Sunday, 22 June 2014

Riwayat Dana Hibah Belanda



Cerpen Khas Ranesi

Agus Purwanto
08-05-2006
Seperti biasanya setiap pagi, Warto keluar rumah menuntun sepeda jengki memulai perjalanan menuju tempat kerja. Tas kerja dari kulit imitasi warna hitam berisi berkas dan tetek bengek barang keperluannya, dimasukkan di keranjang sepeda di depan stang. Hari ini, ia mengenakan celana biru dan kemeja batik bercorak biru pula. Sedangkan topi biru bertuliskan ‘kopri’, dijejalkan ke dalam tas kerjanya.
Rambutnya tersisir ke belakang, klimis, diminyaki dengan pomade merk yang sama sejak ia SMA. Sepeda dikayuhnya menyusuri jalanan. Beberapa kendaraan diiringi derunya menyalip dan menyimpanginya. Dan sesekali si Upik, sulung Warto yang masih kelas satu SD, yang duduk di boncengannya nyeletuk bertanya atau bernyanyi-nyanyi.

Setibanya di sebuah ruangan, ia segera menghampiri meja kerjanya. Di atas pintu memasuki ruangan itu, tertempel tulisan ‘kepala sekolah’. Ruangan dilengkapi seperangkat kursi tamu, berada di sekitar dua meter di depan meja Warto.  Di sebelah pintu masuk, sebuah buffet dengan beberapa piala penghargaan menumpang, menghiasai ruangan.
Warto duduk di kursinya yang berspons tipis. Diambilnya peralatan rokok tingwe, nglinting dewe, miliknya dari tas. Ia pun menata tembakau yang sudah dicampuri cengkeh dan taburan kemenyan, di lubang alat lintingan dari kayu, ia selipkan kertas sigaret. Setelah lem kertas berbentuk stik dioleskan, ia tarik gagang alat lintingannya. Dan jadilah sebatang rokok tingwe yang penampilan fisiknya sudah mirip rokok pabrik.
Segera ia estafetkan tingwe itu ke mulut. Disusul sulutan api dari korek bensin membarakan ujungnya. Lidah-lidah api melambung, menjilat pendaran-pendaran matahari yang jatuh dari celah-celah anyaman bambu plafon. Aromanya mengendurkan kelopak matanya. Disedotnya kembali tingwenya dalam-dalam, asapnya ditiup ke atas, matanya kian memejam.
Sementara di mejanya, sebuah map menelentang ditumpuki berkas-berkas. Ilusi Warto yang sedang dibuai aroma tingwenya dibuyarkan oleh sapaan Bu Lilik, seorang bawahannya, yang masuk ke ruangan membawa sebuah buku besar. “Saya jadi ingat saat di kafetaria SMA dulu, sesuwir demi sesuwir roti lapis dinikmati penuh perasaan.
Warto terperenyak, sontak menarik kelopak matanya. Buru-buru sisa tingwenya dimasukkan asbak, lalu ia mengucek-ngucek mata. “Oh, Bu,” balasnya.
“Bapak tidak pernah berubah,” komentar Bu Lilik setelah melirik alat lintingan Warto, yang menggeletak di meja.
“Tidak pernah berubah apanya, ngiritnya ya,” sahut Warta dengan nada sewot.
“Eh !” kejut Bu Lilik tersenyum. “Bukan !” lanjutnya seraya menyodorkan buku besar kepada Warto. “Maksud saya, Bapak selalu saja bisa menikmati segala sesuatu yang ada.”
“Ya, terpaksa, Bu. Dulu saya suwir-suwir roti lapis, supaya tidak cepat habis. Sangunya mepet, tidak bisa beli dobel. Sampai sekarang pun masih mepet,” ujar Waro melas.
Senyuman di bibir bagai secuil permata merah delima itu tiba-tiba sirna, dan binaran di mata sebening tetesan embun itu pun menyurut. Pelan-pelan ujung-ujung jari lentiknya menyentuh tangan Warto, “Tahu tidak, Pak, Bapak dulu idola kami ?” ucapnya syahdu dengan mengangkat kedua alisnya yang hitam sebentuk bulan baru.
Sementara, Warto seolah-olah tuli, ia sibuk membolak-balik helai-helai halaman buku besar di mejanya, dan mencoretkan penanya di beberapa halaman. Raut muka dan bahasa tubuhnya samasekali tidak memberikan ekspresi. Tetap tenang. Baru kemudian, ia dengan santai nyeletuk. “Tahu saja, makanya, saya dulu jadi sok keren sok kul,” sambil menyelipkan kembali penanya ke saku bajunya.
