02 Januari 2006 - 01:29 (Diposting oleh: redaksi)
Cerpen Karya Arnette Harjanto
Cahaya spot light yang menyala
terang jatuh tepat di wajahku. Di sampingku duduk seorang renta. Namun, sorot
matanya memancarkan kepribadian yang kuat - bila tidak mau disebut keras
kepala. Senyumnyapun terkembang, membuat wajahnya berseri-seri. Orang tua itu
adalah bapakku, bapak yang menghilang dari kehidupan kami selama 14 tahun, yang
membuat aku, ibu, dan keenam saudaraku membanting tulang mencari sesuap nasi.
Kini orang tua itu telah
kembali. Dan di sinilah kami saat ini berada - aku, bapak, dan ibu – di
Denmark, di bawah sorotan lampu-lampu besar, di bawah tatapan berpasang-pasang
mata kagum. Dinding Ballroom tempat kami berada dihiasi lukisan-lukisan bapak
yang berhasil disembunyikan pada masa Orde Lama. Malam ini bapak akan
menerima penghargaan dari Denmark,
penghargaan yang tak pernah diberikan ibu pertiwi.
Ketika gemuruh tepuk tangan
menggema dan bapak mulai menandatangani kopi buku kumpulan lukisannya, aku
menyelinap keluar…dan celingak-celinguk mencari toilet. Ups, toiletnya penuh.
Dari depan wastafel tak sengaja kudengar percakapan wanita-wanita asing
(bagiku) yang tengah melakukan aktivitas di dalam toilet - (percakapan ini
telah kuterjemahkan ke dalam bahasa kita),
“Hebat ya, beliau. Masih bisa
survive di dalam penjara.” Aku tersenyum dibuatnya. “Ya,” kata yang
kedua,”Katanya, sewaktu masih bergabung dalam barisan militer, beliau adalah
serdadu yang cakap dan kuat. Kebiasaannya yang keras di barak membuatnya tak
nyaman bila belum mencangkul selama 8 jam sehari. Kau bisa lihat kebun
penjara Digul, betapa subur dan melimpah hasilnya ketika ia masih ditahan di sana.” Ya, ya. Bapak
memang pernah ditahan di sana – sebelum
kemudian dipindahkan ke pulau Buru dan
kemudian…ah, entah ke mana lagi. Klik, salah satu kunci dibuka dan
menyediakan ruang kosong untukku. Ups, aku lupa mengatakan bahwa yang kini
kugunakan adalah toilet campur. Entah memang tradisi di sana atau yang ini merupakan sesuatu yang
khusus, toilet ini diperuntukkan bagi kaum adam dan kaum hawa.
Mungkin mereka begitu yakin
takkan ada pasangan yang akan memanfaatkan ruang ini untuk hal-hal lain,
tidak seperti di tanah air. Entah. Rasa penasaran yang menggelitik membuatku
bertahan. Kubiarkan ruang kosong itu menganga. Aku masih ingin mendengar
kelanjutan obrolan mereka.
“Ya, aku pernah mendengar
perihal itu,” sahut yang pertama, “Sayang, manusia tak berkuasa atas waktu.
Lihat kakinya yang gemetaran itu. Untung saja ia memiliki anak dan istri yang
merawatnya.” “Hh…justru itulah yang kusesali…dari keenam anaknya, hanya satu
yang bersedia merawat beliau – kau lihat pemuda yang duduk di sampingnya di
panggung tadi?” Senyumku lenyap seketika. “Oh ya?! Mengapa?” Sambung yang
pertama lagi. Kini giliranku menghela napas. Hh…andai mereka tahu….
* * *
Aku masih terduduk lemas di
bangkuku saat sebuah lengan terulur padaku. Melihat lengan yang terulur itu
perlahan aku mengangkat kepala sedikit dan menatap kosong padanya. Kosong.
