Cerpen Abdul
Rahman R
Minggu, 17 Juli 2005, halaman 26
Meski malam baru saja menghalau
cahaya siang, namun kali ini terasa sunyi. Hanya sesekali terdengar titik hujan
di atap seng yang mulai berlubang. Sayup-sayup terdengar gemerusuk daun-daun
tertiup angin. Affif Hopping terjaga. Matanya awas memandang sekelilingnya.
Beribu macam gelisah bercampur sesak di dadanya.
Affif Hopping memandangi adiknya
Sitti Delicia. Adik satu-satunya yang menjadi pengharapannya. Andai bukan
karena adiknya, mungkin ia telah mengakhiri kembara hidupnya. Ia teramat lelah.
Gemuruh hati Affif Hopping
seirama dengan gemuruh angin barubu dari arah Gunung Bawakaraeng. Matanya
tertuju pada sebilah keris tua peninggalan ayahnya yang terselip di dinding.
Lalu ja pandangi wajah adiknya yang sangat mirip almarhumah ibunya, Radevi. Ibu
yang selalu mendekapnya sambil mendendangkan irama lagu khas tanah Ambon.
“Aku.tak mungkin melukai ibu,”
gumamnya.
Affif Hopping kembali menatap
keris berhulu tanduk kerbau itu. Ia menengadah sambil menutup wajahnya dengan
kedua belah tangannya, wajah yang mirip almarhum ayahnya, La Beddu. Ayah yang
selalu bercerita setiap menjelang tidur. Cerita tentang kakeknya yang mempunyai
empat puluh isteri. Cerita yang unik karena kakeknya menikahi seekor kerbau
sebagai istri terakhir kemudian menyembelihnya sebagai ungkapan nazar. Kemudian
cerita Sawerigading yang mencintai I We Tenriabeng. Cerita cinta Romeo dan
Juliet yang melegenda. Dan yang tak kalah mengharukannya kisah percintaan
antara ayah dan ibunya. “Tidaaak, aku tak mungkin melukai ayah, aku sangat
mencintai ayah,” gumamnya sekali lagi.
Gemuruh dalam dada Affif Hopping
belum juga reda, namun kali ini ia mulai ragu menancapkan matanya pada keris
tua itu. Ia melekatkan matanya pada bingkai foto kedua orang tuanya. Bingkai
yang juga penggambaran dirinya dan adiknya.
Affif Hopping mencoba menarik
napas panjang. “Akh, pantas saja ayah tergi-lagila pada ibu, ibu sangat
memesona. Sorot matanyapolos, tak ada api pencipta segala benci. Senyumnya ikhlas,
tak ada dusta pencipta segala derita. Wajahnya yang keibuan laksana danau
jingga, tempat berlabuh segala hati yang resah.”
Gemuruh dalam dada Affif Hopping
mereda seirama dengan angin barubu yang tak mampu menerobos Gunung
Lompobattang. Puas memelototi potret ibunya, ia merasa tak adil kalau tak
singgah ke potret ayahnya, namun ia merasa sangat malu ketika melihat sosok
ayahnya tersenyum meski goresan-goresan kesedihan bias di wajahnya.
“Akh, pantas saja ayah didaulat
sebagai pelanjut marga kakek meski saudaara-saudara ayah banyak yang cemburu.
Ayah sangat mencintai dan mengasihi istri dan anak-anaknya. Ayah sangat
bertanggung jawab. Sebagai anak sulung, ayah sosok yang mandiri dan tak
bergantung pada kakek. Kadangkala memang ayah nampak egois tapi alasan ayah
demi kebaikan kaum. Ayah juga adalah sosok pencinta sejati, cinta ayah pada ibu
tak pernah pudar meski gelombanggelombang kehidupan yang menerpanya laksana
Tsunami. Menurut cerita ibu, ja menerima cinta ayah setelah dua tahun ayah
terus mengejarnya, sungguh sebuah perjuangan.”
