Monday, 9 June 2014

Penulis Sejati

Penulis Sejati

A Elwiq Pr
03-04-2006

“Entah peneliti atau wartawati, yang pasti, kami  tidak butuh calon dan manusia yang congkak, seperti Anda! Kepribadian rendah Anda nampak nyata dalam tulisan Anda. Anda bukan siapa-siapa. Tulisan ini … het is te klein.” Ucap perempuan matang itu dingin. Ia samasekali  tak terpengaruh oleh raut wajah perempuan muda di depannya, yang memerah dan memucat silih berganti.
Bu Tan, entah tak gentar, atau menguat-nguatkan diri, terus nerocos melontarkan kata-kata yang telak, tegas, keras, namun selalu jelas maknanya: bodoh, salah,  miskin bacaan, acuannya ngawur, dan seterusnya yang sejenis itu. Tanpa ampun! Tubuh perempuan muda itu gemetar hebat. Seluruh syarafnya dialiri kemarahan, kepiluan, kekecewaan sekaligus kengerian. Semua itu telah bersarang bagai seabad dalam batin Smaradana.
Emangnya elu sendiri apa? Peneliti sejati? Hanya karena namamu sudah nampang di berbagai jurnal ilmiah dan kacamata tebalmu yang mengerikan itu? Perempuan tua kuntilanak! Mana elu tahu perkembangan zaman bila hanya bersarang di kantor yang berisi tumpukan sampah kayak begini! Perempuan kasar tak punya hati! Pantas tak ada laki-laki yang mau!” Begitulah sumpah serapah di dalam hati-limpa-usus Dana, berteriak-teriak. Lantang! Mereka bersatu-padu menggedor-gedor dada-perut-punggungnya. Mereka memberontak seperti hendak keluar dari tubuh Dana. Kedua tangan Dana bersatu padu mencaci di belakang bokongnya yang sintal. Tangan kanan Dana mengepal dengan jari tengah dijulurkan, keluar dari sang kepalan tangan.
Dana, seminggu ini memasuki masa magang di gedung lembaga internasional urusan kebudayaan di negeri surga tulip yang diidam-idamkannya semasa kecil mula, ketika ia sudah mulai bisa membuka-buka majalah Bobo. Di mata bocahnya, suasana kehidupan si Bobo mampu menggambarkan betapa menyenangkan berada di sebuah negeri empat musim. Saat yang dinanti itupun akhirnya tiba juga. Belum genap satu tahun Dana menginjakkan kaki di negeri sepatu kayu itu, Holland nan permai.
Beberapa minggu yang lalu pohon kastanye bersama daun-daunnya yang berguguran menyaksikan kegembiraan Dana menjadi satu di antara lima remaja  yang diterima magang di kantor nan anggun itu. Kelak akan disaring lagi menjadi satu saja untuk dijadikan tenaga tetap. Hah! Dari sekian ratus calon dari seantero sekolah ilmu komunikasi di seluruh daratan Eropa, bersainglah Dana bersama pemuda-pemudi hampir seantero bumi yang menimba ilmu di sekolah setempat.
Aku bisa! Begitu teriak Dana di dalam lekuk hatinya penuh percaya diri, merasa  tak kurang apa-apa dengan bekal ilmu, bakat dan tentu saja, kecerdasan. Ya, dengan kepercayaan diri tinggi dan berbumbu kecantikan (yang banyak perusahaan gedongan memperhalus dengan sebutan berpenampilan menarik) ia melenggang tenang. Dana menguasai beberapa bahasa, bekal yang keluarganya dan ia sendiri persiapkan lebih dari cukup. Salah satunya menyusul, Dana mengikuti les kelas pribadi di Erasmus Huis sebelum ia berangkat ke Belanda waktu itu. Dana cepat menyesuaikan diri dan menguasai. Dana hampir tak menemukan kesulitan.
Kecuali, tentu saja, seperti hari ini. Hari-hari awal kerja magang di gedung yang kini sinar lampunya nampak dingin dan tak berperasaan. Sekarang pohon-pohon kastanye tak rindang lagi. Mereka menunduk. Seperti dirinya. Pohon-pohon gagah dan rupawan itu nampak begitu takluk dihadapan kapas-kapas putih melayang-layang mengitarinya. Bukankah semestinya mereka tunjukkan pada sang putih yang berserak bahwa mereka tak terkalahkan! Kastanyeku, kemana kegagahanmu walaupun angin musim gugur telah membuat daun-daunmu rontok tak bersisa di tengah musim nan beku ini? Semestinya engkau tegar …
Batin Dana dipenuhi tanda seru dan tanya, tiba-tiba merasa kalah, tiba-tiba ingin pulang ke Indonesia.
