Cerpen
Dimuat di Seputar Indonesia 00/00/0000 Telah Disimak 307 kali
Begitu mendekati mulut lorong yang menuju ke rumah
kontrakannya, Martini bilang kepada Mamang, tukang ojek langganannya, ?Stop di
sini saja, Mang !? ?Lho, kok tidak sampai ke depan rumah, mBak ?? tanya Mamang.
?Gila kamu ! Lihat,dong,pukul berapa sekarang !
Suara motormu yang berisik kayak lampor ini akan mengganggu tidur orang-orang,
tahu ?!? Bisa-bisa kamu nanti dikeroyok orang sekampung !? ?Ah, mBak bisa aja !?
kata Mamang, sambil mengerem motornya rada mendadak, menyebabkan Martini
terdorong keras ke depan,hingga dia terpaksa merangkul tubuh si tukang ojek
yang dibalut jaket tebal itu, agar tidak terpelanting dari boncengan motor.
?Hey, hati-hati kamu, Mang ! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, ya?!??
kata Martini sewot, sambil menepuk bahu Mamang keras-keras.
?Kan yang sempit-sempit itu justru yang katanya
asyik, mBak !? sahut Mamang cengengesan. ?Sialan kamu ! Dasar tukang ojek
sinting !? Sudah dekat pukul empat dinihari, ketika Martini mulai menapaki
lorong yang menuju rumah kontrakannya itu, duaratus meter di ujung sana.
Neonneon duapuluh watt mene-rangi lorong itu,membuatnya nampak terang
benderang. Tetapi alangkah sepi di sekeli-ling, sehingga suara sepatu Martini
terdengar jelas berketepok ketika menyentuh betonan lorong.
Orang-orang pun jelas masih lelap dalam tidurnya
masing-masing, dibuai oleh hawa sejuk dinihari. Hanya di warteg Mas Karyo mulai
nampak adanya geliat kesibukan. Sementara dari mushalla atau mesjid entah di
mana, terdengar lantunan zikir, diselingi kata-kata peringatan, bahwa shalat
itu lebih baik dari tidur. Sertamerta Martini merasa, betapa lelah dan
mengantuknya dia. Perasaan yang tadi-tadi berhasil dibendung dan diatasinya, karena
tentunya bukan sikap yang bertang-gung jawab dari seorang professional,kalau
sampai nampak lelah dan mengantuk di hadapan pelanggan yang harus dilayaninya.
Apalagi kalau pelanggan itu adalah seseorang yang
istimewa, seperti halnya Pak Dewanto itu.Dan dengan begitu saja,sebuah senyum
samar-samar muncul di bibir Martini. Dia tepuk tas yang tergantung di
bahunya.Serasa-rasa dapat disentuhnya uang sejuta rupiah yang ada di dalam tas
itu. Duaratus limapuluh ribu adalah imbalan jasa ?pelayanannya?, sementara sisanya
adalah pinjaman yang dia dapat dari Pak Dewanto. Dia memang sangat memerlukan
uang itu.
Bermula pada sore hari tadi. Ketika dia siap
berangkat ke bar tempatnya biasa ?mangkal?,Wiwik, puteri tunggalnya, bilang
dengan suara seperti merajuk, ?Ma,Wiwik kan sudah harus bayar biaya study tour
yang ke Borobudur itu. Temen-temen nyang laen sudah pada bayar semua.Wiwik
kapan, Ma ? Jangan-jangan nanti telat, Ma.Wiwik jadinya tidak bisa ikut,dong !
Kalau gitu,gimana,Ma ! Wiwik kan jadi malu.? Sempat tertegun juga
dia.Soalnya,dia memang belum dapat memperkirakan, kapankah kebutuhan Wiwik itu
dapat dipenuhinya.
Uang enamratus ribu bukanlah jumlah yang kecil buat
dia. Secara matematis,itu berarti ? paling sedikit ? dua kali kencan,dua kali
memberi ?pelayanan? kepada pelanggan.Tetapi,betapa pun juga,dia amat menyayangi
Wiwik. Puterinya yang sedang duduk di kelas dua SMA itu adalah satu-satunya
miliknya yang paling berharga dalam hidupnya ini. Dia selalu siap melakukan apa
saja demi anaknya itu.Apa pun rela dia korbankan. Tuntas dan habis-habisan.
