Penulis Sejati
A Elwiq Pr
03-04-2006
“Entah peneliti
atau wartawati, yang pasti, kami tidak butuh calon dan manusia yang
congkak, seperti Anda! Kepribadian rendah Anda nampak nyata dalam tulisan Anda.
Anda bukan siapa-siapa. Tulisan ini … het is te klein.” Ucap perempuan
matang itu dingin. Ia samasekali tak terpengaruh oleh raut wajah
perempuan muda di depannya, yang memerah dan memucat silih berganti.
Bu Tan, entah tak gentar, atau menguat-nguatkan diri, terus nerocos
melontarkan kata-kata yang telak, tegas, keras, namun selalu jelas maknanya:
bodoh, salah, miskin bacaan, acuannya ngawur, dan seterusnya
yang sejenis itu. Tanpa ampun! Tubuh perempuan muda itu gemetar hebat. Seluruh
syarafnya dialiri kemarahan, kepiluan, kekecewaan sekaligus kengerian. Semua
itu telah bersarang bagai seabad dalam batin Smaradana.
”Emangnya elu sendiri apa? Peneliti sejati? Hanya karena namamu
sudah nampang di berbagai jurnal ilmiah dan kacamata tebalmu yang
mengerikan itu? Perempuan tua kuntilanak! Mana elu tahu perkembangan
zaman bila hanya bersarang di kantor yang berisi tumpukan sampah kayak begini!
Perempuan kasar tak punya hati! Pantas tak ada laki-laki yang mau!” Begitulah
sumpah serapah di dalam hati-limpa-usus Dana, berteriak-teriak. Lantang! Mereka
bersatu-padu menggedor-gedor dada-perut-punggungnya. Mereka memberontak seperti
hendak keluar dari tubuh Dana. Kedua tangan Dana bersatu padu mencaci di
belakang bokongnya yang sintal. Tangan kanan Dana mengepal dengan jari tengah
dijulurkan, keluar dari sang kepalan tangan.
Dana, seminggu ini memasuki masa magang di gedung lembaga internasional
urusan kebudayaan di negeri surga tulip yang diidam-idamkannya semasa kecil
mula, ketika ia sudah mulai bisa membuka-buka majalah Bobo. Di mata bocahnya,
suasana kehidupan si Bobo mampu menggambarkan betapa menyenangkan berada di
sebuah negeri empat musim. Saat yang dinanti itupun akhirnya tiba juga. Belum
genap satu tahun Dana menginjakkan kaki di negeri sepatu kayu itu, Holland nan
permai.
Beberapa minggu yang lalu pohon kastanye bersama daun-daunnya yang
berguguran menyaksikan kegembiraan Dana menjadi satu di antara lima
remaja yang diterima magang di kantor nan anggun itu. Kelak akan disaring
lagi menjadi satu saja untuk dijadikan tenaga tetap. Hah! Dari sekian ratus calon
dari seantero sekolah ilmu komunikasi di seluruh daratan Eropa, bersainglah
Dana bersama pemuda-pemudi hampir seantero bumi yang menimba ilmu di sekolah
setempat.
Aku bisa! Begitu teriak Dana di dalam lekuk hatinya penuh percaya diri,
merasa tak kurang apa-apa dengan bekal ilmu, bakat dan tentu saja,
kecerdasan. Ya, dengan kepercayaan diri tinggi dan berbumbu kecantikan (yang
banyak perusahaan gedongan memperhalus dengan sebutan berpenampilan menarik) ia
melenggang tenang. Dana menguasai beberapa bahasa, bekal yang keluarganya dan
ia sendiri persiapkan lebih dari cukup. Salah satunya menyusul, Dana mengikuti
les kelas pribadi di Erasmus Huis sebelum ia berangkat ke Belanda waktu itu.
Dana cepat menyesuaikan diri dan menguasai. Dana hampir tak menemukan kesulitan.
Kecuali, tentu saja, seperti hari ini. Hari-hari awal kerja magang di gedung
yang kini sinar lampunya nampak dingin dan tak berperasaan. Sekarang
pohon-pohon kastanye tak rindang lagi. Mereka menunduk. Seperti dirinya.
Pohon-pohon gagah dan rupawan itu nampak begitu takluk dihadapan kapas-kapas
putih melayang-layang mengitarinya. Bukankah semestinya mereka tunjukkan pada
sang putih yang berserak bahwa mereka tak terkalahkan! Kastanyeku, kemana
kegagahanmu walaupun angin musim gugur telah membuat daun-daunmu rontok tak
bersisa di tengah musim nan beku ini? Semestinya engkau tegar …
Batin Dana dipenuhi tanda seru dan tanya, tiba-tiba merasa kalah, tiba-tiba
ingin pulang ke Indonesia.
