. Kepada mbak-ku, Mas berjanji akan meminjamkan sepatunya bila Mbak dapat memetik kelapa di kebun lebih cepat darinya.
Mas mewariskan sepatu wasiat kami pada Mbak ketika ia menamatkan eS-eM-Pe dan membantu ibu menyekolahkan kami. Dua tahun kemudian, Mbak memberikannya padaku. Ia berpesan agar sepatu itu kujaga sampai aku lulus eS-eM-A. Kini sepatu itu milikku sampai tahun ajaran ini berakhir. Entah bagaimana adik kembarku berbagi sepatu ini nanti.
Mungkin juga mereka enggan mengenakannya..sudah tak berbentuk lagi! Hh…sebenarnya aku tidak rela melepasnya. Sepatu itu satu-satunya kenangan kami pada bapak yang menghilang tak lama setelah memberikan sepatu itu pada Mas. Ketiga adikku masih teralu kecil saat itu. Mereka tidak mengerti. Namun, bagi dan kedua kakakku, sepatu itu sungguh berarti.
Angin berhembus sepoi seolah mendengar keluh kesahku. Rumpun bambu tali di samping sumur berlumut di halaman bergoyang lembut, mainkan sepenggal bait merdu. Hh… sepatu… bapak… rindu… pilu…
“ Sst….”Aku terlonjak. Di ambang pintu berdiri sosok yang tak pernah kulihat dua tahun ini. “Berduaan kok sama sepatu..?” sambungnya lagi. Aku bangkit dan merangkul-cekik Mas.
“Mas sehat?”
“Ya. Bagaimana kamu, ibu, dan adik-adik?”
“Baik. Mbak kerja di restoran Bu Sri. Lulus nanti aku ikut Mang Dudung. Yang lain lagi ngadu bola di terminal.”
“Kamu itu..bicaranya seperti tidak punya adik perempuan saja…,”kata Mas meninju pundakku. Kamipun riuh tertawa. Adik bungsuku itu memang tomboi sekali. Terlebih setelah Mbak lulus. Wah..segala permainan kami, aku dan adik kembarku, bisa pula dimainkannya.
“Sedang memandikan si keplek?” Tanya Mas. Oh ya, aku lupa katakan, sepatu keramat itu kami beri nama keplek lantaran solnya yang bernyanyi riang. Awalnya sih, sol itu lepas, lalu dijahit kembali. Namun, di tengah jalan, jarum jahitnya putus. Potongannya tertinggal di sepatu dan membuatnya berbunyi setiap kali dikenakan. Karena suka dengan bunyinya, Mas membiarkan potongan itu di sana dan melarang kami mencabutnya. Jadilah namanya “keplek”.
“Lihat sepatu itu…jadi ingat bapak…” Aku diam saja. Heningpun mencekam. Kelebatan sosok bapak melintas dalam benak. Samar saja. Sepertinya Mas juga merasakan hal yang sama.
“Eh, ngomong-ngomong, katanya beberapa hari yang lalu ada laki-laki ke sini dan bertengkar dengan ibu?” “Hah…Mas tahu dari mana?” Aku belum memberi tahu satu orangpun perihal kejadian tempo hari. Ketiga adikku juga tidak di rumah ketika itu. “Itu tidak penting. Ada apa sih?” “Itulah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku cuma lihat lelaki itu diusir ibu ke luar ketika aku baru pulang sekolah. Lalu, ibu masuk kamar. Sejak saat itu ibu jadi pendiam. Aku ingin tanya, tapi ga berani, Mas. Takut ibu sakit lagi…”
“Jadi, kamu ga tahu orang itu?” Aku menggeleng saja. “Orang itu bapak kalian….” Tiba-tiba saja suara ibu menyela obrolan kami. Entah sejak kapan ibu duduk di kursi reyot itu mengamati kami. Mas yang biasanya langsung bangkit dan sungkem pada ibu kini diam terpaku. Sepatu keramat kami terlepas dari tanganku dan jatuh begitu saja.
 “Panjang ceritanya. Empat belas tahun yang lalu, seminggu setelah bapak pergi dinas ke Sumatra….”