Tapi, adegan itu tidak berlangsung lama. Detik itu pula kertas yang semula
menyita seluruh perhatianku kini berpindah tangan dan setelah satu putaran,
mendarat tepat di hadapan Frau Siegel, guru Jerman kami. Aku menghela napas.
Panjang. Entah apa yang harus kulakukan.
“Gila! Gw merah lagi! Kita
masih berapa kali lagi sih kayak gini?” teman sebangkuku mulai bersuara
bersamaan dengan dering bell istirahat.
“Sekarang tanggal berapa?” Aku balik bertanya. “22..Auf wiedersehen, Frau!” “Berarti masih dua kali..ya minimal 1x lagi. Eh, tapi minggu depan tanggal merah…” “Kira-kira keburu ga ya? Yang berikut minimal gw harus 7,2 baru bisa nutup rata-ratanya neh..” “Bisa lah…” “Ya elo enak, item…” “Itemnya mepet banget! Lagian loe khan tau sendiri, Inggris gw jeblok abiz” “Ye..sama aja..inggris gw juga jeblok, bagusan elo malah…Lagian elo khan leader-nya di sini..” |
Kembali ke sepatu di tanganku. Sepatu ini dulu
dibeli bapak untuk Mas-ku di loakan. “Ini untukmu,” bapak menyodorkan sepasang
sepatu itu pada Mas-ku,”Hasil panen tahun ini baik. Mungkin tahun depan giliran
adikmu…,” katanya ketika itu. Bukan main girangnya Mas-ku ketika itu. Ia pun
berjanji aku boleh memakainya bila aku masuk sekolah nanti. Kepada mbak-ku, Mas
berjanji akan meminjamkan sepatunya bila Mbak dapat memetik kelapa di kebun
lebih cepat darinya.
Mas mewariskan sepatu wasiat kami pada Mbak
ketika ia menamatkan eS-eM-Pe dan membantu ibu menyekolahkan kami. Dua tahun
kemudian, Mbak memberikannya padaku. Ia berpesan agar sepatu itu kujaga sampai
aku lulus eS-eM-A. Kini sepatu itu milikku sampai tahun ajaran ini berakhir.
Entah bagaimana adik kembarku berbagi sepatu ini nanti.
Mungkin juga mereka enggan mengenakannya..sudah
tak berbentuk lagi! Hh…sebenarnya aku tidak rela melepasnya. Sepatu itu
satu-satunya kenangan kami pada bapak yang menghilang tak lama setelah
memberikan sepatu itu pada Mas. Ketiga adikku masih teralu kecil saat itu.
Mereka tidak mengerti. Namun, bagi dan kedua kakakku, sepatu itu sungguh
berarti.
Angin berhembus sepoi seolah mendengar keluh
kesahku. Rumpun bambu tali di samping sumur berlumut di halaman bergoyang
lembut, mainkan sepenggal bait merdu. Hh… sepatu… bapak… rindu… pilu…
“ Sst….”Aku terlonjak. Di ambang pintu berdiri
sosok yang tak pernah kulihat dua tahun ini. “Berduaan kok sama sepatu..?”
sambungnya lagi. Aku bangkit dan merangkul-cekik Mas.
“Mas sehat?”
“Ya. Bagaimana kamu, ibu, dan adik-adik?”
“Baik. Mbak kerja di restoran Bu Sri. Lulus nanti aku ikut Mang Dudung. Yang lain lagi ngadu bola di terminal.”
“Kamu itu..bicaranya seperti tidak punya adik perempuan saja…,”kata Mas meninju pundakku. Kamipun riuh tertawa. Adik bungsuku itu memang tomboi sekali. Terlebih setelah Mbak lulus. Wah..segala permainan kami, aku dan adik kembarku, bisa pula dimainkannya.
“Mas sehat?”
“Ya. Bagaimana kamu, ibu, dan adik-adik?”
“Baik. Mbak kerja di restoran Bu Sri. Lulus nanti aku ikut Mang Dudung. Yang lain lagi ngadu bola di terminal.”