“Apa !” seperti disengat lebah, Bu Lilik menarik tangannya, menutupi cekikik mulutnya.“Saya dulu tidak tahu, Bu Lilik SMA satu juga,” lanjut Warto, dengan mengerutkan alisnya. “Mungkin saja, Bu Lilik dulu jelek, jadi saya tidak tertarik untuk kenal.”
“Plek !” sebuah tamparan telapak tangan selembut bulu dada merpati, membelai pipi Warto. Kemudian ngeloyor.
Warto tersenyum sendiri meraba-raba pipinya, ia pandangi wanita yang sedang berlalu dari hadapannya itu. Oh, rambut berombaknya terurai sebahu melambai-lambai kepada Warto, dan langkah kakinya menggemulaikan seluruh bagian tubuhnya bagai pohon damar yang ditiup angin, membawa angan Warto terlayang pada istrinya yang yang sudah bak Betari Durga, yang uring-uringan di setiap tanggal tua, “Pak, lihat tetangga, golongan pangkatnya jauh di bawahmu, tapi bisa nembok rumah ! Gajinya berapa, sih Pak ! Sampai tanganku cuma segitu, punya simpanan, ya !”
Kadang kalimat itu pun ditambah dengan hentakan-hentakan perkakas dapur. Kelembutan istrinya yang bagai Dewi Arimbi semasa pacaran dan awal-awal pernikahan, kini dirasakannya benar-benar sirna.
“Ah, simpanan,” bisik Warto pada mejanya, dan ia tersenyum mengakhiri layangan angannnya. Ia sapu mukanya dengan kedua belah telapak tangan, lalu dirapikannya isi meja. Map berikut isinya dimasukkan ke laci lemari dokumen di sebelah meja. Membawa tas kerjanya, ia keluar ruangan.
“Bu, saya akan menghadiri rapat di Kantor Dinas Pendidikan, tolong disampaikan pada guru-guru lain, ya,” sapa Warto, ketika berpapasan Bu Lilik yang akan kembali masuk ruangan Warto.
“Iya, pulangnya jangan mampir-mampir, lho Pak,” sahut Bu Lilik membelalakkan matanya, mengingatkan Warto akan pesan istrinya setiap pagi saat ia akan berangkat kerja.
“Ah, Bu Lilik buka-buka rahasia dapur saya,” jawab Warto sambil berlalu.
Kursi-kursi aula Kantor Dinas Pendidikan telah penuh diisi hadirin, kecuali beberapa kursi di barisan paling depan. Hiruk-pikuk, layaknya pasar menggoyang aula. Ombak-ombak asap rokok disertai baunya menyesaki ruangan. Warto mengambil salah satu tempat duduk yang masih tersisa. Tak lama kemudian, 3 orang berbaju dan bercelana seragam coklat terang, lengkap dengan atribut badge-badgenya memasuki aula, menempati 3 tempat duduk di panggung. Orang yang di tengah langsung memegang mikrofon.
“Saudara-saudara kepala sekolah yang saya hormati,” sapanya mengawali ceramah, hiruk pikuk layaknya pasar pun mereda. “Saya kepala kantor dinas pendidikan, mungkin sebagian besar dari saudara sudah tahu itu. Salam sejahtera kepada Anda semua, dan terima kasih atas kesediaan saudara meluangkan waktu menghadiri undangan kami. Langsung saja saya sampaikan pokok acara kita, hari ini saya akan menyampaikan kabar baik kepada saudara-saudara. Beberapa bulan terakhir ini, tim kami dibantu beberapa staf pemda mensurvey sekolah-sekolah dasar di seluruh kabupaten kita. Hasil survey tersebut adalah, kehadiran saudara-saudara di aula ini. Saya telah menyerahkan hasil survey tersebut kepada bapak bupati. Dan beberapa waktu lalu, bapak bupati sendiri telah menerima kunjungan utusan Pemerintah Belanda, yang secara langsung menyerahkan dana hibah. Melalui kesempatan ini, saya beritahukan bahwa sekolah yang saudara pimpin, seluruhnya akan mendapatkan bantuan dana untuk perbaikan sarana fisik”
Penjelasan ini disambut keriuhan hadirin bak sekumpulan pedagang di pasar berebut barang kulakan. “Sebentar Saudara, mohon tenang dulu,” serunya, seraya memukul-mukulkan telapak tangannya ke meja. “Kalau tidak tenang, tidak akan saya lanjutkan.” Bagai hujan deras yang tiba-tiba mereda, suasana kembali hening.
