Sunday, May 30, 2004
Cerpen: Afrizal Malna
AKU ingin hidup dalam tubuh seseorang, dalam
kenyataan orang lain. Aku tahu itu tidak mungkin. Aku tahu itu sebuah dusta
yang berusaha aku buat untuk diriku sendiri. Dusta murahan yang membuat manusia
menjadi bahan olok-olok di dapur rumahnya sendiri. Suara panci, piring, gelas
dan sendok yang menjadi gaduh.
Tapi aku terus memikirkannya. Berhari-hari. Aku
merasa keinginan itu seharusnya bisa aku lakukan. Mustahil aku tak bisa
melakukannya. Aku membayangkan perpindahan seperti itu sesuatu yang seharusnya
bisa dimiliki siapapun. Aku membayangkan tubuh itu tidak beda jauh saat aku
menyalakan lampu listrik. Cahaya tiba-tiba hidup di dalam tabung kaca. Ketika
listrik aku matikan, cahaya itu juga ikut mati. Ia tidak berjalan keluar dari
tabung kaca itu. Tapi mati. Padam. Darah bisa keluar dari tubuhku, keringat
juga bisa menetes. Aku memikirkannya hingga musim hujan datang. Dan semua
tentang pikiran itu berubah, saat hujan pertama betul-betul datang, turun di
halaman rumah.
Aku menatapnya dari balik jendela kaca. Tiba-tiba
hujan itu membuka pintu rumahku. Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan
pintu. Tubuhnya seperti gumpalan awan berwarna hitam legam. Ada suara halus
yang terdengar dari dalam gumpalan awan hitam itu, seperti suara pesawat yang
berbunyi konstan. Sejak itu aku mulai bersahabat dengannya. Aku memanggilnya
hujan di pagi hari.
***
PAGI itu aku sedang berjalan bergandengan bersama
hujan. Udara dingin. Angin membuat tirai dari air hujan, tipis, seperti ciuman
di leher menjelang bangun tidur di pagi hari.
"Sudah lama aku menunggumu di lembah
itu," kataku. Hujan tak menjawab. Ia menggenggam tanganku seperti
merasakan detak waktu yang bergerak. "Manusia tidak menarik karena ia bisa
menghitung waktu," katanya. Aku memandangnya. Wajahnya bersih. Rambutnya
tersisir rapi. Rapi, seperti rajutan yang terbuat dari air.
"Aku tahu waktu tidak pernah bisa menyentuh
dirimu," kataku. "Kamu tidak pernah tua. Kamu selalu baru. Kamu tidak
mengenal tubuh yang tumbuh menjadi dewasa, lalu tua, sakit dan mati. Kamu tidak
pernah merasakan sakit, terluka, dan kesepian." Hujan lalu membelah
dirinya dengan belahan-belahan yang berulang. Cahaya biru yang tipis memancar
pada setiap terjadinya pertemuan antarbelahan itu.
"Ini hari yang istimewa untukmu juga untukku
sendiri," katanya. "Aku datang 5 mil untuk menemuimu pagi ini,
berlari menuruni lembah, menerjang hutan bambu dan mematahkan sebuah jembatan
di sebuah sungai yang airnya deras dan berbatu-batu."
"Di musim bunga tahun lalu, ketika kupu-kupu
hampir setiap pagi membuat tarian di lembah itu, dan cahaya matahari seperti
sedang menciptakan tubuhku dari daun-daun kacang di lembah itu, aku sangat
berharap kamu datang di lembah itu. Tapi kemudian aku sadar, kamu tidak mungkin
menemuiku. Aku juga tidak mungkin menemuimu. Sudah kodratnya begitu. Kita
saling berpapasan, tapi tidak pernah saling mengenali."
"Kenapa kamu terkunci dalam bahasa seperti
itu, seakan-akan kamu percaya ada yang tidak bisa saling menyentuh, ada yang
tak bisa saling mengenal di dunia ini?" tanyanya. "Kita tidak pernah
bisa saling bertemu karena kamu punya kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang
sia-sia."
Ketika kami menuruni batu-batu berkapur, hujan
merembes ke dalam batu-batu berkapur itu, lalu mengucur kembali lewat batu-batu
kerikil. Aku takjub melihat hujan yang bisa merembes. Aku takjub melihat hujan
yang membuar arsitektur dari air. Dia yang telah membuat ruang menari. Dia yang
telah memberi bentuk mati menjadi bentuk yang bergerak. Dia yang menghidupkan
dan mengajak bermain kembali dengan memori-memori lama. Dia yang merajut
kembali semua peristiwa dan lalu membiarkan kembali semua rajutan itu merembes
ke dalam tanah sebagai air, melewati akar-akar rumput dan senyap. Dia yang memiliki
keindahan yang tak tergantikan dan tak siapapun bisa memilikinya.
Aku tahu ia memang tak tersentuh. Aku tidak bisa
menetes dan merembes. Aku terpisahkan oleh bahasa dan tubuhku sendiri yang
telah menutup duniaku.
Hujan menatapku.