“Hatsyiii!”
Semburan bersin Smaradana menciptakan bintik-bintik di layar monitor
komputer, sedikit keras lagi, mungkin huruf-huruf dalam layar akan berhamburan,
khayalnya. Aneh, pikir Dana, bintik-bintik itu menciptakan bayang-bayang tak
indah, sosok nenek sihir dan sapu terbang. Kemudian Dana memikirkan sosok Ibu
Tan.
“Na, dipanggil lagi tuh sama Ibu.” Teman magangnya tersenyum, di mata Dana
senyum itu tak lebih dari sebuah ejekan, rasa puas hati melihat dia menderita.
Dana merasa disudutkan siapa saja yang berusaha beramah-tamah dalam suasana
yang begini tak nyaman baginya.
Di depan pintu ruangan Ibu Tan, Dana berhenti. Mengatur nafas. Tak sengaja
ia membaca dengan seksama papan nama yang tertera di daun pintu ruangan paling
sangar baginya itu. Bahkan masuk ruang kepala bagian yang ada di ujung lorong,
ia tak kecil hati semacam ini. Papan nama itu berbunyi lantang, seorang doktor,
penanggungjawab bidang sastra dunia ketiga. Lengkaplah kebengisannya sebagai
perempuan, batin Dana simpangsiur.
Smaradana. Ia belum habis pikir mengapa di antara teman-temannya, dia yang
ditempatkan di bagian ini. Ilmu sastra yang ia kuasai sejak empat tahun kuliah
di universitas terpandang di Indonesia tak menolongnya untuk mengerti sosok
yang agaknya memang diakui oleh para peneliti lain sebagai manusia tiada
duanya.
Tak banyak bicara, tapi sekali berkata-kata, nyaris tak ada yang menyangkal.
Kabarnya bukan karena ia menakutkan bagi rekan-rekannya tetapi karena selalu
benar adanya yang dikatakan. Begitu kasak kusuk yang pernah ia dengar. TIDAK.
Bukan begitu bagi Dana, alasan menakutkan binti mengerikan itulah yang paling
mantiki.
“Lama sekali.” ujar Ibu Tan datar.
Tanpa menunggu pembelaan diri dari Dana, Ibu Tan melempar sebuah map coklat
muda di atas meja, di depan Dana berdiri. Walaupun sejatinya tak melempar,
mengangsurkan, sebab lebar sang meja maka map coklat muda itu tampak, tepatnya,
terlempar.
“Spreekt U Indonesisch? Saya perhatikan, Anda lebih suka berbahasa
Inggris. Pelajari isi surat-surat di dalamnya, surat itu ditulis dalam bahasa
Indonesia yang sederhana tapi menunjukkan kelihaian sebagai orang Indonesia
yang bangga dengan bahasanya sendiri. Beberapa tulisannya sudah cukup sering
menghiasi jurnal yang kita terbitkan. Dia lulusan SD. Sejatinya ia hanya
seorang pendengar radio mitra kita, yang rajin menulis surat. Kegigihan dan
kemauannya untuk majulah yang membuat tulisannya berisi dan kami hargai.” Ujar
Ibu Tan panjang, lebih panjang, amat panjang. Dana lega, paling tidak tanpa
kata-kata lugas jelas mantiki - yang bagi benak manusia "biasa"
terdengar mirip caci maki - yang amat menyakitkan hati.
”Speaking English kek, ngomong Indonesia nek! Itu hak gue
sebenar-benarnya. Gue lebih nyaman dan asyik saja berbahasa Inggris.
Apa urusan lu?” Batin Dana. Dan ia mulai ... mual.
Hah! Lulusan SD? Yang benar saja! Memangnya dia siapa, berani-beraninya membandingkan
seorang Smaradana yang lulus TOEFL tertinggi dalam satu angkatan ini, dengan ….
guncangan jiwa Dana hampir tak bisa diemban lagi. Kepalanya tiba-tiba pening.
Tak ada lagi keinginan untuk menangis. Dana syok!
“Anda lebih baik mempraktikkan bahasa Belanda Anda. Pergunakan waktu Anda
sebaik-baiknya sebab Anda sedang di negeri Belanda, alangkah baik bila Anda
melancarkan pengucapan di luar kepala dalam bahasa yang digunakan di sini.
