Cerpen Khas Ranesi
Agus Purwanto
08-05-2006
Seperti biasanya setiap pagi, Warto keluar rumah
menuntun sepeda jengki memulai perjalanan menuju tempat kerja. Tas kerja dari
kulit imitasi warna hitam berisi berkas dan tetek bengek barang keperluannya,
dimasukkan di keranjang sepeda di depan stang. Hari ini, ia mengenakan celana
biru dan kemeja batik bercorak biru pula. Sedangkan topi biru bertuliskan
‘kopri’, dijejalkan ke dalam tas kerjanya.
Rambutnya tersisir ke belakang, klimis, diminyaki
dengan pomade merk yang sama sejak ia SMA. Sepeda dikayuhnya menyusuri jalanan.
Beberapa kendaraan diiringi derunya menyalip dan menyimpanginya. Dan sesekali
si Upik, sulung Warto yang masih kelas satu SD, yang duduk di boncengannya
nyeletuk bertanya atau bernyanyi-nyanyi.
Setibanya di sebuah ruangan, ia segera
menghampiri meja kerjanya. Di atas pintu memasuki ruangan itu, tertempel
tulisan ‘kepala sekolah’. Ruangan dilengkapi seperangkat kursi tamu, berada di
sekitar dua meter di depan meja Warto. Di sebelah pintu masuk, sebuah
buffet dengan beberapa piala penghargaan menumpang, menghiasai ruangan.
Warto duduk di kursinya yang berspons tipis.
Diambilnya peralatan rokok tingwe, nglinting dewe, miliknya dari tas. Ia pun
menata tembakau yang sudah dicampuri cengkeh dan taburan kemenyan, di lubang
alat lintingan dari kayu, ia selipkan kertas sigaret. Setelah lem kertas
berbentuk stik dioleskan, ia tarik gagang alat lintingannya. Dan jadilah
sebatang rokok tingwe yang penampilan fisiknya sudah mirip rokok pabrik.
Segera ia estafetkan tingwe itu ke mulut. Disusul
sulutan api dari korek bensin membarakan ujungnya. Lidah-lidah api melambung,
menjilat pendaran-pendaran matahari yang jatuh dari celah-celah anyaman bambu
plafon. Aromanya mengendurkan kelopak matanya. Disedotnya kembali tingwenya
dalam-dalam, asapnya ditiup ke atas, matanya kian memejam.
Sementara di mejanya, sebuah map menelentang
ditumpuki berkas-berkas. Ilusi Warto yang sedang dibuai aroma tingwenya
dibuyarkan oleh sapaan Bu Lilik, seorang bawahannya, yang masuk ke ruangan
membawa sebuah buku besar. “Saya jadi ingat saat di kafetaria SMA dulu, sesuwir
demi sesuwir roti lapis dinikmati penuh perasaan.
Warto terperenyak, sontak menarik kelopak
matanya. Buru-buru sisa tingwenya dimasukkan asbak, lalu ia mengucek-ngucek
mata. “Oh, Bu,” balasnya.
“Bapak tidak pernah berubah,” komentar Bu Lilik
setelah melirik alat lintingan Warto, yang menggeletak di meja.
“Tidak pernah berubah apanya, ngiritnya ya,”
sahut Warta dengan nada sewot.
“Eh !” kejut Bu Lilik tersenyum. “Bukan !” lanjutnya seraya menyodorkan buku besar kepada Warto. “Maksud saya, Bapak selalu saja bisa menikmati segala sesuatu yang ada.”
“Ya, terpaksa, Bu. Dulu saya suwir-suwir roti lapis, supaya tidak cepat habis. Sangunya mepet, tidak bisa beli dobel. Sampai sekarang pun masih mepet,” ujar Waro melas.
“Eh !” kejut Bu Lilik tersenyum. “Bukan !” lanjutnya seraya menyodorkan buku besar kepada Warto. “Maksud saya, Bapak selalu saja bisa menikmati segala sesuatu yang ada.”