Warto menoleh, sekilas menyapu pemandangan di sekitarnya. Suasana rapat kali ini membawanya kembali pada kenangan di kelas taman kanak-kanaknya dulu. Ia pun mengatupkan bibir dan giginya kuat-kuat demi menahan tawa.
“Jumlah yang diterima tiap sekolah berbeda, disesuaikan keparahan kerusakan sarana fisik sekolah Anda.”
Melayang-layang di depan mata Warto, keadaan bangunan sekolah yang dipimpinnya. Sebagian besar temboknya sudah patah-patah dan doyong menunggu robohnya. Ubinnya pecah-pecah hingga remuk. Bila melongok plafon, batik-batik tak beraturan telah banyak dicoretkan oleh air hujan. Dan, bocornya atap pun telah melapukkan kayu-kayu penyangganya serta meninggalkan koyakan di plafon. “Wah, sekolahku pasti mendapat paling banyak,” girang Warto dalam hati.

Di lain hari, Warto sedang berada di ruang kelas enam menggantikan wali kelas yang absen sakit. Ia berdiri di depan kelas, di sisi kiri papan tulis, salah satu tangannya menyangking penggaris kayu. Ia antarkan pandangannya menyeluruhi ruangan. Sempat bermain-main di matanya, “adegan” robohnya tembok-tembok kelas mengubur anak-anak didiknya.
Kelas enam adalah bangunan paling rawan terancam roboh di antara kelas-kelas lain. Untuk memperingan beban tembok-tembok yang sudah demikian doyong itu, atas perintah Warto, telah disangga beberapa buah pipa besi pada kayu-kayu penopang atap.
“Hayo, siapa tahu rumus Phytagoras, maju ke depan, tulis !” ucap Warto tiba-tiba memulai pelajaran, menepis sendiri lamunannya. Ia tunggu respon dari anak didiknya. Sayangnya, tak satu pun yang bersuara. Ruangan hanya terisi suara Warto.
“Coba kamu, “dengan mengangkat penggaris kayu di tanganya, ditunjuknya seorang murid yang duduk di depan paling kanan. Beberapa saat Warto menunggu jawaban terlontar dari muridnya yang membisu itu. Lalu tiba-tiba saja, “tok !” bunyi penggaris kayu di tangannya menjatuhi batok kepal murid tersebut, yang disusul riak tawa kecil berbau ejekan dari sebagian murid di bagian belakang.
“Lho,”kejut Warto sinis, sambil menoleh ke bangku-bangku belakang. Apa kamu kira tidak sampai belakang ?” serta merta selentingan tawa itu pun melenyap dari ruangan, tinggal suara Warto dan langkah kakinya, juga cericit burung di pepohonan luar sana.
“Hayo, kamu di sebelahnya, bagaimana bunyi atau tulis di papan tulis rumus Phytagoras !” tunjuk Warto lagi.
Si murid hanya menggeleng ringan, dan seketika penggaris kayu Warto menyalak kembali, “tok !” menambah korban. Demikian seterusnya secara berurutan seluruh kelas mendapat giliran ‘tok’ di kepala masing-masing, tak terkecuali kepala si Pipit, keponakan Warto sendiri.
Warto melipat kedua tangannya di dada. Seraya melangkah perlahan kembali ke depan kelas, ia tersenyum sinis, dan berseru dengan suara ditekan, “Bagaimana ini, satu kelas tidak ada yang bisa. Jangan mentang-mentang sekolahmu jelek, terus kamu seenaknya tidak belajar.” Langkah-langkah Warto yang menapaki lantai terdengar begitu jelas, begitu pun desah hembusan nafasnya.
“Ini sebenarnya yang goblok muridnya apa gurunya !” celoteh Warto masih dengan senyum sinis. Di luar dugaan, seorang murid laki-laki nyeletuk, “Gurunyaaaaaaaaa…” dengan intonasi seolah-olah sebuah jawaban serempak satu kelas, meski pelan dan terdengar ragu-ragu. Suara itu jelas menyusup telinga Warto. Bagai dicubit pantatnya, ia membalikkan badan.