Jangan takut salah ... ”
Mata Dana mulai berkunang-kunang.
“Saya beri Anda waktu mempela …. “ ucapan Ibu Tan kian menjauh dan semakin
jauh dari telinga Dana yang tak terlampau jauh dari Ibu Tan berdiri.
Smaradana kembali ke mejanya dengan badan serasa seringan salju yang
diterbangkan angin musim dingin di luar, lunglai, wajahnya pucat dan jiwanya
tergilas. Habis.
Untuk minggu ini Dana tak diberi kisi-kisi garapan tulisan, apalagi tugas
luar yang selalu ia nanti-nantikan. Menyentuh salju kala siang, luar biasa
menyenangkan. Di pusat kota dia bisa main ski bersama teman-teman sebayanya.
Kemudian minum bir ramai-ramai setelah mampir sebentar ke kampus. Betapa
menyenangkan bila dibayangkan. Kini, ia malah dibiarkan sendiri dan merasai
sepi tak bertepi. Dana diberi tugas membaca dan hanya membaca, berkas surat
pendengar dan beberapa buku filsafat dasar yang tak terpikir olehnya bakal ia
sentuh di masa lalu.
Sedemikian burukkah pengetahuanku? Batin Dana menjerit. Tapi akhirnya,
dengan setengah terpaksa, ia mulai membaca. Membaca dan membaca ... dan, hei?
Dana melongok keluar jendela, beberapa hari ini ia merasa dibuntuti oleh
lelaki tua tinggi besar dan sedikit bungkuk itu, kulitnya keriput dengan noda
kecoklatan khas kulit seseorang yang sudah mulai lanjut. Kemaren malah duduk
berseberangan di bis, pandangannya tanpa kata-kata, seperti danau biru
warnanya, tak terduga dalamnya. Saat bersirobok Dana tak berkutik, senyumnya
tak umum bagi manusia barat yang tak biasa berbasa-basi dengan orang yang tak
mereka kenal. Lelaki tersebut entah sedang mencongkel apa di bawah pohon
kastanye itu, lelaki tua dan pohon kastanye …
Dana kemudian membuka map coklat muda bagai membuka peti mati yang hendak
dikremasi. Tangannya dingin, tengkuknya merinding. Dana tak habis pikir atas
apa saja yang dihadapinya akhir-akhir ini.
Tulisan itu tak umum, miring ke kiri dan hampir rata setiap jejaknya. Amat
lembut watak tulisannya dan hampir-hampir tak terbaca karena kelembutan
huruf-hurufnya, menggunakan spidol hitam, ajeg. Dana tak bisa menikmati tulisan
yang begini, dia jengkel dan tak mau mengerti. Dana terdiam dan membuka blog
friendster-nya dan sepi. Tak ada pesan barang secuil pula dari kawan-kawannya.
Dana kian terdiam.
Kemudian Dana turun ke kantin walaupun waktu makan belum tiba, ia ingin cari
suasana berbeda. Map itu ia bawa serta.
“Het is koud, Mevrouw.”
“Nee, niets om … ongerust over … te zijn.”
Yang ini agaknya Ibu Tan benar, aku harus segera mempraktikkan bahasa
Belanda, biarpun terbata-bata, batin Dana. Peringatan ramah Bapak pengurus
kantin bisa ia tanggapi dengan, mudah-mudahan tepat. Ia mengerti di luar memang
dingin. Tapi hari ini matahari bersinar terang walaupun tetap dingin, Dana
ingin merasakan usapan lembut sinar matahari yang lama tak ia jumpai, sinar itu
selalu ia hindari dulu kala ia masih di kampung halaman, takut hitam.
Mug bulat berisi kopi gaya adukan expresso Italiano membuatnya tak segan
membuka map itu di beranda yang kursinya banyak ditengkurapkan. Dana telah
membalik satu di antara yang banyak itu. Ia kembali mencermati tulisan tangan
mm, siapa namanya? Do-mi-ru-din.