“Ya, terpaksa, Bu. Dulu saya suwir-suwir roti lapis, supaya tidak cepat habis. Sangunya mepet, tidak bisa beli dobel. Sampai sekarang pun masih mepet,” ujar Waro melas.
Senyuman di bibir bagai secuil permata merah
delima itu tiba-tiba sirna, dan binaran di mata sebening tetesan embun itu pun
menyurut. Pelan-pelan ujung-ujung jari lentiknya menyentuh tangan Warto, “Tahu
tidak, Pak, Bapak dulu idola kami ?” ucapnya syahdu dengan mengangkat kedua
alisnya yang hitam sebentuk bulan baru.
Sementara, Warto seolah-olah tuli, ia sibuk
membolak-balik helai-helai halaman buku besar di mejanya, dan mencoretkan
penanya di beberapa halaman. Raut muka dan bahasa tubuhnya samasekali tidak
memberikan ekspresi. Tetap tenang. Baru kemudian, ia dengan santai nyeletuk.
“Tahu saja, makanya, saya dulu jadi sok keren sok kul,” sambil menyelipkan
kembali penanya ke saku bajunya.
“Apa !” seperti disengat lebah, Bu Lilik menarik
tangannya, menutupi cekikik mulutnya.“Saya dulu tidak tahu, Bu Lilik SMA satu
juga,” lanjut Warto, dengan mengerutkan alisnya. “Mungkin saja, Bu Lilik dulu
jelek, jadi saya tidak tertarik untuk kenal.”
“Plek !” sebuah tamparan telapak tangan selembut
bulu dada merpati, membelai pipi Warto. Kemudian ngeloyor.
Warto tersenyum sendiri meraba-raba pipinya, ia
pandangi wanita yang sedang berlalu dari hadapannya itu. Oh, rambut berombaknya
terurai sebahu melambai-lambai kepada Warto, dan langkah kakinya menggemulaikan
seluruh bagian tubuhnya bagai pohon damar yang ditiup angin, membawa angan
Warto terlayang pada istrinya yang yang sudah bak Betari Durga, yang
uring-uringan di setiap tanggal tua, “Pak, lihat tetangga, golongan pangkatnya
jauh di bawahmu, tapi bisa nembok rumah ! Gajinya berapa, sih Pak ! Sampai
tanganku cuma segitu, punya simpanan, ya !”
Kadang kalimat itu pun ditambah dengan
hentakan-hentakan perkakas dapur. Kelembutan istrinya yang bagai Dewi Arimbi
semasa pacaran dan awal-awal pernikahan, kini dirasakannya benar-benar sirna.
“Ah, simpanan,” bisik Warto pada mejanya, dan ia
tersenyum mengakhiri layangan angannnya. Ia sapu mukanya dengan kedua belah
telapak tangan, lalu dirapikannya isi meja. Map berikut isinya dimasukkan ke
laci lemari dokumen di sebelah meja. Membawa tas kerjanya, ia keluar ruangan.
“Bu, saya akan menghadiri rapat di Kantor Dinas
Pendidikan, tolong disampaikan pada guru-guru lain, ya,” sapa Warto, ketika
berpapasan Bu Lilik yang akan kembali masuk ruangan Warto.
“Iya, pulangnya jangan mampir-mampir, lho Pak,”
sahut Bu Lilik membelalakkan matanya, mengingatkan Warto akan pesan istrinya
setiap pagi saat ia akan berangkat kerja.
“Ah, Bu Lilik buka-buka rahasia dapur saya,”
jawab Warto sambil berlalu.
Kursi-kursi aula Kantor Dinas Pendidikan telah
penuh diisi hadirin, kecuali beberapa kursi di barisan paling depan.
Hiruk-pikuk, layaknya pasar menggoyang aula. Ombak-ombak asap rokok disertai
baunya menyesaki ruangan. Warto mengambil salah satu tempat duduk yang masih
tersisa. Tak lama kemudian, 3 orang berbaju dan bercelana seragam coklat
terang, lengkap dengan atribut badge-badgenya memasuki aula, menempati 3 tempat
duduk di panggung. Orang yang di tengah langsung memegang mikrofon.