“Kamu itu..bicaranya seperti tidak punya adik perempuan saja…,”kata Mas meninju pundakku. Kamipun riuh tertawa. Adik bungsuku itu memang tomboi sekali. Terlebih setelah Mbak lulus. Wah..segala permainan kami, aku dan adik kembarku, bisa pula dimainkannya.
“Sedang memandikan si keplek?” Tanya Mas. Oh ya,
aku lupa katakan, sepatu keramat itu kami beri nama keplek lantaran solnya yang
bernyanyi riang. Awalnya sih, sol itu lepas, lalu dijahit kembali. Namun, di
tengah jalan, jarum jahitnya putus. Potongannya tertinggal di sepatu dan
membuatnya berbunyi setiap kali dikenakan. Karena suka dengan bunyinya, Mas
membiarkan potongan itu di sana
dan melarang kami mencabutnya. Jadilah namanya “keplek”.
“Lihat sepatu itu…jadi ingat bapak…” Aku diam
saja. Heningpun mencekam. Kelebatan sosok bapak melintas dalam benak. Samar saja. Sepertinya Mas juga merasakan hal yang sama.
“Eh, ngomong-ngomong, katanya beberapa hari yang lalu ada laki-laki ke sini dan bertengkar dengan ibu?” “Hah…Mas tahu dari mana?” Aku belum memberi tahu satu orangpun perihal kejadian tempo hari. Ketiga adikku juga tidak di rumah ketika itu. “Itu tidak penting. Ada apa sih?” “Itulah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku cuma lihat lelaki itu diusir ibu ke luar ketika aku baru pulang sekolah. Lalu, ibu masuk kamar. Sejak saat itu ibu jadi pendiam. Aku ingin tanya, tapi ga berani, Mas. Takut ibu sakit lagi…”
“Eh, ngomong-ngomong, katanya beberapa hari yang lalu ada laki-laki ke sini dan bertengkar dengan ibu?” “Hah…Mas tahu dari mana?” Aku belum memberi tahu satu orangpun perihal kejadian tempo hari. Ketiga adikku juga tidak di rumah ketika itu. “Itu tidak penting. Ada apa sih?” “Itulah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku cuma lihat lelaki itu diusir ibu ke luar ketika aku baru pulang sekolah. Lalu, ibu masuk kamar. Sejak saat itu ibu jadi pendiam. Aku ingin tanya, tapi ga berani, Mas. Takut ibu sakit lagi…”
“Jadi, kamu ga tahu orang itu?” Aku menggeleng
saja. “Orang itu bapak kalian….” Tiba-tiba saja suara ibu menyela obrolan kami.
Entah sejak kapan ibu duduk di kursi reyot itu mengamati kami. Mas yang
biasanya langsung bangkit dan sungkem pada ibu kini diam terpaku. Sepatu
keramat kami terlepas dari tanganku dan jatuh begitu saja.
“Panjang
ceritanya. Empat belas tahun yang lalu, seminggu setelah bapak pergi dinas ke Sumatra….”
***
“Permisi, Bu,” kata seorang seraya mengulurkan
sep/ucuk surat
pada ibu. Ibu yang tengah menyiapkan makan siang melap tangan sekedarnya pada
bagian belakang roknya. Kemudian dikibaskan tangannya, mempersilakan tamunya
duduk.
“Surat
apa ini?”
“Silakan dibaca, Bu. Atau saya bacakan?” tawarnya. Dengan keheranan ibu membuka surat itu - sesekali mencuri pandang, mengamati si pembawa surat. Lelaki itu tentunya pegawai pemerintah. Seragam dinasnya disetrika licin, tapi sepatu hitamnya tidak bersemir. Perawakannya sedang, kulit sawo matang, dan wajah khas orang Jawa. Begitulah di Indonesia, orang Jawa tersebar di segala penjuru. Tunggu dulu, ada yang aneh. Air muka si pembawa pesan itu….Jantung ibu berdegup kencang. Firasatnya berkata “ini tidak baik”. Dipercepatnya membuka dan membaca surat itu. Ibu mengalihkan pandangan. Ditatapnya lekat mata si pembawa surat – tak percaya.