Ini ditulis pada pertengahan November 2003:
…
tak terasa bulan nopember sudah mendekati minggu terakhir, tapi musim kemarau
belum mau enyah juga. Guyuran air hujan yang diimpikan para petani - orang yang
berpuasa juga- belum juga menampakkan kabar tetesannya. Seharusnya bumi sudah
bertubuh segar, bebas dari sisa-sisa bedak tuan kemarau berupa debu jalanan
itu, dan petani seharusnya juga sudah mulai tersenyum karena tak perlu membeli
air untuk memberi minum ladang jagung mereka. Dengan air hujan, biaya produksi
akan rendah dan hasil panen -laba- akan jauh lebih banyak. Nah, sekarang khan
dekat lebaran, biaya atau anggaran yang seharusnya untuk beli air disadong,
dialihkan, untuk beli baju anak-istri, atau ya, buat beli kueh-mueh untuk
menyambut tamu yang akan unjung sana unjung sini. Harapan petani hanya mendung,
mendung saja. Ya, agaknya petani sedang diuji ketabahannya di bulan Ramadhan
yang suci ini …
Smaradana menghirup kopinya yang sudah dingin, padahal kepulnya baru saja
lewat di hidung mbangir tapi mungil, kebanggaannya. Pandangannya tertumbuk pada
pohon kastanye di depannya. Dana memandang salju yang diam di sekitar
kastanyenya. Lelaki tua itu sudah pergi.
Berikutnya berkas tulisan pada awal Januari 2004;
.. hujan sudah turun melimpah di desa saya, debu-debu sudah pergi,
kecuali di dinding gubug saya. Udara rasanya lebih nyaman dan segar. Kadang
saya sedih juga bila hujan turun pada malam hari. Di mana ranjang di depan
gubug saya itu sebagai tempat tidur Ayah saya, bila hujan turun, biasanya
ranjang bale itu akan basah oleh serpih air hujan. Saat itulah Ayah harus
bangun dan duduk sambil menahan rasa kantuk. Tapi itulah romantika hidup kami
yang mungkin hanya dimiliki sedikit orang. Adalah lebih baik, ini menurut saya
dan Ayah, ketimbang waktu kami tinggal di dapur milik kakak. Di sana selain
berperang dengan bocoran air hujan, kami juga harus menghadapi asap dari tungku
yang menyesakkan itu …
Smaradana menghirup kopinya yang kian dingin, kepulnya sudah lama lewat di
hidung mbangir tapi mungil, yang mulai memerah. Pandangannya tertumbuk pada
pohon kastanye di depannya. Entah mengapa ada rasa kehilangan kala ia tak lagi
memandang sosok tua di sana. Hati Dana serasa tercabik dalam diam.
Ia meneruskan membaca urutan korespondensi berikutnya;
…beberapa hari yang lalu, seekor ular jatuh dari atap dan menimpa tubuh
saya. Saya bukan tergolong laki-laki pemberani. Ular itu melingkar di dada
saya. Saya tetap bernafas seperti biasa. Pikir saya, terserah ular itu mau apa.
Kalau mau menggigit, ya silakan. Kalau mau pergi, ya silakan enyah. Rupanya
ular itu menyangka saya ini benda mati semacam patung hehe. Buktinya, ia pergi
tanpa suatu reaksi.
Coba renungkan, jika ia tergolong manusia biadab yang suka membunuh
orang-orang tak berdosa, ia pasti sudah membunuh saya dengan bisanya. Ular saja
tahu mana yang berbahaya mana yang tidak, kita yang manusia ini mengapa tidak
tahu?
Yang saya rasakan saat itu bahwa dengan ketakutan pada mati membuat
detak jantung kita terdengar sampai ke langit. Jangankan ular, malaikat mautpun
pasti akan mencium ketakutan kita.
Keadaan begini seringkali membuat saya bermimpi menjadi orang yang
normal kembali. Indah juga walaupun kenyataan itu ada dalam mimpi semata. Tuhan
membuat mimpi bukan hanya untuk bunga tidur, tetapi untuk melengkapi kehidupan
ini. Yang buta, Tuhan berikan kecemerlangan dalam mimpi. Pada yang bisu dan
tuli, Tuhan berikan kebalikannya dalam mimpi. Kita tidak tahu apa yang akan
terjadi setelah bangun tidur nanti ... masihkah bisa melangkah dan
melihat matahari? Bolehkah saya katakan, setiap kesempurnaan kita yang hilang,
tersimpan di surga?
Smaradana menghirup kopinya yang terasa mulai beku, kepulnya sudah kelu
terhirup hidung mbangir tapi mungil, yang mulai terasa sakit. Pandangannya
tertumbuk pada pohon kastanye di depannya, tanpa lelaki tua. Dana menarik nafas
panjang dalam entah.