“Saudara-saudara kepala sekolah yang saya
hormati,” sapanya mengawali ceramah, hiruk pikuk layaknya pasar pun mereda.
“Saya kepala kantor dinas pendidikan, mungkin sebagian besar dari saudara sudah
tahu itu. Salam sejahtera kepada Anda semua, dan terima kasih atas kesediaan
saudara meluangkan waktu menghadiri undangan kami. Langsung saja saya sampaikan
pokok acara kita, hari ini saya akan menyampaikan kabar baik kepada
saudara-saudara. Beberapa bulan terakhir ini, tim kami dibantu beberapa staf
pemda mensurvey sekolah-sekolah dasar di seluruh kabupaten kita. Hasil survey
tersebut adalah, kehadiran saudara-saudara di aula ini. Saya telah menyerahkan
hasil survey tersebut kepada bapak bupati. Dan beberapa waktu lalu, bapak
bupati sendiri telah menerima kunjungan utusan Pemerintah Belanda, yang secara
langsung menyerahkan dana hibah. Melalui kesempatan ini, saya beritahukan bahwa
sekolah yang saudara pimpin, seluruhnya akan mendapatkan bantuan dana untuk
perbaikan sarana fisik”
Penjelasan ini disambut keriuhan hadirin bak sekumpulan
pedagang di pasar berebut barang kulakan. “Sebentar Saudara, mohon tenang
dulu,” serunya, seraya memukul-mukulkan telapak tangannya ke meja. “Kalau tidak
tenang, tidak akan saya lanjutkan.” Bagai hujan deras yang tiba-tiba mereda,
suasana kembali hening.
Warto menoleh, sekilas menyapu pemandangan di
sekitarnya. Suasana rapat kali ini membawanya kembali pada kenangan di kelas
taman kanak-kanaknya dulu. Ia pun mengatupkan bibir dan giginya kuat-kuat demi
menahan tawa.
“Jumlah yang diterima tiap sekolah berbeda,
disesuaikan keparahan kerusakan sarana fisik sekolah Anda.”
Melayang-layang di depan mata Warto, keadaan
bangunan sekolah yang dipimpinnya. Sebagian besar temboknya sudah patah-patah
dan doyong menunggu robohnya. Ubinnya pecah-pecah hingga remuk. Bila melongok
plafon, batik-batik tak beraturan telah banyak dicoretkan oleh air hujan. Dan,
bocornya atap pun telah melapukkan kayu-kayu penyangganya serta meninggalkan
koyakan di plafon. “Wah, sekolahku pasti mendapat paling banyak,” girang Warto dalam
hati.
Di lain hari, Warto sedang berada di ruang kelas enam menggantikan wali kelas yang absen sakit. Ia berdiri di depan kelas, di sisi kiri papan tulis, salah satu tangannya menyangking penggaris kayu. Ia antarkan pandangannya menyeluruhi ruangan. Sempat bermain-main di matanya, “adegan” robohnya tembok-tembok kelas mengubur anak-anak didiknya.
Kelas enam adalah bangunan paling rawan terancam
roboh di antara kelas-kelas lain. Untuk memperingan beban tembok-tembok yang
sudah demikian doyong itu, atas perintah Warto, telah disangga beberapa buah
pipa besi pada kayu-kayu penopang atap.
“Hayo, siapa tahu rumus Phytagoras, maju ke
depan, tulis !” ucap Warto tiba-tiba memulai pelajaran, menepis sendiri
lamunannya. Ia tunggu respon dari anak didiknya. Sayangnya, tak satu pun yang
bersuara. Ruangan hanya terisi suara Warto.