“Silakan dibaca, Bu. Atau saya bacakan?” tawarnya. Dengan keheranan ibu membuka surat itu - sesekali mencuri pandang, mengamati si pembawa surat. Lelaki itu tentunya pegawai pemerintah. Seragam dinasnya disetrika licin, tapi sepatu hitamnya tidak bersemir. Perawakannya sedang, kulit sawo matang, dan wajah khas orang Jawa. Begitulah di Indonesia, orang Jawa tersebar di segala penjuru. Tunggu dulu, ada yang aneh. Air muka si pembawa pesan itu….Jantung ibu berdegup kencang. Firasatnya berkata “ini tidak baik”. Dipercepatnya membuka dan membaca surat itu. Ibu mengalihkan pandangan. Ditatapnya lekat mata si pembawa surat – tak percaya.
“Maaf, Bu, itu perintah yang harus saya
laksanakan,” katanya. Ibu tak bergeming. Bibirnya bergerak-gerak tanpa kata
terucap. Hening. Alam serasa turut terdiam. Burung gerejapun tidak bersuara.
Ibu kembali menatap surat
ditangannya. Dibacanya sekali lagi, perlahan dan cermat.
“22 September? Itu kan tiga hari lagi…bagaimana…?” Suara ibu
begitu lirih, hampir tak terdengar. “Mari, Bu, saya permisi dulu.” Ibu tak
sanggup berdiri dan mengantarnya keluar. Sekilas ibu melihat isi tasnya, masih
ada setumpuk surat
di dalamnya. Mungkin isi surat-surat itu sama dengan yang diberikannya pada ibu
– semoga tidak.
***
“Isi surat
itu apa, Bu? Ada
apa tanggal 22 September?”tanyaku tak sabar. “Hh…kita harus keluar dari rumah
itu.” “Saya ingat, Bu…,” sela Mas,” Dua hari itu Mas dan Mbak bantu ibu
berkemas…” “Aku?”tanyaku pada Mas. Sepertinya tidak ada kejadian semacam itu di
memori kepalaku. Bagaimana bisa?
“Kamu dan si kembar main di rumah Pak RT,”jawab
ibu. Sekilas aku mulai ingat. Ya, rasa-rasanya baru kali itu aku dan adik-adik
diijinkan main sepanjang hari di rumah Pak RT. Sejak saat itu kami menghabiskan
malam di gardu jaga RT 01. Em…adik bungsuku belum lahir ketika itu. Ya, aku
ingat. Lalu, apa kata ibu waktu itu? Katanya…entah…aku tak bisa mengingatnya.
“Petugas itu bilang, bapak sudah tidak bekerja
lagi maka rumah itu harus dikembalikan,” sambung Mas lagi.
“Ya, sejak hari itu bapak tidak pernah pulang…,”
ada nada pilu dalam suara Mas. “Ya, Bu, bapak kemana saja? Kenapa tempo hari….”
Tak kulanjutkan kalimat itu melihat ibu menahan tangis. Aku dan Mas tak berani
bersuara. Kurasakan perasaanku yang kini berkecamuk. Kemana bapak menghilang
selama ini? Mengapa bapak menelantarkan kami? Kepergian bapak membuat perubahan
besar di keluarga kami. Dengan dibantu Mas, tugas-tugas bapak di ladang diambil
alih ibu. Tugas memelihara ayam yang tak seberapa dialihkan padaku dan
tugas-tugas rumah tangga dibebankan pada Mbak. Aku tidak dapat lagi bermain
bebas. Aku ingat, betapa irinya hatiku melihat ketiga adikku masih bebas
bermain meski lingkupnya dipersempit hanya sekitar rumah, dibawah pengawasan
Mbak. Kemana bapak pergi? Mengapa baru beberapa hari yang lalu beliau pulang?