Dan itu sudah dia lakukan sejak dia mengandung
Wiwik, akibat ?kecelakaan? dengan seorang temannya di kelas tiga SMA.Temannya
itu tak keburu dimintai pertanggunganjawab, karena segera dikirim ke Australia
oleh orang tuanya. Sampai kemudian Wiwik lahir dan langsung harus dihidupinya
secara mandiri, karena dia tak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuanya dan
dikucilkan oleh keluarga besarnya. Bukan kepalang beratnya perjuangan yang
harus dia hadapi.
Dan dia tidak bisa memilih-milih. Apalah yang tidak
dilakukannya, demi Wiwik. Seperti halnya sekarang ini,ketika dia mendamparkan
diri ke lingkungan kehidupan bar,menjadi wanita penghibur. ?Jangan pesimis
begitu, dong, Sayang ! Mama akan usahakan,ya ? Malam ini juga. Mudah-mudahan
berhasil. Dan besok kamu sudah bisa bayar biaya study tour kamu itu. Okay ??
begitu dia bilang sore tadi. Dan pada saat itu juga, segera terbayang di mata
batinnya wajah Pak Dewanto. Sudah dua tahun ini dia mengenal laki-laki itu dan
berhasil menjadikannya sebagai pelanggan tetap.Dan itu sangat berarti bagi
ketegakan ekonomi rumahtangganya.
Pak Dewanto itu seorang pengusaha biro perjalanan ?
termasuk menyelenggarakan perjalanan haji dan umrah ? yang sukses dan tidak
terlalu panjang pertimbangan terhadap uang yang dikeluarkannya.Usianya pasti
sudah lewat setengah abad, tetapi penampilannya masih tetap gagah dan menawan,
sangat macho. Dan potensinya sebagai laki-laki,masih jauh di atas kebanyakan
laki-laki yang pernah ditemui Martini. Perlakuan Pak Dewanto terhadap dirinya
pun sangat berbeda.
Kalau para pelanggannya yang lain cuma menganggap
dirinya semata-mata sebagai obyek pelampiasan libido belaka, tidak demikian
halnya dengan Pak Dewanto. Perlakuannya begitu lembut, begitu santun.Kadangkala
bahkan bagai perlakuan seorang laki-laki terhadap kekasihnya. Mungkin karena,
?Kamu selalu mengingatkan aku pada kekasihku yang pertama,Tin. Kamu
hampir-hampir bagai kembaran dari dirinya. Bibirmu yang sensual, matamu yang
liar menantang, profil wajahmu yang nJawani, sungguh,semua merupakan bagian
dari dirinya.
Kamu tahu,setiap aku menikmati kebersamaan
denganmu, aku selalu merasa berada lagi pada masa laluku. Sayang, semuanya
harus berakhir dalam kenyataan yang pahit.Keluarganya tidak merestui, dengan
alasan yang sampai sekarang pun tak pernah kuketahui. Hubungan kami diputuskan
dengan paksa. Dia dikawinkan dengan orang lain, walau dalam rahimnya sudah
kusemaikan bibitku.Rencana kami,ini akan kami jadikan senjata untuk melakukan
fait accompli.Ternyata gagal. Semua berantakan. Dan diakhiri dengan tragedi.
Belum seminggu usia kawin paksa itu, mayat kekasihku itu ditemukan mengambang
di kali.
? Pernah sekali waktu Martini membiarkan dirinya
berangan-angan, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Dewanto mengajaknya kawin.
Serasa-rasa dia mendengar laki-laki itu berkata, ?Aku selalu merasa
kesepian,Tin.Empat anakku sudah mandiri, sudah membina rumahtangga dengan
keluarganya masing-masing. Hanya aku dan isteriku yang tinggal di rumah sebesar
itu. Dan kamu tahu, isteriku sudah tua, sudah lama dia memasuki masa menopause.
Lebih dari itu, tubuhnya kemayuh, karena pernah mendapat serangan
stroke.Bagiku, sebagai laki-laki,isteriku itu sebetulnya sudah tidak punya guna
lagi.
Aku masih membutuhkan perempuan yang potensial,
yang masih segar, yang masih menggebu-gebu. Seperti kamu. Karena itu,maukah
kamu kawin denganku ? Tolonglah, Tin, bebaskan aku dari siksaan kesepian lahir
batin ini.? Namun Martini akhirnya hanya bisa menertawakan dirinya sendiri
secara habis-habisan karena angan-angannya itu.Walau memang benar isteri Pak
Dewanto sudah tua dan lumpuh dan anakanaknya sudah mandiri semua,tetapi jelas
dia belum cukup gila untuk meminta Martini kawin dengannya.