“Hayo, maju ke depan, tulis rumus Phytagoras. Kalau yang goblok gurunya, itu artinya kamu bisa,” ucap Warto tenang, seperti tidak terjadi sesuatu, sambil menyodorkan kapur tulis. Dipandanginya satu persatu muridnya, sebagian sempat kelepasan tercekikik dan menoleh ke kiri ke kanan, sebagian lain sedang menutup mulut masing-masing, dengan tangan atau buku atau benda lain, dalam usaha menyembunyikan tawa.
“Kalau kamu bisa, saya janji, nilaimu di raport saya tambah satu,” demikian ujar Warto dengan nada dan senyum ramah, sambil mengangkat jari telunjuknya mengisyaratkan angka satu. “Hayo, maju,” lanjutnya. Kemudian beberapa saat Warto kembali menunggu respon dari anak didiknya. Lalu …
“Lho, bagaimana to !” seru Warto dengan suara kembali ditekan dan tersenyum sinis. “Katamu yang goblok gurunya.”
Tidak ada sahutan samasekali, murid seisi kelas mematung dengan arah pandangan masing-masing terpaku ke bawah. Mereka sedang dalam usaha menghindari gerakan, suara, dan segala sesuatu yang bisa menarik perhatian alasan menjadi kambing hitam.
Menyisipi monolog “drama konyol” ruang kelas 6, suara pintu diketuk tiga kali dari luar. Warto pun menghampiri pintu, dan membukanya. Muncul si bibir secuwil permata merah delima bersungging senyuman mengumbar kilauan gigi bagai mutiara, menggeser irama debaran dada Warto dari keroncong menjadi hip-hop.
Dia menjijit, mendekatkan bibirnya ke telinga Warto, lembut membisikkan sesuatu. Warto membungkukkan badan menyongsongnya. Wewangian bak dari bunga sekeranjang penuh yang kian merasuki hidung Warto sempat menerbangkan sejenak ingatannya pada istrinya, pada asap dapur dan keringatnya yang memparfumi tubuh istrinya.
“O, iya Bu,” sahut Warto kemudian, dengan tersenyum lebar.
Lalu keduanya beriringan melangkah bertalu dari ruang kelas 6, yang disambut paduan suara lega anak-anak di ruang kelas itu. Langklah Warto tiba di ruangannya, ditunggu tiga orang tamu berpakaian seragam coklat terang dengan atribut badge-badgenya.
“Oh, silahkan,” ucap Warto penuh rasa hormat, seraya mengacungkan ibu jari ke arah kursi tamu.
Mereka bercakap-cakap, seorang tamu memperkenalkan dirinya sebagai staf kadindik, dua lainnya dari pemda. Mereka bermaksud menyerahkan dana hibah dari Belanda, seperti janji kadindik.
“Silahkan Bapak tanda tangan di sini,” ucap salah seorang tamu sambil menyodorkan beberapa helai kertas yang sebagian bermeterai.
“Oh iya, Pak,” Warto tersenyum lebar menyambutnya. Dibubuhkannya tanda tangan, setelah sejenak mengamati.
“Ini, Pak, dananya. Silahkan Bapak hitung kembali,” seorang tamu yang lain menyerahkan sebuah amplop tebal pada Warto. Warto menerimanya, dan menghitung lembaran-lembaran puluhan ribu di dalamnya, yang masih dilengkapi bendel kertas bercap bank, dan harumnya sempat naik mencolek hidung Warto.
“Satu juta,” bisik Warto mengandung tanya.
“Iya Pak,” sahut tamunya.”Jumlah itu sudah ditentukan berdasarkan survey. Jadi tidak bisa ditambah atau dikurangi lagi”
Warto terdiam memandangi amplop di tangannya. Sesaat kemudian, baru ia berucap,”Terima kasih, tolong sampaikan juga kepada pak kakadindik”
Tamu-tamu Warto beranjak keluar ruangan, yang diikuti Warto mengantarkan sampai pintu masuk sekolah.
Seperti seorang ketua regu pramuka, Warto bergerak cepat mengumpulkan krunya. Bersama krunya, setelah melalui rangkaian perundingan, renovasi gedung sekolah Warto pun dilaksanakan. Memang bisa selesai sesuai dengan jadwal. Namun apalah artinya suntikan hibah satu juta bila dibandingkan sebuah perencanaan perbaikan komplek sekolah yang tengah sekarat menunggu roboh.