***
“Permisi, Bu,” kata seorang seraya mengulurkan sep/ucuk surat pada ibu. Ibu yang tengah menyiapkan makan siang melap tangan sekedarnya pada bagian belakang roknya. Kemudian dikibaskan tangannya, mempersilakan tamunya duduk.
“Surat apa ini?”
“Silakan dibaca, Bu. Atau saya bacakan?” tawarnya. Dengan keheranan ibu membuka surat itu - sesekali mencuri pandang, mengamati si pembawa surat. Lelaki itu tentunya pegawai pemerintah. Seragam dinasnya disetrika licin, tapi sepatu hitamnya tidak bersemir. Perawakannya sedang, kulit sawo matang, dan wajah khas orang Jawa. Begitulah di Indonesia, orang Jawa tersebar di segala penjuru. Tunggu dulu, ada yang aneh. Air muka si pembawa pesan itu….Jantung ibu berdegup kencang. Firasatnya berkata “ini tidak baik”. Dipercepatnya membuka dan membaca surat itu. Ibu mengalihkan pandangan. Ditatapnya lekat mata si pembawa surat – tak percaya.
“Maaf, Bu, itu perintah yang harus saya laksanakan,” katanya. Ibu tak bergeming. Bibirnya bergerak-gerak tanpa kata terucap. Hening. Alam serasa turut terdiam. Burung gerejapun tidak bersuara. Ibu kembali menatap surat ditangannya. Dibacanya sekali lagi, perlahan dan cermat.
“22 September? Itu kan tiga hari lagi…bagaimana…?” Suara ibu begitu lirih, hampir tak terdengar. “Mari, Bu, saya permisi dulu.” Ibu tak sanggup berdiri dan mengantarnya keluar. Sekilas ibu melihat isi tasnya, masih ada setumpuk surat di dalamnya. Mungkin isi surat-surat itu sama dengan yang diberikannya pada ibu – semoga tidak.
***
“Isi surat itu apa, Bu? Ada apa tanggal 22 September?”tanyaku tak sabar. “Hh…kita harus keluar dari rumah itu.” “Saya ingat, Bu…,” sela Mas,” Dua hari itu Mas dan Mbak bantu ibu berkemas…” “Aku?”tanyaku pada Mas. Sepertinya tidak ada kejadian semacam itu di memori kepalaku. Bagaimana bisa?
“Kamu dan si kembar main di rumah Pak RT,”jawab ibu. Sekilas aku mulai ingat. Ya, rasa-rasanya baru kali itu aku dan adik-adik diijinkan main sepanjang hari di rumah Pak RT. Sejak saat itu kami menghabiskan malam di gardu jaga RT 01. Em…adik bungsuku belum lahir ketika itu. Ya, aku ingat. Lalu, apa kata ibu waktu itu? Katanya…entah…aku tak bisa mengingatnya.
“Petugas itu bilang, bapak sudah tidak bekerja lagi maka rumah itu harus dikembalikan,” sambung Mas lagi.
“Ya, sejak hari itu bapak tidak pernah pulang…,” ada nada pilu dalam suara Mas. “Ya, Bu, bapak kemana saja? Kenapa tempo hari….” Tak kulanjutkan kalimat itu melihat ibu menahan tangis. Aku dan Mas tak berani bersuara. Kurasakan perasaanku yang kini berkecamuk. Kemana bapak menghilang selama ini? Mengapa bapak menelantarkan kami? Kepergian bapak membuat perubahan besar di keluarga kami. Dengan dibantu Mas, tugas-tugas bapak di ladang diambil alih ibu. Tugas memelihara ayam yang tak seberapa dialihkan padaku dan tugas-tugas rumah tangga dibebankan pada Mbak. Aku tidak dapat lagi bermain bebas. Aku ingat, betapa irinya hatiku melihat ketiga adikku masih bebas bermain meski lingkupnya dipersempit hanya sekitar rumah, dibawah pengawasan Mbak. Kemana bapak pergi? Mengapa baru beberapa hari yang lalu beliau pulang? Mengapa ibu mengusirnya lagi? “Katanya, baru dibebaskan dari bui,” kata ibu terbata. Apa? Bui? Sejak kapan bapak jadi penjahat? Apa yang telah dilakukan bapak? Nyolong ayam? Maling singkong? Nodong orang?