Mengapa ibu mengusirnya lagi? “Katanya, baru dibebaskan dari bui,” kata ibu
terbata. Apa? Bui? Sejak kapan bapak jadi penjahat? Apa yang telah dilakukan
bapak? Nyolong ayam? Maling singkong? Nodong orang?
“Tidak, tidak, bukan begitu…,”kata ibu seolah mengetahui isi kepala kami. Lalu apa? Dan mengapa selama itu?
“Bapak disangka terlibat dengan PKI,” sambung ibu lagi, “itu yang dikatakannya ketika …bapak pulang…”. Memang, kata Mas, dulu bapak sering bantu-bantu tetangga mengolah ladang dan memberi pupuk dari ternak kami. Siapa sangka bapak disamakan dengan PKI yang membantu para petani dengan bibit murahnya? Lalu, apa salahnya?
“Tidak, tidak, bukan begitu…,”kata ibu seolah mengetahui isi kepala kami. Lalu apa? Dan mengapa selama itu?
“Bapak disangka terlibat dengan PKI,” sambung ibu lagi, “itu yang dikatakannya ketika …bapak pulang…”. Memang, kata Mas, dulu bapak sering bantu-bantu tetangga mengolah ladang dan memberi pupuk dari ternak kami. Siapa sangka bapak disamakan dengan PKI yang membantu para petani dengan bibit murahnya? Lalu, apa salahnya?
Hening. Semua sibuk dengan pikiran dan emosi
masing-masing. Suara ibu agak tercekat ketika memecah keheningan ini.
“Ibu sudah pikirkan. Mungkin…ada
baiknya..bila…kita semua berkumpul kembali…” “Apa? Setelah menghilang begitu
saja selama ini?” Aku terkejut melihat reaksi Mas yang meledak-ledak. “Empat
belas tahun, Bu!” lanjut Mas. Ibu menghela napas.
“Kasihan bapakmu.”
“Kasihan?” Lagi-lagi ucapan ibu disela. Tapi, itu bukan suara Mas! Sontak kemi mencari asal suara itu. Pandangan kami berhenti pada ketiga adikku yang berdiri menahan amarah di ambang pintu. Betapa kami terhanyut suasana sampai-sampai tidak menyadari kehadiran mereka.
“Bapak yang harusnya kasihan pada kita! Dan sekarang, ibu ingin bapak kembali? Kembali dan menikmati kerja keras kita? TIDAK!” sambung kembarannya tegas. Ketiganya membalikkan badan dan menghilang dari pandangan. Seolah disihir, aku dan ibu hanya mematung, diam tak bergerak. Shock! Namun, Mas bangkit berdiri dan berkata tajam, “Bu, saya kembali ke stasiun. Masih banyak barang yang harus diangkut. Sebentar lagi kereta berangkat. Entah kapan saya punya kesempatan untuk mampir lagi.”
“Kasihan bapakmu.”
“Kasihan?” Lagi-lagi ucapan ibu disela. Tapi, itu bukan suara Mas! Sontak kemi mencari asal suara itu. Pandangan kami berhenti pada ketiga adikku yang berdiri menahan amarah di ambang pintu. Betapa kami terhanyut suasana sampai-sampai tidak menyadari kehadiran mereka.
“Bapak yang harusnya kasihan pada kita! Dan sekarang, ibu ingin bapak kembali? Kembali dan menikmati kerja keras kita? TIDAK!” sambung kembarannya tegas. Ketiganya membalikkan badan dan menghilang dari pandangan. Seolah disihir, aku dan ibu hanya mematung, diam tak bergerak. Shock! Namun, Mas bangkit berdiri dan berkata tajam, “Bu, saya kembali ke stasiun. Masih banyak barang yang harus diangkut. Sebentar lagi kereta berangkat. Entah kapan saya punya kesempatan untuk mampir lagi.”