“Hatsyiii!”
Semburan bersin Smaradana menciptakan bintik-bintik di layar monitor komputer, sedikit keras lagi, mungkin huruf-huruf dalam layar akan berhamburan, khayalnya. Aneh, pikir Dana, bintik-bintik itu menciptakan bayang-bayang tak indah, sosok nenek sihir dan sapu terbang. Kemudian Dana memikirkan sosok Ibu Tan.
“Na, dipanggil lagi tuh sama Ibu.” Teman magangnya tersenyum, di mata Dana senyum itu tak lebih dari sebuah ejekan, rasa puas hati melihat dia menderita. Dana merasa disudutkan siapa saja yang berusaha beramah-tamah dalam suasana yang begini tak nyaman baginya.
Di depan pintu ruangan Ibu Tan, Dana berhenti. Mengatur nafas. Tak sengaja ia membaca dengan seksama papan nama yang tertera di daun pintu ruangan paling sangar baginya itu. Bahkan masuk ruang kepala bagian yang ada di ujung lorong, ia tak kecil hati semacam ini. Papan nama itu berbunyi lantang, seorang doktor, penanggungjawab bidang sastra dunia ketiga. Lengkaplah kebengisannya sebagai perempuan, batin Dana simpangsiur.
Smaradana. Ia belum habis pikir mengapa di antara teman-temannya, dia yang ditempatkan di bagian ini. Ilmu sastra yang ia kuasai sejak empat tahun kuliah di universitas terpandang di Indonesia tak menolongnya untuk mengerti sosok yang agaknya memang diakui oleh para peneliti lain sebagai manusia tiada duanya.
Tak banyak bicara, tapi sekali berkata-kata, nyaris tak ada yang menyangkal. Kabarnya bukan karena ia menakutkan bagi rekan-rekannya tetapi karena selalu benar adanya yang dikatakan. Begitu kasak kusuk yang pernah ia dengar. TIDAK. Bukan begitu bagi Dana, alasan menakutkan binti mengerikan itulah yang paling mantiki.
“Lama sekali.” ujar Ibu Tan datar.
Tanpa menunggu pembelaan diri dari Dana, Ibu Tan melempar sebuah map coklat muda di atas meja, di depan Dana berdiri. Walaupun sejatinya tak melempar, mengangsurkan, sebab lebar sang meja maka map coklat muda itu tampak, tepatnya, terlempar.
Spreekt U Indonesisch? Saya perhatikan, Anda lebih suka berbahasa Inggris. Pelajari isi surat-surat di dalamnya, surat itu ditulis dalam bahasa Indonesia yang sederhana tapi menunjukkan kelihaian sebagai orang Indonesia yang bangga dengan bahasanya sendiri. Beberapa tulisannya sudah cukup sering menghiasi jurnal yang kita terbitkan. Dia lulusan SD. Sejatinya ia hanya seorang pendengar radio mitra kita, yang rajin menulis surat. Kegigihan dan kemauannya untuk majulah yang membuat tulisannya berisi dan kami hargai.” Ujar Ibu Tan panjang, lebih panjang, amat panjang. Dana lega, paling tidak tanpa kata-kata lugas jelas mantiki - yang bagi benak manusia "biasa" terdengar mirip caci maki - yang amat menyakitkan hati.
Speaking English kek, ngomong Indonesia nek! Itu hak gue sebenar-benarnya. Gue lebih nyaman dan asyik saja berbahasa Inggris. Apa urusan lu?”  Batin Dana. Dan ia mulai ...  mual.
Hah! Lulusan SD? Yang benar saja! Memangnya dia siapa, berani-beraninya membandingkan seorang Smaradana yang lulus TOEFL tertinggi dalam satu angkatan ini, dengan …. guncangan jiwa Dana hampir tak bisa diemban lagi. Kepalanya tiba-tiba pening. Tak ada lagi keinginan untuk menangis. Dana syok!