Dana ingin jalan-jalan sebentar, kakinya terasa kram. Toh, matahari masih
setia bersinar, tak mengapa jalan-jalan sebentar di sekitar gedung kantor ini.
Dari atas gedung, lantai tiga, sepasang mata dibalik kacamata itu
memperhatikan gerak-gerik Dana menuju rerimbunan gersang pepohonan kastanye
dengan seksama. Bu Tan menyadari kekerasan kata-katanya pada perempuan muda
itu, tapi ia harus, ia tahu bagaimana cara menaklukkan gadis cerdas,
sebagaimana ia menaklukan dirinya sendiri. Ia tak ingin gadis itu menjelma
menjadi sosoknya pada zaman lain. Segala gadis muda itu nyaris sempurna, hanya
akan nista bila ia melupakan suara hati. Perempuan itu menaruh harapan padanya,
yang ia perhatikan sedang menuju arah pepohonan abu-abu sebab
sapuan salju itu, agar mampu menyelesaikan masalah bangsanya yang kian runyam.
Dengan cara individual, individu yang bergerak dan terus menggerakkan
sekitarnya, seperti gema. Yang semestinya ia miliki bukan hanya ketajaman akali
namun juga jiwani.
“Selamat pagi, Nona.”
Dana terperanjat. Lelaki Belanda tua itu akhirnya menyapanya, entah darimana
arah datangnya. Dia tersenyum lebar, amat lebar, seakan pagi ini pagi musim
semi yang penuh bunga tulip warna biru, kuning dan merah jambu.
“Anda berbicara dengan saya?” tanya Dana memastikan.
“Hei! Adakah nona lain di sini?” Jawab Sang Belanda dengan bahasa tubuh yang
menyenangkan.
“Mau ke mana? Nona belum tahu jalan di sekitar sini toch. Itu jalan
setapak menuju hutan di belakang sana, sedang di sebelah sana telaga. Nona bisa
terjebak masuk selokan dan entah lubang apa lagi. A, Nona seharusnya hati-hati,
salju nampaknya jinak tapi dia bisa bikin kita sengsara!” Lanjut Pak Tua dengan
tangannya seakan membelai-belai segala keindahan agar turut serta menikmati
keindahan hari ini.
Dari atas gedung, lantai tiga, sepasang mata dibalik kacamata itu
memperhatikan dua orang yang sedang bercakap-cakap. Si Tua Bob yang tak ada
capainya sedang menerangkan sesuatu pada Dana, Cah ayu, batinnya.
Sejak gedung ini memberlakukan peraturan baru bahwa pekerja pembersih,
perawat gedung dan penata kebun tak lagi menjadi bagian dari pegawai kantor
tetapi sebagai pekerja lepas, sahabat saya itu masih saja bertahan menyetiai
perusahaan semacam ini. Cari mati dia. Inilah zaman setelah industrialisasi
meraja di dunia, jauh masa dari zaman pencerahan-nya Perancis. Manusia dianggap
mesin produksi, semakin produktif untuk lembaga, maka ia dipuja dan diberi
tempat di surga perusahaan, bahkan atasanpun bisa tak berkutik hanya karena merasa
perlu otaknya. Bob, manusia paling setia dan terampil itu, terpinggir dengan
sendirinya. Manusia bukan apa-apa di mata industri termasuk industri budaya dan
segala ikutannya. Batin Bu Tan menderu-deru.
Dulu, Bob jadi sahabat pertama saya kala saya baru melangkahkan kaki di
sini. Saya sebagai tenaga yang didatangkan dari Indonesia untuk memperkuat
lembaga kebudayaan ini, khususnya mengenai kebudayaan Indonesia, sebagai salah
satu negara ketiga. Kini, Bob tua masih seperti yang pertama kali saya kenal, hasratnya
tetap nyala dalam segala sesuatu menyangkut Nusantara. Saat inipun ia mulai
menjalin persahabatan dengan perempuan muda yang sedang kuuji ketangguhannya.
Anak sekarang minta ampun manjanya. Bob amat telaten, seperti malaekat bagi
manusia baru di negeri ini, menjadi sahabat bagi yang sepi. Ia belajar keras
untuk bisa melafalkan bahasa Indonesia yang menjadi sebagian darahnya. Bob
mampu berbahasa Indonesia layaknya seorang cendekiawan. Batin Bu Tan
menakuk-nakuk.
“Apa toch yang sedang kau baca, Dana?”
“Surat seorang penulis. Pak Bob mau melihat?”
“Tentu saja, a, bila diperkenankan.”