“Coba kamu, “dengan mengangkat penggaris kayu di
tanganya, ditunjuknya seorang murid yang duduk di depan paling kanan. Beberapa
saat Warto menunggu jawaban terlontar dari muridnya yang membisu itu. Lalu
tiba-tiba saja, “tok !” bunyi penggaris kayu di tangannya menjatuhi batok kepal
murid tersebut, yang disusul riak tawa kecil berbau ejekan dari sebagian murid
di bagian belakang.
“Lho,”kejut Warto sinis, sambil menoleh ke
bangku-bangku belakang. Apa kamu kira tidak sampai belakang ?” serta merta
selentingan tawa itu pun melenyap dari ruangan, tinggal suara Warto dan langkah
kakinya, juga cericit burung di pepohonan luar sana.
“Hayo, kamu di sebelahnya, bagaimana bunyi atau
tulis di papan tulis rumus Phytagoras !” tunjuk Warto lagi.
Si murid hanya menggeleng ringan, dan seketika
penggaris kayu Warto menyalak kembali, “tok !” menambah korban. Demikian
seterusnya secara berurutan seluruh kelas mendapat giliran ‘tok’ di kepala
masing-masing, tak terkecuali kepala si Pipit, keponakan Warto sendiri.
Warto melipat kedua tangannya di dada. Seraya
melangkah perlahan kembali ke depan kelas, ia tersenyum sinis, dan berseru
dengan suara ditekan, “Bagaimana ini, satu kelas tidak ada yang bisa. Jangan
mentang-mentang sekolahmu jelek, terus kamu seenaknya tidak belajar.”
Langkah-langkah Warto yang menapaki lantai terdengar begitu jelas, begitu pun
desah hembusan nafasnya.
“Ini sebenarnya yang goblok muridnya apa gurunya
!” celoteh Warto masih dengan senyum sinis. Di luar dugaan, seorang murid
laki-laki nyeletuk, “Gurunyaaaaaaaaa…” dengan intonasi seolah-olah sebuah
jawaban serempak satu kelas, meski pelan dan terdengar ragu-ragu. Suara itu
jelas menyusup telinga Warto. Bagai dicubit pantatnya, ia membalikkan badan.
“Hayo, maju ke depan, tulis rumus Phytagoras.
Kalau yang goblok gurunya, itu artinya kamu bisa,” ucap Warto tenang, seperti
tidak terjadi sesuatu, sambil menyodorkan kapur tulis. Dipandanginya satu
persatu muridnya, sebagian sempat kelepasan tercekikik dan menoleh ke kiri ke
kanan, sebagian lain sedang menutup mulut masing-masing, dengan tangan atau
buku atau benda lain, dalam usaha menyembunyikan tawa.
“Kalau kamu bisa, saya janji, nilaimu di raport
saya tambah satu,” demikian ujar Warto dengan nada dan senyum ramah, sambil
mengangkat jari telunjuknya mengisyaratkan angka satu. “Hayo, maju,” lanjutnya.
Kemudian beberapa saat Warto kembali menunggu respon dari anak didiknya. Lalu …
“Lho, bagaimana to !” seru Warto dengan suara
kembali ditekan dan tersenyum sinis. “Katamu yang goblok gurunya.”
Tidak ada sahutan samasekali, murid seisi kelas
mematung dengan arah pandangan masing-masing terpaku ke bawah. Mereka sedang
dalam usaha menghindari gerakan, suara, dan segala sesuatu yang bisa menarik
perhatian alasan menjadi kambing hitam.
Menyisipi monolog “drama konyol” ruang kelas 6,
suara pintu diketuk tiga kali dari luar. Warto pun menghampiri pintu, dan
membukanya. Muncul si bibir secuwil permata merah delima bersungging senyuman
mengumbar kilauan gigi bagai mutiara, menggeser irama debaran dada Warto dari
keroncong menjadi hip-hop.
Dia menjijit, mendekatkan bibirnya ke telinga
Warto, lembut membisikkan sesuatu. Warto membungkukkan badan menyongsongnya.
Wewangian bak dari bunga sekeranjang penuh yang kian merasuki hidung Warto
sempat menerbangkan sejenak ingatannya pada istrinya, pada asap dapur dan
keringatnya yang memparfumi tubuh istrinya.