Sekadar membeli cat dan semen dipakai merias tembok dan kayu-kayunya, mengganti sebagian plafon, menambal ubin, dan membayar ongkos tukangnya. Itu saja. Lalu, tepat saja bangunan sekolah itu sekarat. Robohnya tetap menunggu.
Tahun ajaran telah berganti, hingar-bingar dana hibah telah terhapus dari benak Warto. Seiring pudarnya cat-cat di tembok dan kayu-kayu, ubin kembali pecah-pecah, koyakan-koyakan dan batik-batik di plafon bekas air hujan sudah banyak tertoreh kembali.
Hampir tidak meninggalkan kesan, bahwa bangunan sekolah itu pernah mendapatkan sentuhan dana hibah. Suatu ketika, sekolah Warto mendapat kunjungan yang tidak biasanya. Tiga lelaki bule, disertai orang-orang berpakaian seragam coklat terang lengkap dengan atribut badge-badgenya berkeliling melihat-lihat sekolah Warto.
Sebagai tuan rumah, Warto menyertai acara keliling-keliling itu. Setibanya di emperan ruang kepala sekolah, rombongan itu terhenti. Mereka saling tersenyum. Seorang bule mengajak Warto bercakap-cakap, mereka bicara dengan tetap tersenyum.
Namun lambat laun, mereka berbicara setengah berteriak. Beberapa kru Warto keluar dari ruangan sekadar menonton ‘adu teriak’ antara Warto lawan tamunya. Begitu pun murid-murid di halaman, menghentikan permainan mereka.
Tangan Warto dan bule itu menari-nari penuh tekanan mengiringi lontaran teriakan masing-masing. Mendadak Warto bergerak setengah berlari memasuki ruangannya. Kemudian muncul dengan selembar kertas di tangan.
Ditunjukkannya pada si bule. Sementara orang-orang yang berseragam hanya melongo. Setelah beberapa saat, si bule melototi kertas Warto, ia pun menyeruak dari ‘arena’ dengan lengkah mantap tanpa menoleh ke kiri dan kanan, apalagi ke belakang, menuju mobilnya. Diikuti seluruh anggota rombongan.
Tinggallah Warto di emperan ruangannya, hanya ditemani selembar kertas di tangannya. Matanya melongo, mulutnya terbuka. Tanpa disadari, selembar kertas terlepas dari jari-jarinya, lunglai jatuh di ubin. Kemudian angin melemparnya menjauhi Warto.
                                                        2

Sebulan berlalu, Warto sedang berdiri di emperan ruangannya, menyongsong dua lelaki berbaju lengan panjang coklat muda dengan bawahan celana coklat tua. Huruf V warna merah bertumpuk, menempel di kedua sisi pundak mereka. Pinggang seorang di antaranya menggantung tas kecil yang menyembulkan gagang pistol.
“Selamat siang, Pak” sapa mereka mengiringi acungan tangan tanda menghormati seperti dalam upacara bendera.
“Selamat siang,” balas Suwarto.
“Bapak Suwarto ?” tanya salah seorang dari mereka.
“Iya, benar,” sahut Warto tenang.
“Bapak ditangkap, mari kami antar ke kantor”
Alis Warto berkerut, "Lho saya tersangkut masalah apa, Pak ?”
“Demi kejelasannya, silahkan Bapak sampaikan sendiri di kantor”
“Baiklah, ijinkan saya mengambil tas dulu di dalam,” yang disambut anggukan oleh keduanya.
“Mari, Bapak-bapak,” ajak Warto yang sudah menjinjing tasnya, sambil melewati pintu melangkah ke luar dari ruangannya.
Di sebuah komplek kantor, Warto memasuki sebuah ruangan, setelah melewati pintu ruangan yang di sisi kiri bagian atasnya terjulur plang kecil bertuliskan ‘kasatreskrim’ dengan garis bawah. Dan sebuah tulisan tepat berada di bawah garis bawah itu berbunyi ‘lptu bla bla’ plus label “SIK” di belakangnya. “Silahkan duduk,” sapa ramah seorang petugas berseragam dengan huruf V warna kuning bertumpuk tiga di kedua sisi pundaknya.
Semilir angin masuk ruangan melalui pintu dan jendela kaca mengelus kulit wajah dan tangan Warto. Diletakkannya tasnya di lantai, disandarkan di kaki meja petugas.
“Terima kasih,” sahut Warto sembari menarik kursi, lalu mendudukinya. “Sebenarnya, ada kepentingan apa, Pak, saya dijemput kemari,” tanya Warto bernada basa-basi.