“Lho, Mas…” Namun, ia tidak menghiraukan
panggilanku. Kakinya membawanya ke luar rumah – bila tempat kami bermalam itu
bisa disebut rumah… ya, setidaknya bukan gardu jaga RT 01 lagi, terima kasih
untuk warga sekitar yang memberi kami tempat untuk berteduh - Meninggalkan aku
dan ibu. Aku masih tak mengerti sikap mereka. Aku bisa memahami sakit hati
mereka ditinggal bapak selama ini karena aku merasakan hal yang sama. Tetapi,
ada apa dengan PKI? Ketika kutanyakan hal ini pada ibu, beliau malah masuk ke
dalam dan membongkar isi kaleng tempatnya menyimpan berbagai berkas. Setelah
setengah jam mencari, ibu menyodorkan sobekan kertas. Di sana tergambar seorang lelaki gagah. Di
dadanya tersemat sebuah lambang, entah apa. Lelaki itu digambarkan tengah
menyiksa seorang lain.
“Ini PKI,” kata ibu berat sembari menunjuk gambar
lelaki bersemat lambang itu.
“Yang ini orang kita, kawan,” tambahnya lagi. Aku
masih tak paham. Tunggu…bila yang seorang adalah kawan, berarti yang bersemat
itu lawan? Dia PKI? Berarti, bapak, lawan? PKI…tunggu..kutata dulu isi
kepalaku…- wali kelasku pernah berkata bahwa isi kepalaku itu penuh, tapi
berceceran – rasa-rasanya kami pernah membahasnya di kelas…em…sejarah! Em…tapi,
ada apa dengan PKI….?
“Kata Bapak, tempo hari dibawa ke bui. Bui di
sini, bui di situ…Hh…tak tahulah. Bapak tidak bisa pulang, tak bisa lihat
anak-anak,” kata ibu. “Hanya bualan, mungkin…,” tambahnya. Pilu. Sedih. Tak
percaya. Namun, terselip rindu, rindu berkumpul bersama Bapak, rindu keluarga
kami yang utuh. Aku tak bersuara, tak begitu menyimak perkataan ibu. Setengah
pikiranku masih sibuk mengklarivikasi. G 30S.
Setengah tak sadar aku bangkit meninggalkan ibu,
masuk kamar. Pikiranku kosong, sekosong langit biru. Seperempat jam kemudian
kudapati diri berjalan tak menentu dengan tas satu-satunya tersampir di pundak.
Hujan mengguyur membasahi. Baru kusadari betapa
lelah kedua kakiku. Gontai kuseret kaki menepi, lalu duduk di emperan terdekat.
“Matrial Abadi ”, begitu bunyi tulisan yang terpampang di pintu masuk bangunan
seberang. Dibawahnya tertulis dengan huruf yang lebih kecil “ Jl. Raya Serpong
No. 56A”. Aku bangkit dan sekali lagi membiarkan hujan mengguyur kepalaku,
berjalan perlahan menyeberang. Hampir saja sebuah truk tanah melindas bila kuli
angkut toko matrial itu terlambat menarikku menepi. Beruntung huh? Entah.
Sejak hari itu aku mencoba menghapus
bayang-bayang keluarga dari benakku. Atas kemurahan hati pimpinan toko matrial
itu, aku menjadi bagaian dari para pekerja di sana. Hari-hari mulai kuisi dengan kesibukan
sebagai pekerja serabutan di sana.
Entah untuk berapa lama.
Suatu ketika, salah seorang kuli angkut seniorku
merobek kain tipis penutup sejarah kehidupanku. Ia berkata,
“Pulang. Kasihan ibumu.” Kontan aku terkejut dengan ucapannya. Ketika itu kami tengah asyik menikmati nasi bungkus jatah makan siang. Udara hari itu sepanas biasanya dan jalanan mengepulkan vitamin D (baca: debu) tambahan pada makanan kami. Kesibukan toko juga seperti biasanya. Kuli-kuli lain masih sibuk mengangkut barang ke sana ke mari. Tidak ada hujan lebih-lebih badai, tapi sepertinya kilat menyambarku.