“Anda lebih baik mempraktikkan bahasa Belanda Anda. Pergunakan waktu Anda sebaik-baiknya sebab Anda sedang di negeri Belanda, alangkah baik bila Anda melancarkan pengucapan di luar kepala dalam bahasa yang digunakan di sini. Jangan takut salah ... ”
Mata Dana mulai berkunang-kunang.
“Saya beri Anda waktu mempela …. “ ucapan Ibu Tan kian menjauh dan semakin jauh dari telinga Dana yang tak terlampau jauh dari Ibu Tan berdiri.
Smaradana kembali ke mejanya dengan badan serasa seringan salju yang diterbangkan angin musim dingin di luar, lunglai, wajahnya pucat dan jiwanya tergilas. Habis.
Untuk minggu ini Dana tak diberi kisi-kisi garapan tulisan, apalagi tugas luar yang selalu ia nanti-nantikan. Menyentuh salju kala siang, luar biasa menyenangkan. Di pusat kota dia bisa main ski bersama teman-teman sebayanya. Kemudian minum bir ramai-ramai setelah mampir sebentar ke kampus. Betapa menyenangkan bila dibayangkan. Kini, ia malah dibiarkan sendiri dan merasai sepi tak bertepi. Dana diberi tugas membaca dan hanya membaca, berkas surat pendengar dan beberapa buku filsafat dasar yang tak terpikir olehnya bakal ia sentuh di masa lalu.
Sedemikian burukkah pengetahuanku? Batin Dana menjerit. Tapi akhirnya,  dengan setengah terpaksa, ia mulai membaca. Membaca dan membaca ... dan, hei?
Dana melongok keluar jendela, beberapa hari ini ia merasa dibuntuti oleh lelaki tua tinggi besar dan sedikit bungkuk itu, kulitnya keriput dengan noda kecoklatan khas kulit seseorang yang sudah mulai lanjut. Kemaren malah duduk berseberangan di bis, pandangannya tanpa kata-kata, seperti danau biru warnanya, tak terduga dalamnya. Saat bersirobok Dana tak berkutik, senyumnya tak umum bagi manusia barat yang tak biasa berbasa-basi dengan orang yang tak mereka kenal. Lelaki tersebut entah sedang mencongkel apa di bawah pohon kastanye itu, lelaki tua dan pohon kastanye …
Dana kemudian membuka map coklat muda bagai membuka peti mati yang hendak dikremasi. Tangannya dingin, tengkuknya merinding. Dana tak habis pikir atas apa saja yang dihadapinya akhir-akhir ini.
Tulisan itu tak umum, miring ke kiri dan hampir rata setiap jejaknya. Amat lembut watak tulisannya dan hampir-hampir tak terbaca karena kelembutan huruf-hurufnya, menggunakan spidol hitam, ajeg. Dana tak bisa menikmati tulisan yang begini, dia jengkel dan tak mau mengerti. Dana terdiam dan membuka blog friendster-nya dan sepi. Tak ada pesan barang secuil pula dari kawan-kawannya. Dana kian terdiam.
Kemudian Dana turun ke kantin walaupun waktu makan belum tiba, ia ingin cari suasana berbeda. Map itu ia bawa serta.
Het is koud, Mevrouw.”
Nee, niets om … ongerust over … te zijn.”
Yang ini agaknya Ibu Tan benar, aku harus segera mempraktikkan bahasa Belanda, biarpun terbata-bata, batin Dana. Peringatan ramah Bapak pengurus kantin bisa ia tanggapi dengan, mudah-mudahan tepat. Ia mengerti di luar memang dingin. Tapi hari ini matahari bersinar terang walaupun tetap dingin, Dana ingin merasakan usapan lembut sinar matahari yang lama tak ia jumpai, sinar itu selalu ia hindari dulu kala ia masih di kampung halaman, takut hitam.
Mug bulat berisi kopi gaya adukan expresso Italiano membuatnya tak segan membuka map itu di beranda yang kursinya banyak ditengkurapkan. Dana telah membalik satu di antara yang banyak itu. Ia kembali mencermati tulisan tangan mm, siapa namanya? Do-mi-ru-din.