Matanya seperti ratusan jarum yang saling merajut.
"Aku ingin memberi warna pada dirimu,"
kataku.
"Sebentar lagi akan ada pelangi yang turun di
lembah ini, membuat lingkaran tipis, seperti garis-garis tangan pada telapak
bayi. Semua kupu-kupu menganggap pelangi itu adalah ibu mereka."
Aku memeluk bahu hujan. Air menetes di telapak
tanganku. Terus menetes. Suara hujan yang jatuh di atas sebuah batu,
menciptakan suara ketukan yang padat dan konstan. Hujan yang deras turun di
kepalaku membuat mataku seperti dipenuhi oleh tangisan yang datang dari luar
diriku. Mataku seperti berada di dunia yang lain, dunia dari tangisan yang
datang dari luar. Aku tahu mataku tidak menangis. Tidak ada air mata. Aku yakin
memang tidak ada air mata. Mataku meyakinkan diriku berkali-kali, ini bukan
hujan, ini tangisan yang datang dari luar. Mataku seperti telah meninggalkan
tubuhku di lembah itu, karena keyakinannya bahwa ini bukan hujan, melainkan
tangisan dari luar. Tubuhku tidak bodoh, dan tidak perlu membuktikan lagi bahwa
ini hujan.
Hujan lalu menepuk bahuku. Air mengucur deras di
kepalaku yang botak. "Hei, tolong, jangan main-main seperti ini. Jangan
mempermainkan kepalaku yang botak dengan hujanmu. Jangan memain-mainkan jantung
dan ginjalku. Kamu tidak bisa merembes ke dalam pikiranku walau kepalaku botak.
Aduh jangan kurang ajar, dong. Nanti aku lempar kamu dengan kepalaku."
Aku mengeluarkan payung dari tas punggungku. Aku
juga mengeluarkan jas hujan dan memakainya. Suara hujan membuat bunyi ketukan
lain di atas atap payungku. Bunyi ketukannya membuatku yakin tidak akan ada
bahaya yang datang dari atas.
***
HUJAN turun semakin deras. Kini aku duduk di atas
sebuah batu lengkap dengan payung dan jas hujanku. Daun-daun kacang di lembah
itu terus bergetar tertimpa air hujan. Getarannya membuat jejak-jejak yang aneh
lewat gelombang-gelombang yang bergerak halus ke arah jempol kakiku. Aku merasa
seperti bisa keluar dari tubuhku sendiri.
Tubuhku tiba-tiba menjadi sibuk, berbenah
membereskan banyak hal. Aku mulai tak percaya aku sedang duduk, mengenakan jas
hujan dan memegang payung. Aku mulai tak yakin dengan mata dan telingaku. Tapi
tubuhku ternyata tidak bisa keluar. Ada yang macet di dalam, mampet. Tubuhku
tidak memiliki pintu untuk keluar. Aku berusaha menjebolnya. Hujan turun semakin
deras, merembes lewat pori-pori tubuhku. Tubuhku mulai banjir. Aku merasakan
seperti ada tanggul yang akan jebol dalam tubuhku karena banjir yang besar itu.
Tubuhku tiba-tiba meledak, seperti rajutan karet yang meledak.
***
AKU membersihkan serpihan-serpihan daging di bantal
tidurku. Sebagian serpihan itu menempel di kelambu. Sinar matahari menerobos
lewat kaca jendela kamar tidurku. Hujan sudah menungguku di teras depan. Kami
berjanji untuk pergi berjalan ke sebuah candi hari ini.
Lalu aku keluar dengan payung.
"Kenapa kamu memakai payung?'' tanyanya
"Kenapa aku tidak boleh memakai payung?'' aku
balik bertanya.
"Karena aku merasa kamu seperti membawa peti
mati di atas kepalamu," katanya.
"Peti mati apa?'' tanyaku.
"Peti mati untukku," jawabnya.
"Peti mati untuk hujan?" tanyaku.
"Hujan di dalam peti mati," tegasnya.
"Ini hanya payung," jawabku. "Kamu
tidak mungkin bisa terkubur di dalam payung."
"Ah, duniamu tetap terkunci dalam
bahasa," kilahnya.
"Tidak. Bahasa hanya kata-kata, lalu kalimat,
lalu titik, atau koma."
"Tidak. Kalian telah mengunci dunia kalian di
dalam bahasa."
"Siapa yang kamu maksud dengan kalian?"
Hujan lalu merebut payungku, seperti mematahkan
kaki kursi yang tumbuh di kepalaku.
Lalu hujan bergelayut di telapak tanganku. Lalu
menetes dan membuat kalung di leherku. Lalu bergelayut di daun-daun bambu dan
membuat percikan di lantai terasku. Lalu kami tertidur dalam pelukan yang penuh
oleh warna hijau. Lalu daun-daun kacang di lembah itu, yang membuat malam dari
suara-suara serangga, saling bercerita tentang sekuntum bunga yang belum pernah
tumbuh sebelumnya di lembah itu. (*)
0 comments:
Post a Comment