“Bapak Suwarto, Spd ?” yang dijawab anggukan oleh Warto. “Mmmm,” petugas di depannya kini membolak-balik halaman tumpukan kertas dalam mapnya. “Ini ! Menurut penjelasan di sini, Bapak dituduh menggelapkan dana hibah pemerintah Belanda sebesar lima puluh juta rupiah.”
“Hah !” mata Warto membelalak, dan tangannya bergerak refleks menempeleng dahinya sendiri. Plak !
“Sebelum tim kami menjemput Bapak, kami sudah mendapatkan bukti-buktinya,” tambah petugas itu. “Di sini ada tanda tangan Bapak di atas meterai, yang menjelaskan Bapak telah menerima dana tersebut”
Warto menerima bendelan kertas yang disodorkan petugas itu. Keringat dingin, tiba-tiba meleleh di sekujur tubuhnya. “Yang saya terima hanya satu juta,” jelas Warto setengah berbisik, matanya memelototi tulisan-tulisan di kertas itu.
“Nanti bisa Bapak jelaskan kepada pengadilan, atau kepada tim dari polwil,” ujar petugas itu, sembari tangannya meminta bendelan kertas.
“Polwil,” ucap Warto datar dengan mengangkat alis.
“Ya, atasan kami telah menyerahkan kasus ini kepada polwil”
Belum sampai mulut Warto bergerak membentuk kata, tiba-tiba seorang petugas lain melongok dari luar lubang pintu. “Berkas kasus bupati dan kakadindik sudah dikirim ?” teriaknya lagi. Petugas di depan Warto hanya mengangguk. Warto melongo sambil garuk-garuk kepala, kemudian ….
“Maaf, apakah kasus saya jadi satu dengan kasus bupati dan kakadindik ?” tanya Warto mengandung ragu, dan sempat berhenti sejenak memperhatikan ekspresi petugas di depannya. Bibir si petugas menyunggingkan senyuman, Warto melanjutkan lontaran katanya, “Mengingat sebelum sampai ke tangan saya, dana hibah tersebut melalui mereka.”
Si petugas berdehem, lalu berucap, "Ya, kira-kira begitulah Pak,” sahutnya sambil membenahi berkas-berkas yang berserakan di mejanya.
“Oh, celaka,” ujar Warto lirih, kepalanya sedikit menunduk. “Pak Bupati itu orang pintar dalam segala hal, Pak. Istrinya saja enam. Saya pasti kalah,Pak”
Tiba-tiba si petugas menilik jam tangannya, “Maaf, Pak, sementara ini Bapak harus ditahan. Mari saya antar.”
“Aduh ditahan,” keluh Warto lesu, dan kepalanya semakin menunduk. “Apa tidak bisa ditahan luar saja, Pak ?” pinta Warto, yang hanya disambut senyuman dan gelengan si petugas.
“Saya tidak akan lari, dan selalu siap bekerjasama,” tambah Warto berusaha membebaskan dirinya seperti menirukan alibi seorang petugas negara, yang ia lihat pemberitaannya di TV. Seorang tersangka korupsi yang mendapatkan status tahanan luar dan akhirnya bebas sepenuhnya.
“Tidak bisa Pak. Saya hanya menjalankan perintah atasan,” sahut si petugas sambil beranjak dari kursinya. “Mari, Pak !”
Warto pasrah mengikuti langkah kaki si petugas keluar ruangan menuju penginapan prodeo-nya.
“Benar saya kalah. Apalagi, pak bupati sekarang sudah naik ke Jakarta jadi anggota DPR,” ujar Warto pelan, seperti bicara kepada diri sendiri. “Atasan pak petugas saja kalah, minta bantuan polwil, apalagi saya,” ujarnya lugu tanpa prasangka.
“Ssst…” potong si petugas. “Hati-hati bicaranya, Pak. Ini kantor kami, kalau ada apa-apanya, saya tidak tanggung ….”
“Lho Pak,” seru Warto mengagetkan petugas yang mengantarnya. Mereka berhenti. Warto meraba-raba saku baju dan celananya mencari-cari sesuatu.
“Rokok saya, eh, lintingan, eh, tas saya ….” Seperti kebelet pipis, ia berbalik arah berlari untuk kembali ke ruangan si petugas.
Ponorogo, 28 Januari 2006

0 comments:

Post a Comment