Ini ditulis pada pertengahan November 2003:
… tak terasa bulan nopember sudah mendekati minggu terakhir, tapi musim kemarau belum mau enyah juga. Guyuran air hujan yang diimpikan para petani - orang yang berpuasa juga- belum juga menampakkan kabar tetesannya. Seharusnya bumi sudah bertubuh segar, bebas dari sisa-sisa bedak tuan kemarau berupa debu jalanan itu, dan petani seharusnya juga sudah mulai tersenyum karena tak perlu membeli air untuk memberi minum ladang jagung mereka. Dengan air hujan, biaya produksi akan rendah dan hasil panen -laba- akan jauh lebih banyak. Nah, sekarang khan dekat lebaran, biaya atau anggaran yang seharusnya untuk beli air disadong, dialihkan, untuk beli baju anak-istri, atau ya, buat beli kueh-mueh untuk menyambut tamu yang akan unjung sana unjung sini. Harapan petani hanya mendung, mendung saja. Ya, agaknya petani sedang diuji ketabahannya di bulan Ramadhan yang suci ini …
Smaradana menghirup kopinya yang sudah dingin, padahal kepulnya baru saja lewat di hidung mbangir tapi mungil, kebanggaannya. Pandangannya tertumbuk pada pohon kastanye di depannya. Dana memandang salju yang diam di sekitar kastanyenya. Lelaki tua itu sudah pergi.
Berikutnya berkas tulisan pada awal Januari 2004;
.. hujan sudah turun melimpah di desa saya, debu-debu sudah pergi, kecuali di dinding gubug saya. Udara rasanya lebih nyaman dan segar. Kadang saya sedih juga bila hujan turun pada malam hari. Di mana ranjang di depan gubug saya itu sebagai tempat tidur Ayah saya, bila hujan turun, biasanya ranjang bale itu akan basah oleh serpih air hujan. Saat itulah Ayah harus bangun dan duduk sambil menahan rasa kantuk. Tapi itulah romantika hidup kami yang mungkin hanya dimiliki sedikit orang. Adalah lebih baik, ini menurut saya dan Ayah, ketimbang waktu kami tinggal di dapur milik kakak. Di sana selain berperang dengan bocoran air hujan, kami juga harus menghadapi asap dari tungku yang menyesakkan itu …
Smaradana menghirup kopinya yang kian dingin, kepulnya sudah lama lewat di hidung mbangir tapi mungil, yang mulai memerah. Pandangannya tertumbuk pada pohon kastanye di depannya. Entah mengapa ada rasa kehilangan kala ia tak lagi memandang sosok tua di sana. Hati Dana serasa tercabik dalam diam.
Ia meneruskan membaca urutan korespondensi berikutnya;
…beberapa hari yang lalu, seekor ular jatuh dari atap dan menimpa tubuh saya. Saya bukan tergolong laki-laki pemberani. Ular itu melingkar di dada saya. Saya tetap bernafas seperti biasa. Pikir saya, terserah ular itu mau apa. Kalau mau menggigit, ya silakan. Kalau mau pergi, ya silakan enyah. Rupanya ular itu menyangka saya ini benda mati semacam patung hehe. Buktinya, ia pergi tanpa suatu reaksi.
Coba renungkan, jika ia tergolong manusia biadab yang suka membunuh orang-orang tak berdosa, ia pasti sudah membunuh saya dengan bisanya. Ular saja tahu mana yang berbahaya mana yang tidak, kita yang manusia ini mengapa tidak tahu?
Yang saya rasakan saat itu bahwa dengan ketakutan pada mati membuat detak jantung kita terdengar sampai ke langit. Jangankan ular, malaikat mautpun pasti akan mencium ketakutan kita.
Keadaan begini seringkali membuat saya bermimpi menjadi orang yang normal kembali. Indah juga walaupun kenyataan itu ada dalam mimpi semata. Tuhan membuat mimpi bukan hanya untuk bunga tidur, tetapi untuk melengkapi kehidupan ini. Yang buta, Tuhan berikan kecemerlangan dalam mimpi. Pada yang bisu dan tuli, Tuhan berikan kebalikannya dalam mimpi. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah bangun tidur nanti ...  masihkah bisa melangkah dan melihat matahari? Bolehkah saya katakan, setiap kesempurnaan kita yang hilang, tersimpan di surga?
Smaradana menghirup kopinya yang terasa mulai beku, kepulnya sudah kelu terhirup hidung mbangir tapi mungil, yang mulai terasa sakit. Pandangannya tertumbuk pada pohon kastanye di depannya, tanpa lelaki tua. Dana menarik nafas panjang dalam entah.
Dana ingin jalan-jalan sebentar, kakinya terasa kram. Toh, matahari masih setia bersinar, tak mengapa jalan-jalan sebentar di sekitar gedung kantor ini.