“Pulang. Kasihan ibumu.” Kontan aku terkejut dengan ucapannya. Ketika itu kami tengah asyik menikmati nasi bungkus jatah makan siang. Udara hari itu sepanas biasanya dan jalanan mengepulkan vitamin D (baca: debu) tambahan pada makanan kami. Kesibukan toko juga seperti biasanya. Kuli-kuli lain masih sibuk mengangkut barang ke sana ke mari. Tidak ada hujan lebih-lebih badai, tapi sepertinya kilat menyambarku.
“Ibuku? Tahu apa kau tentang ibuku?” Semenjak
kedatanganku di toko itu, belum pernah sekalipun aku menyebut-nyebut soal
keluargaku. Aku menjadi begitu introvert, kuakui itu, dan biarlah tetap seperti
itu. Bagaimana mungkin rekan sekerjaku menasihatiku semacam itu??
“Aku tak punya ibu. Jangan sebut-sebut kata itu
di depanku lagi!”semburku tegas.
“Dengar dulu!” timpalnya tak kalah keras. Mungkin untuk meredamku…. Ia mulai menceritakan pertemuan-pertemuannya dengan ibu. Ya, bukan hanya sekali saja ia bertemu ibu, tapi berulang kali! Mulanya mereka memang acuh. Namun, kemudian perlahan-lahan mereka mulai saling bertukar cerita. Begitulah ia mendengar kisahku dari ibu setiap harinya sepenggal demi sepenggal. Ibu yang begitu menderita didera rasa rindu dan kegagalan sebagai seorang ibu – adik-adikku menyusul kepergianku dan Mas - , belum lagi Bapak yang keras kepala, namun dicintainya. Semua itu mengalir meresap dalam otak bersama jamu-jamu dalam gelas yang bergulir menuju kerongkongan, lalu masuk ke lambung. Dan segera kutepis, kubuang dari ingatan bersama napas yang kuhembuskan.
“Dengar dulu!” timpalnya tak kalah keras. Mungkin untuk meredamku…. Ia mulai menceritakan pertemuan-pertemuannya dengan ibu. Ya, bukan hanya sekali saja ia bertemu ibu, tapi berulang kali! Mulanya mereka memang acuh. Namun, kemudian perlahan-lahan mereka mulai saling bertukar cerita. Begitulah ia mendengar kisahku dari ibu setiap harinya sepenggal demi sepenggal. Ibu yang begitu menderita didera rasa rindu dan kegagalan sebagai seorang ibu – adik-adikku menyusul kepergianku dan Mas - , belum lagi Bapak yang keras kepala, namun dicintainya. Semua itu mengalir meresap dalam otak bersama jamu-jamu dalam gelas yang bergulir menuju kerongkongan, lalu masuk ke lambung. Dan segera kutepis, kubuang dari ingatan bersama napas yang kuhembuskan.
* * *
Jam tangan sepuhan milik seorang kawan yang
tertinggal di kamarku menyatakan bahwa hari telah berganti. Namun, aku belum
dapat terlelap barang sepincing pun. Penat yang tadi memaksaku untuk merebahkan
tubuh di atas tempat tidur tak mampu membuatku terlelap. Huh…
Kulemparkan pandang menembus kaca jendela. Entah
mengapa malam ini rembulan bersembunyi di balik pekatnya mega. Hanya sesekali
ia menyisipkan sinarnya di kala angin malam berhembus lirih, menghalau
mega-mega. Bintang-bintang pun seolah enggan menghias malam. Begitu muram
terasa. Ya…mungkin juga cahayanya kalah kuat dari maraknya lampu-lampu jalanan.