“Tidak, tidak, bukan begitu…,”kata ibu seolah mengetahui isi kepala kami. Lalu apa? Dan mengapa selama itu?
“Bapak disangka terlibat dengan PKI,” sambung ibu lagi, “itu yang dikatakannya ketika …bapak pulang…”. Memang, kata Mas, dulu bapak sering bantu-bantu tetangga mengolah ladang dan memberi pupuk dari ternak kami. Siapa sangka bapak disamakan dengan PKI yang membantu para petani dengan bibit murahnya? Lalu, apa salahnya?
Hening. Semua sibuk dengan pikiran dan emosi masing-masing. Suara ibu agak tercekat ketika memecah keheningan ini.
“Ibu sudah pikirkan. Mungkin…ada baiknya..bila…kita semua berkumpul kembali…” “Apa? Setelah menghilang begitu saja selama ini?” Aku terkejut melihat reaksi Mas yang meledak-ledak. “Empat belas tahun, Bu!” lanjut Mas. Ibu menghela napas.
“Kasihan bapakmu.”
“Kasihan?” Lagi-lagi ucapan ibu disela. Tapi, itu bukan suara Mas! Sontak kemi mencari asal suara itu. Pandangan kami berhenti pada ketiga adikku yang berdiri menahan amarah di ambang pintu. Betapa kami terhanyut suasana sampai-sampai tidak menyadari kehadiran mereka.
“Bapak yang harusnya kasihan pada kita! Dan sekarang, ibu ingin bapak kembali? Kembali dan menikmati kerja keras kita? TIDAK!” sambung kembarannya tegas. Ketiganya membalikkan badan dan menghilang dari pandangan. Seolah disihir, aku dan ibu hanya mematung, diam tak bergerak. Shock! Namun, Mas bangkit berdiri dan berkata tajam, “Bu, saya kembali ke stasiun. Masih banyak barang yang harus diangkut. Sebentar lagi kereta berangkat. Entah kapan saya punya kesempatan untuk mampir lagi.”
“Lho, Mas…” Namun, ia tidak menghiraukan panggilanku. Kakinya membawanya ke luar rumah – bila tempat kami bermalam itu bisa disebut rumah… ya, setidaknya bukan gardu jaga RT 01 lagi, terima kasih untuk warga sekitar yang memberi kami tempat untuk berteduh - Meninggalkan aku dan ibu. Aku masih tak mengerti sikap mereka. Aku bisa memahami sakit hati mereka ditinggal bapak selama ini karena aku merasakan hal yang sama. Tetapi, ada apa dengan PKI? Ketika kutanyakan hal ini pada ibu, beliau malah masuk ke dalam dan membongkar isi kaleng tempatnya menyimpan berbagai berkas. Setelah setengah jam mencari, ibu menyodorkan sobekan kertas. Di sana tergambar seorang lelaki gagah. Di dadanya tersemat sebuah lambang, entah apa. Lelaki itu digambarkan tengah menyiksa seorang lain.
“Ini PKI,” kata ibu berat sembari menunjuk gambar lelaki bersemat lambang itu.
“Yang ini orang kita, kawan,” tambahnya lagi. Aku masih tak paham. Tunggu…bila yang seorang adalah kawan, berarti yang bersemat itu lawan? Dia PKI? Berarti, bapak, lawan? PKI…tunggu..kutata dulu isi kepalaku…- wali kelasku pernah berkata bahwa isi kepalaku itu penuh, tapi berceceran – rasa-rasanya kami pernah membahasnya di kelas…em…sejarah! Em…tapi, ada apa dengan PKI….?
“Kata Bapak, tempo hari dibawa ke bui. Bui di sini, bui di situ…Hh…tak tahulah. Bapak tidak bisa pulang, tak bisa lihat anak-anak,” kata ibu. “Hanya bualan, mungkin…,” tambahnya. Pilu. Sedih. Tak percaya. Namun, terselip rindu, rindu berkumpul bersama Bapak, rindu keluarga kami yang utuh. Aku tak bersuara, tak begitu menyimak perkataan ibu. Setengah pikiranku masih sibuk mengklarivikasi. G 30S.