Dari atas gedung, lantai tiga, sepasang mata dibalik kacamata itu memperhatikan gerak-gerik Dana menuju rerimbunan gersang pepohonan kastanye dengan seksama. Bu Tan menyadari kekerasan kata-katanya pada perempuan muda itu, tapi ia harus, ia tahu bagaimana cara menaklukkan gadis cerdas, sebagaimana ia menaklukan dirinya sendiri. Ia tak ingin gadis itu menjelma menjadi sosoknya pada zaman lain. Segala gadis muda itu nyaris sempurna, hanya akan nista bila ia melupakan suara hati. Perempuan itu menaruh harapan padanya, yang  ia  perhatikan sedang menuju arah pepohonan abu-abu sebab sapuan salju itu, agar mampu menyelesaikan masalah bangsanya yang kian runyam. Dengan cara individual, individu yang bergerak dan terus menggerakkan sekitarnya, seperti gema. Yang semestinya ia miliki bukan hanya ketajaman akali namun juga jiwani.
“Selamat pagi, Nona.”
Dana terperanjat. Lelaki Belanda tua itu akhirnya menyapanya, entah darimana arah datangnya. Dia tersenyum lebar, amat lebar, seakan pagi ini pagi musim semi yang penuh bunga tulip warna biru, kuning dan merah jambu.
“Anda berbicara dengan saya?” tanya Dana memastikan.
“Hei! Adakah nona lain di sini?” Jawab Sang Belanda dengan bahasa tubuh yang menyenangkan.
“Mau ke mana? Nona belum tahu jalan di sekitar sini toch. Itu jalan setapak menuju hutan di belakang sana, sedang di sebelah sana telaga. Nona bisa terjebak masuk selokan dan entah lubang apa lagi. A, Nona seharusnya hati-hati, salju nampaknya jinak tapi dia bisa bikin kita sengsara!” Lanjut Pak Tua dengan tangannya seakan membelai-belai segala keindahan agar turut serta menikmati keindahan hari ini.
Dari atas gedung, lantai tiga, sepasang mata dibalik kacamata itu memperhatikan dua orang yang sedang bercakap-cakap. Si Tua Bob yang tak ada capainya sedang menerangkan sesuatu pada Dana, Cah ayu, batinnya.
Sejak gedung ini memberlakukan peraturan baru bahwa pekerja pembersih, perawat gedung dan penata kebun tak lagi menjadi bagian dari pegawai kantor tetapi sebagai pekerja lepas, sahabat saya itu masih saja bertahan menyetiai perusahaan semacam ini. Cari mati dia. Inilah zaman setelah industrialisasi meraja di dunia, jauh masa dari zaman pencerahan-nya Perancis. Manusia dianggap mesin produksi, semakin produktif untuk lembaga, maka ia dipuja dan diberi tempat di surga perusahaan, bahkan atasanpun bisa tak berkutik hanya karena merasa perlu otaknya. Bob, manusia paling setia dan terampil itu, terpinggir dengan sendirinya. Manusia bukan apa-apa di mata industri termasuk industri budaya dan segala ikutannya. Batin Bu Tan menderu-deru.
Dulu, Bob jadi sahabat pertama saya kala saya baru melangkahkan kaki di sini. Saya sebagai tenaga yang didatangkan dari Indonesia untuk memperkuat lembaga kebudayaan ini, khususnya mengenai kebudayaan Indonesia, sebagai salah satu negara ketiga. Kini, Bob tua masih seperti yang pertama kali saya kenal, hasratnya tetap nyala dalam segala sesuatu menyangkut Nusantara. Saat inipun ia mulai menjalin persahabatan dengan perempuan muda yang sedang kuuji ketangguhannya. Anak sekarang minta ampun manjanya. Bob amat telaten, seperti malaekat bagi manusia baru di negeri ini, menjadi sahabat bagi yang sepi. Ia belajar keras untuk bisa melafalkan bahasa Indonesia yang menjadi sebagian darahnya. Bob mampu berbahasa Indonesia layaknya seorang cendekiawan. Batin Bu Tan menakuk-nakuk.
“Apa toch yang sedang kau baca, Dana?”
“Surat seorang penulis. Pak Bob mau melihat?”
“Tentu saja, a, bila diperkenankan.”