Kedudukan sosial Pak Dewanto yang begitu tinggi dan
terhormat di kalangan masyarakat luas, pasti akan tercemar habis-habisan, kalau
dia sampai nekat mengawini perempuan semacam Martini, seorang perempuan sewaan
di bar, yang hidup dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain.
Martini sudah merasa cukup memadai, karena hubungannya dengan Pak Dewanto makin
bersifat pribadi.Tidak sekadar hubungan antara seorang pelanggan dengan
lang-ganannya semata. Banyak masaalah yang dihadapinya, terutama yang berkenaan
dengan masalah keuangan, dapat terpecahkan atau terselesaikan,berkat uluran
tangan Pak Dewanto.
Seperti halnya biaya study tour Wiwik itu.Dengan
terus terang,dia kemukakan soal itu kepada Pak Dewanto, terutama kemungkinan
gagalnya Wiwik ikut serta, kalau tidak segera membayar. Laki-laki paroh baya
itu hanya menganggukangguk, tanda maklum. Lalu diasongkannya uang yang
tujuhratus limapuluh ribu itu, sambil bilang, ?Pakailah ini !?. Tak
disebut-sebutnya samasekali, kapan uang itu harus dikembalikan. Tak terpermanai
besarnya rasa syukur Martini.
Sampai-sampai dia mengumbar rasa, malam ini Tuhan
rupanya sedang berkenan melimpahkan Rahman dan RahimNya kepada seorang makhluk
pendosa semacam dirinya ini. Sambil melangkah terus di lorong berbeton itu,
berkali-kali Martini menyentuh tasnya. Seperti kurang yakin dia,kalau tas itu
masih tetap tersandang di bahunya.Dia bayangkan,betapa akan senangnya Wiwik
nanti. Puterinya itu tak perlu lagi mencemaskan kegagalan perjalanannya bersama
teman-temannya yang lain. Tetapi tiba-tiba Martini terperangah.
Di depan rumah kontrakannya,dia melihat kerumunan
orang. Seketika itu juga dia mempercepat langkah, malah setengah berlari. ?Ada
apa ini ?!? Ada apa ?!??serunya panik,seraya berusaha menembus kerumunan itu.
Orang-orang memang memberinya jalan, hingga dia segera dapat memasuki
rumahnya.Dan di ruang tamu,dia tertegun panjang. Di situ sudah ada Ketua
RT,Ketua Mushalla dan beberapa orang Hansip. Dan di sofa itu, ya, Tuhan,
duduklah Wiwik. Anak itu hanya berpakaian sekenanya, sekadar menutupi tubuh.
Dan di sisinya, cuma berpakai-an dalam, duduklah Tony, kakak kelas Wiwik.
Tentang Tony ini,Wiwik pernah bilang,
?Dia anak orang yang kaya sekali, Ma. Mobilnya saja
ada enam, bererot di garasinya yang jauh lebih gede dari rumah kita ini.? Nanar
Martini menatapi orang-orang yang hadir di ruang tamunya itu. Ketua RT membalas
tatapannya dengan pandangan mengandung rasa kasihan. Ketua Mushalla, yang
selama ini memang tak pernah merasa perlu mengenalnya, tersenyum miring. Dan
para Hansip itu, jelas mereka nampak salah tingkah (Martini memang sering
sekali beri tip kepada mereka, kalau kebetulan kepergok saat dia pulang
?tugas?).
?Bu Martini dapat membayangkan sendiri, apa yang
kira-kira sudah terjadi malam ini,bukan ??terdengar suara Ketua RT, tidak
dengan tekanan darah, tetapi kecewa. ?Dan ini merupakan akumulasi dari banyak
kejadian sebelumnya. Sebegitu jauh, warga sebetulnya mencoba tidak usil. Kami
menganggap,Wiwik sematamata korban dari contoh yang tidak baik. Tidak adil
kalau dia saja yang harus menerima akibatnya.Selama tidak melewati batas, kami
hanya membiarkan.Tetapi, malam ini,mereka sudah melakukan sesuatu yang
keterlaluan.
Dan itu tidak bisa didiamkan lagi. Mereka harus
ditindak. Dan seperti inilah jadinya.? Martini menatap Wiwik dengan pandangan
kosong. Anak itu bangkit dari duduk-nya, lalu menubruk diri Martini dan
memeluknya erat-erat. Terdengar suara tangisnya yang lirih, tetapi sarat dengan
tekanan duka. Galau yang dahsyat berbuncah-buncah dalam kalbu
Martini.Perlahan-lahan dia kehilangan penguasaan atas dirinya. Perlahanlahan
pula tubuhnya merosot ke lantai.***
0 comments:
Post a Comment