Padahal, ini bukan ibu kota
yang semarak dengan aneka penerang buatan manusia! Aku baru menyadari, ternyata
ada persaingan pula di langit malam. Huh… Kucoba memejamkan mata dan berbaring
gelisah. Seraut wajah menyusup dalam hitamnya pejaman. Bukan, bukan seraut
wajah…itu…sepatu…sepatu bapak! Kontan kubuka mata. Dahiku dipenuhi bulir-bulir
keringat. Besar-besar! Dan napasku tersengal. Aku meraih gelas air yang selalu
kusiapkan di samping tempat tidurku dan meneguknya sembari mengatur napas.
Bapak….
* * *
“Kenapa lo? Ga tidur lagi?” itulah komentar
pertama yang terlontar dari teman-teman pagi itu. Pastilah mataku merah dengan
hiasan lingkaran hitam mengelilinginya. Memang, belakangan ini tidurku selalu
gelisah. Setiap kali aku mencoba menikmati waktu istirahat malamku, kelopak
mata ini seakan menolak menutup. Em…mungkin bukan mataku yang bermasalah, tapi
ketakutanku akan bayangan serupa beberapa malam lalu.
“Iya nih…keasyikkan lihat bintang…,” sahutku
berbohong.
Akupun melanjutkan langkah menuju gudang, maksud
hati mendata ulang persediaan barang seperti yang kulakukan tiap paginya.
Namun, seperti memiliki otak dan kemauan sendiri, kakiku membelok, mengarah ke
ruang pimpinan. Dan tanpa kusadari, aku telah berada di dalam ruangan pengap
itu, berdiri di hadapan bos. Ia mengangkat kepala dari koran pagi yang tengah
dibacanya, menatapku. Sebelum sempat kucegah, pita suara, lidah, dan bibirku
memohon ijin pulang. Bosku hanya mengangguk sekilas dan kembali asyik dengan
korannya.
Belum lagi sempat kucerna perbuatanku pagi itu,
aku mendapati diri berada di dalam bus tujuan Blora. Sebuah tas hitam berisi
dua potong baju dan sepotong celana kumal berada di pangkuanku. Aku menatap
bingung daerah sekitar, jalan-jalan yang kulalui. Bagaimana mungkin aku
menempuh perjalanan ini? Untuk apa? Entah apa…yang kutahu hanyalah sesisip rasa
yang kerap dinamakan rindu. Benarkah itu rindu? Entah…
Singkat cerita, begitulah akhirnya aku kembali ke
rumah. Kelima saudaraku begitu enggan hidup bersama Bapak. Mereka masih
beranggapan bahwa Bapak “sakit” dan mematok kata “tiada” untuk Bapak. Padahal
Bapak hanyalah korban. Bohong besar bila para “petinggi” berkata bahwa perintah
penangkapan, pembuangan, dan pengucilan orang-orang seperti Bapak serta pengusiran
tak beralasan keluarganya bukanlah atas instruksi mereka. Tahu apa para petugas
lapangan tentang “kebijakan” macam itu? Yang mereka ketahui hanyalah patuh pada
segala perintah atasan bila ingin tetap hidup. Kini yang ada hanya aku, Ibu,
dan Bapak, membangun kembali mental kami yang hancur bersama. Bukan perkara
mudah. Namun, hidup harus berjalan. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan
tahunan berlalu. Dan inilah aku, bersama Ibu menemani Bapak menerima
penghargaan atas karya-karya Bapak di Denmark.
Miris juga melihat bahwa lukisan-lukisan Bapak
yang bernapaskan kondisi rakyat pasca pengakuan kedaulatan Indonesia – tak
heran Bapak disangka PKI -, lebih dihargai masyarakat luar negri dibandingkan
rakyat sendiri. Apa boleh dikata? Kuasaku tak sebesar mereka yang di atas yang
“berkuasa” atas hidup mahluk lainnya. Aku hanya bisa menjerit bisu dalam jiwa
patung-patungku, sambil terus berharap Ia yang Berkuasa meneguhkan sampai suatu
saat karya-karya Bapak dan terutama dirinya kembali dihargai di tanah air.
Mungkin saat itu keluarga kami dapat berkumpul kembali. Entah kapan.
Mungkinkah?
0 comments:
Post a Comment