Mereka telah kembali menuju gedung dan duduk di bangku-bangku di tepi
selasar. Bob segera membukai dan membaca beberapa dengan kacamata yang ia
keluarkan dari kantung baju di dalam baju hangat wolnya nan lusuh, tak ia ganti
sedari beberapa musim dingin yang lalu.
Ia bukan seperti tukang kebun bila sedang membaca begitu, batin Dana
berdebar.
“Aha, saya tahu sekarang, a, mengapa Dana sayang bermuram durja.”
“Tahu apa?”
Mereka beradu pendapat dan saling menimpali. Dana seperti berabad
mengenalnya setelah berabad dalam masa sunyi tak terperi. Keajaiban musim
dingin atau apakah ini?
Sebuah urai-udar bersangkut-paut dengan penulis dari Indonesia yang hanya
lulus sekolah dasar disajikan oleh seorang tukang kebun yang berbicara bak
profesor di gedung sekolah bergaya gotik di pusat kota Amsterdam di mana ia
menuntut ilmu saat ini, untuk meraih gelar master! Bagaimana ia bisa demikian
dibutakan hati? Dana hampir-hampir pingsan menemukan kembali hidupnya, tak ia
sangka-sangka. Dalam sehari ia merasakan gelap dan terang, warna kehidupan yang
demikian bertolakbelakang.
“Jadi, keberhasilan Domirudin sebagai seorang penulis adalah kemampuannya
menyimak hati dan sekitarnya, ditulis dengan sedemikian jujur, seperti ia
berkaca dalam mm, danau kehidupannya. Segala keterbatasan musnah dalam
kemauannya yang seluas langit. Ia seorang penyimak, Pak Bob! Penulis sejati
adalah penyimak alam raya dan isinya! Begitu Pak Bob?” Pekik Dana tak percaya
dengan segala yang diucapkannya.
“Ach! Bukan saya yang katakan toch. Kau sendiri, Nona, kau sendiri
yang menemukan apa yang sudah ada dalam pikiranmu, Nona.” Lembut Bob
berujar. Bahwa Bobpun mengerti peristiwa ini menjadi sejarah penting bagi
satu orang lagi, calon peneliti atau wartawati, yang duduk di kursi di gedung
yang pada suatu waktu pernah ia impikan, ia ikut ambil bagian. Impiannya tidak
sia-sia. Paling tidak, pada gadis muda di depannya ini, ia menitipkan impian
besar tentang kepekaan seorang wartawati atau peneliti atas apa yang semestinya
bisa mereka buat, seorang pemikir besar di balik sebuah tulisan.
“Pak Bob ..” ujar Dana tak sampai pada apa yang ingin diucapkannya.
Matanya berkaca-kaca. Ia belum tahu sebenar-benarnya siapa yang berada di
hadapannya, namun Dana menyakini, hatinya tak berbohong, bahwa ia berjumpa
dengan orang yang tepat.
“Ibu Tan, Ibu Tan!” Pekik Dana tak sabar ingin memamerkan apa yang baru saja
ia temukan. Dana berlari menaiki anak tangga dan langsung membuka pintu tanpa
ba dan bu, padahal beberapa jam yang lalu ia seperti melewati jalan beribu-ribu
kilo jaraknya untuk sampai di hadapan seorang Tan.
“Anda sadar yang Anda lakukan? Seperti di hutan saja,” ujar Ibu Tan dingin.
Dana balik kanan malu-malu, kembali menutup pintu dan mengetuk pintu.
“Masuk,” ucap Ibu Tan singkat.
“Masuk!” Sekali lagi Ibu Tan sedikit berteriak sebab sejatinya ia juga tak
sabar ingin tahu apa yang hendak dikatakan anak muda yang sudah berani
menunjukkan kebandelannya itu, sebagai tanda kecerdasannya yang murni.
“Maaf, maaf, saya kurang mendengar dari luar,” kata Dana tak dibuat-buat.
Dia tampak sudah sibuk dengan segala yang berkecamuk dalam pikirannya.
“Sudah, kalau begitu tak perlu kau katakan. Tulis!” sergap Ibu Tan.
“Lah, apa yang harus saya tulis?” tanya Dana polos, seperti terlahir
kembali.
Ibu Tan melotot, tapi wajah itu kini tersenyum. Dana tahu, Dana mengenal Ibu
Tan dalam sosoknya yang berbeda kini, seperti peri bersayap.
***
Turen, Januari 2006
0 comments:
Post a Comment