Mereka telah kembali menuju gedung dan duduk di bangku-bangku di tepi selasar. Bob segera membukai dan membaca beberapa dengan kacamata yang ia keluarkan dari kantung baju di dalam baju hangat wolnya nan lusuh, tak ia ganti sedari beberapa musim dingin yang lalu.
Ia bukan seperti tukang kebun bila sedang membaca begitu, batin Dana berdebar.
“Aha, saya tahu sekarang, a, mengapa Dana sayang bermuram durja.”
“Tahu apa?”
Mereka beradu pendapat dan saling menimpali. Dana seperti berabad mengenalnya setelah berabad dalam masa sunyi tak terperi. Keajaiban musim dingin atau apakah ini?
Sebuah urai-udar bersangkut-paut dengan penulis dari Indonesia yang hanya lulus sekolah dasar disajikan oleh seorang tukang kebun yang berbicara bak profesor di gedung sekolah bergaya gotik di pusat kota Amsterdam di mana ia menuntut ilmu saat ini, untuk meraih gelar master! Bagaimana ia bisa demikian dibutakan hati? Dana hampir-hampir pingsan menemukan kembali hidupnya, tak ia sangka-sangka. Dalam sehari ia merasakan gelap dan terang, warna kehidupan yang demikian bertolakbelakang.
“Jadi, keberhasilan Domirudin sebagai seorang penulis adalah kemampuannya menyimak hati dan sekitarnya, ditulis dengan sedemikian jujur, seperti ia berkaca dalam mm, danau kehidupannya. Segala keterbatasan musnah dalam kemauannya yang seluas langit. Ia seorang penyimak, Pak Bob! Penulis sejati adalah penyimak alam raya dan isinya! Begitu Pak Bob?” Pekik Dana tak percaya dengan segala yang diucapkannya.
“Ach! Bukan saya yang katakan toch. Kau sendiri, Nona, kau sendiri yang menemukan apa yang sudah ada dalam pikiranmu, Nona.” Lembut Bob berujar.  Bahwa Bobpun mengerti peristiwa ini menjadi sejarah penting bagi satu orang lagi, calon peneliti atau wartawati, yang duduk di kursi di gedung yang pada suatu waktu pernah ia impikan, ia ikut ambil bagian. Impiannya tidak sia-sia. Paling tidak, pada gadis muda di depannya ini, ia menitipkan impian besar tentang kepekaan seorang wartawati atau peneliti atas apa yang semestinya bisa mereka buat, seorang pemikir besar di balik sebuah tulisan.
“Pak Bob ..” ujar Dana tak sampai pada apa yang ingin diucapkannya. Matanya  berkaca-kaca. Ia belum tahu sebenar-benarnya siapa yang berada di hadapannya, namun Dana menyakini, hatinya tak berbohong, bahwa ia berjumpa dengan orang yang tepat.
“Ibu Tan, Ibu Tan!” Pekik Dana tak sabar ingin memamerkan apa yang baru saja ia temukan. Dana berlari menaiki anak tangga dan langsung membuka pintu tanpa ba dan bu, padahal beberapa jam yang lalu ia seperti melewati jalan beribu-ribu kilo jaraknya untuk sampai di hadapan seorang Tan.
“Anda sadar yang Anda lakukan? Seperti di hutan saja,” ujar Ibu Tan dingin.
Dana balik kanan malu-malu, kembali menutup pintu dan mengetuk pintu.
“Masuk,” ucap Ibu Tan singkat.
“Masuk!” Sekali lagi Ibu Tan sedikit berteriak sebab sejatinya ia juga tak sabar ingin tahu apa yang hendak dikatakan anak muda yang sudah berani menunjukkan kebandelannya itu, sebagai tanda kecerdasannya yang murni.
“Maaf, maaf, saya kurang mendengar dari luar,” kata Dana tak dibuat-buat. Dia tampak sudah sibuk dengan segala yang berkecamuk dalam pikirannya.
“Sudah, kalau begitu tak perlu kau katakan. Tulis!” sergap Ibu Tan.
“Lah, apa yang harus saya tulis?” tanya Dana polos, seperti terlahir kembali.
Ibu Tan melotot, tapi wajah itu kini tersenyum. Dana tahu, Dana mengenal Ibu Tan dalam sosoknya yang berbeda kini, seperti peri bersayap.

 ***
Turen, Januari 2006

0 comments:

Post a Comment