Setengah tak sadar aku bangkit meninggalkan ibu, masuk kamar. Pikiranku kosong, sekosong langit biru. Seperempat jam kemudian kudapati diri berjalan tak menentu dengan tas satu-satunya tersampir di pundak.
Hujan mengguyur membasahi. Baru kusadari betapa lelah kedua kakiku. Gontai kuseret kaki menepi, lalu duduk di emperan terdekat. “Matrial Abadi ”, begitu bunyi tulisan yang terpampang di pintu masuk bangunan seberang. Dibawahnya tertulis dengan huruf yang lebih kecil “ Jl. Raya Serpong No. 56A”. Aku bangkit dan sekali lagi membiarkan hujan mengguyur kepalaku, berjalan perlahan menyeberang. Hampir saja sebuah truk tanah melindas bila kuli angkut toko matrial itu terlambat menarikku menepi. Beruntung huh? Entah.
Sejak hari itu aku mencoba menghapus bayang-bayang keluarga dari benakku. Atas kemurahan hati pimpinan toko matrial itu, aku menjadi bagaian dari para pekerja di sana. Hari-hari mulai kuisi dengan kesibukan sebagai pekerja serabutan di sana. Entah untuk berapa lama.
Suatu ketika, salah seorang kuli angkut seniorku merobek kain tipis penutup sejarah kehidupanku. Ia berkata,
“Pulang. Kasihan ibumu.” Kontan aku terkejut dengan ucapannya. Ketika itu kami tengah asyik menikmati nasi bungkus jatah makan siang. Udara hari itu sepanas biasanya dan jalanan mengepulkan vitamin D (baca: debu) tambahan pada makanan kami. Kesibukan toko juga seperti biasanya. Kuli-kuli lain masih sibuk mengangkut barang ke sana ke mari. Tidak ada hujan lebih-lebih badai, tapi sepertinya kilat menyambarku.
“Ibuku? Tahu apa kau tentang ibuku?” Semenjak kedatanganku di toko itu, belum pernah sekalipun aku menyebut-nyebut soal keluargaku. Aku menjadi begitu introvert, kuakui itu, dan biarlah tetap seperti itu. Bagaimana mungkin rekan sekerjaku menasihatiku semacam itu??
“Aku tak punya ibu. Jangan sebut-sebut kata itu di depanku lagi!”semburku tegas.
“Dengar dulu!” timpalnya tak kalah keras. Mungkin untuk meredamku…. Ia mulai menceritakan pertemuan-pertemuannya dengan ibu. Ya, bukan hanya sekali saja ia bertemu ibu, tapi berulang kali! Mulanya mereka memang acuh. Namun, kemudian perlahan-lahan mereka mulai saling bertukar cerita. Begitulah ia mendengar kisahku dari ibu setiap harinya sepenggal demi sepenggal. Ibu yang begitu menderita didera rasa rindu dan kegagalan sebagai seorang ibu – adik-adikku menyusul kepergianku dan Mas - , belum lagi Bapak yang keras kepala, namun dicintainya. Semua itu mengalir meresap dalam otak bersama jamu-jamu dalam gelas yang bergulir menuju kerongkongan, lalu masuk ke lambung. Dan segera kutepis, kubuang dari ingatan bersama napas yang kuhembuskan.
* * *
Jam tangan sepuhan milik seorang kawan yang tertinggal di kamarku menyatakan bahwa hari telah berganti. Namun, aku belum dapat terlelap barang sepincing pun. Penat yang tadi memaksaku untuk merebahkan tubuh di atas tempat tidur tak mampu membuatku terlelap. Huh…
Kulemparkan pandang menembus kaca jendela. Entah mengapa malam ini rembulan bersembunyi di balik pekatnya mega. Hanya sesekali ia menyisipkan sinarnya di kala angin malam berhembus lirih, menghalau mega-mega. Bintang-bintang pun seolah enggan menghias malam. Begitu muram terasa. Ya…mungkin juga cahayanya kalah kuat dari maraknya lampu-lampu jalanan. Padahal, ini bukan ibu kota yang semarak dengan aneka penerang buatan manusia! Aku baru menyadari, ternyata ada persaingan pula di langit malam. Huh… Kucoba memejamkan mata dan berbaring gelisah. Seraut wajah menyusup dalam hitamnya pejaman. Bukan, bukan seraut wajah…itu…sepatu…sepatu bapak! Kontan kubuka mata. Dahiku dipenuhi bulir-bulir keringat. Besar-besar! Dan napasku tersengal. Aku meraih gelas air yang selalu kusiapkan di samping tempat tidurku dan meneguknya sembari mengatur napas. Bapak….