Affif Hopping tak sekalipun
berpaling dari bingkai foto kedua orang tuanya. Keris yang sedari tadi
mengacaukan pikirannya tak digubrisnya, sementara wajah adiknya dan wajahnya
sendiri telah menyatu dengan potret kedua orang tuanya.
“Ayah juga sosok yang sangat
matang dalam perencanaan, sebelum menikah dengan ibu, ia sudah punya persiapan
nama untuk anak-anaknya. Affif Hopping kata ayah bermakna harapan untuk
berubah, Sitti Delicia, mungkin nama itu sangat berkesan di hati ayah ketika
kuliah dan jatuh cinta pada ibu dulu. Ketika kutanya mengapa nama kami
ke-Inggrisan, ayah menjawab bahwa itulah awal perubahan. Akh! Ayah.”
Tiba-tiba gemuruh di dada Affif
Hopping berkecamuk lagi ketika ia mencoba menelusuri bait-bait kehidupan kedua
orangtuanya. Dan inilah segala pangkal gelisah yang kadangkala membuat mata hatinya
tak mampu menangkap cahaya.
“Ayah menikah dengan ibu tanpa persetujuan
keluarga ayah. Keluarga ayah terlalu mendewakan marga. Namun cinta ayah pada
ibu sekokoh Gunung Bawakaraeng yang tak pernah berpisah dan Gunuag
Lompobattang. Ayah memilih menikah tanpa taburan beras warna warni. Ayah dan
ibu memilih hidup terkucil dari segala simbol kehidupan dengan beribu macam
sabda tabu dan pamali. Ayah tak pernah menyesal”
AffifHoppmg mencoba memejamkan mata.
Ia mencoba menghapus segala bayang-bayang duka yang melintas di benaknya ketika
orangtuanya dibantai oleh warga atas perintah keluarganya. Ayah dianggap telah mencemarkan
nama baik marga. Namun ada tanda tanya menggelayut di benak Affif Hopping.
Mengapa warga membiarkan adik dan dirinya hidup? Beribu macam pertanyaan
bercampur gelisah muai berkecamuk di benaknya.
Affif Hopping mencoba membuka matanya
sambil berharap ada bayangan cerah hinggap di benaknya, “Andai saja Haji Bandu
adalah orangtuaku.” Pikiranya hinggap pada tokoh anutan di kampungnya, seorang
guru barzanji yang mempunyai ratusan ekor ternak. Lalu ingatannya kembali
hinggap pada sosok Petta Bodde,. kepala adat pengganti kakeknya yang tak pernah
bijak dalam bertitah.
Angin barubu yang sedari tadi
meliuk-liuk mencari celah menembus Gunung Lompobattang mulai mengamuk. Ia merobohkan
segala pohon-pohonan yang dijumpainya seirama dengan gemuruh dalam dada Affif
Hopping yang tak mampu menyingkirkan berkilo-kilo batu gunung yang
menggelinding di benaknya. Ada
kengerian yang menyeruak ke dalam benak Affif Hopping, matanya terbelalak
memandangi potret kedua orang tuanya yang tiba-tiba memegang keris dan siap
menghunjam ke dada mereka sendiri. Affif Hopping melompat dengan sejuta
harapan. “Aku harus menyelamatkan marga ayah. Aku harus menjunjung marga ibu,”
pekiknya tertahan, Namun keris telah terhunjam pada potret kedua orang tuanya.
Wajah garang penuh kebencian Haji
Bandu dan Petta Bodde yang notabene adalah pamannya sendiri dibantu oleh warga
desa telah menyatukan potret kedua orang tuanya, adiknya dan dirinya. Sambil
mengikhlaskan darah muncrat dari dadanya, ia komat-kamit. Ada senyum mengambang di bibirnya, ada rona
bahagia menghiasi wajahnya, karena kembara kepedihannya telah berakhir tanpa
melukai kedua orang tuanya. Senyumnya telah menyatu dengan senyum kedua orang
tuanya yang sangat ia rindukan. Inilah malam yang teakhir sekaligus malam
terindah buatnya.
0 comments:
Post a Comment