* * *
“Kenapa lo? Ga tidur lagi?” itulah komentar pertama yang terlontar dari teman-teman pagi itu. Pastilah mataku merah dengan hiasan lingkaran hitam mengelilinginya. Memang, belakangan ini tidurku selalu gelisah. Setiap kali aku mencoba menikmati waktu istirahat malamku, kelopak mata ini seakan menolak menutup. Em…mungkin bukan mataku yang bermasalah, tapi ketakutanku akan bayangan serupa beberapa malam lalu.
“Iya nih…keasyikkan lihat bintang…,” sahutku berbohong.
Akupun melanjutkan langkah menuju gudang, maksud hati mendata ulang persediaan barang seperti yang kulakukan tiap paginya. Namun, seperti memiliki otak dan kemauan sendiri, kakiku membelok, mengarah ke ruang pimpinan. Dan tanpa kusadari, aku telah berada di dalam ruangan pengap itu, berdiri di hadapan bos. Ia mengangkat kepala dari koran pagi yang tengah dibacanya, menatapku. Sebelum sempat kucegah, pita suara, lidah, dan bibirku memohon ijin pulang. Bosku hanya mengangguk sekilas dan kembali asyik dengan korannya.
Belum lagi sempat kucerna perbuatanku pagi itu, aku mendapati diri berada di dalam bus tujuan Blora. Sebuah tas hitam berisi dua potong baju dan sepotong celana kumal berada di pangkuanku. Aku menatap bingung daerah sekitar, jalan-jalan yang kulalui. Bagaimana mungkin aku menempuh perjalanan ini? Untuk apa? Entah apa…yang kutahu hanyalah sesisip rasa yang kerap dinamakan rindu. Benarkah itu rindu? Entah…
Singkat cerita, begitulah akhirnya aku kembali ke rumah. Kelima saudaraku begitu enggan hidup bersama Bapak. Mereka masih beranggapan bahwa Bapak “sakit” dan mematok kata “tiada” untuk Bapak. Padahal Bapak hanyalah korban. Bohong besar bila para “petinggi” berkata bahwa perintah penangkapan, pembuangan, dan pengucilan orang-orang seperti Bapak serta pengusiran tak beralasan keluarganya bukanlah atas instruksi mereka. Tahu apa para petugas lapangan tentang “kebijakan” macam itu? Yang mereka ketahui hanyalah patuh pada segala perintah atasan bila ingin tetap hidup. Kini yang ada hanya aku, Ibu, dan Bapak, membangun kembali mental kami yang hancur bersama. Bukan perkara mudah. Namun, hidup harus berjalan. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahunan berlalu. Dan inilah aku, bersama Ibu menemani Bapak menerima penghargaan atas karya-karya Bapak di Denmark.
Miris juga melihat bahwa lukisan-lukisan Bapak yang bernapaskan kondisi rakyat pasca pengakuan kedaulatan Indonesia – tak heran Bapak disangka PKI -, lebih dihargai masyarakat luar negri dibandingkan rakyat sendiri. Apa boleh dikata? Kuasaku tak sebesar mereka yang di atas yang “berkuasa” atas hidup mahluk lainnya. Aku hanya bisa menjerit bisu dalam jiwa patung-patungku, sambil terus berharap Ia yang Berkuasa meneguhkan sampai suatu saat karya-karya Bapak dan terutama dirinya kembali dihargai di tanah air. Mungkin saat itu keluarga kami dapat berkumpul kembali. Entah kapan. Mungkinkah?


0 comments:

Post a Comment