“O, iya Bu,” sahut Warto kemudian, dengan
tersenyum lebar.
Lalu keduanya beriringan melangkah bertalu dari ruang kelas 6, yang disambut paduan suara lega anak-anak di ruang kelas itu. Langklah Warto tiba di ruangannya, ditunggu tiga orang tamu berpakaian seragam coklat terang dengan atribut badge-badgenya.
Lalu keduanya beriringan melangkah bertalu dari ruang kelas 6, yang disambut paduan suara lega anak-anak di ruang kelas itu. Langklah Warto tiba di ruangannya, ditunggu tiga orang tamu berpakaian seragam coklat terang dengan atribut badge-badgenya.
“Oh, silahkan,” ucap Warto penuh rasa hormat,
seraya mengacungkan ibu jari ke arah kursi tamu.
Mereka bercakap-cakap, seorang tamu
memperkenalkan dirinya sebagai staf kadindik, dua lainnya dari pemda. Mereka
bermaksud menyerahkan dana hibah dari Belanda, seperti janji kadindik.
“Silahkan Bapak tanda tangan di sini,” ucap salah
seorang tamu sambil menyodorkan beberapa helai kertas yang sebagian bermeterai.
“Oh iya, Pak,” Warto tersenyum lebar
menyambutnya. Dibubuhkannya tanda tangan, setelah sejenak mengamati.
“Ini, Pak, dananya. Silahkan Bapak hitung
kembali,” seorang tamu yang lain menyerahkan sebuah amplop tebal pada Warto.
Warto menerimanya, dan menghitung lembaran-lembaran puluhan ribu di dalamnya,
yang masih dilengkapi bendel kertas bercap bank, dan harumnya sempat naik
mencolek hidung Warto.
“Satu juta,” bisik Warto mengandung tanya.
“Iya Pak,” sahut tamunya.”Jumlah itu sudah
ditentukan berdasarkan survey. Jadi tidak bisa ditambah atau dikurangi lagi”
Warto terdiam memandangi amplop di tangannya.
Sesaat kemudian, baru ia berucap,”Terima kasih, tolong sampaikan juga kepada
pak kakadindik”
Tamu-tamu Warto beranjak keluar ruangan, yang
diikuti Warto mengantarkan sampai pintu masuk sekolah.
Seperti seorang ketua regu pramuka, Warto
bergerak cepat mengumpulkan krunya. Bersama krunya, setelah melalui rangkaian
perundingan, renovasi gedung sekolah Warto pun dilaksanakan. Memang bisa
selesai sesuai dengan jadwal. Namun apalah artinya suntikan hibah satu juta
bila dibandingkan sebuah perencanaan perbaikan komplek sekolah yang tengah
sekarat menunggu roboh.
Sekadar membeli cat dan semen dipakai merias
tembok dan kayu-kayunya, mengganti sebagian plafon, menambal ubin, dan membayar
ongkos tukangnya. Itu saja. Lalu, tepat saja bangunan sekolah itu sekarat.
Robohnya tetap menunggu.
Tahun ajaran telah berganti, hingar-bingar dana
hibah telah terhapus dari benak Warto. Seiring pudarnya cat-cat di tembok dan
kayu-kayu, ubin kembali pecah-pecah, koyakan-koyakan dan batik-batik di plafon
bekas air hujan sudah banyak tertoreh kembali.
Hampir tidak meninggalkan kesan, bahwa bangunan
sekolah itu pernah mendapatkan sentuhan dana hibah. Suatu ketika, sekolah Warto
mendapat kunjungan yang tidak biasanya. Tiga lelaki bule, disertai orang-orang
berpakaian seragam coklat terang lengkap dengan atribut badge-badgenya
berkeliling melihat-lihat sekolah Warto.
Sebagai tuan rumah, Warto menyertai acara
keliling-keliling itu. Setibanya di emperan ruang kepala sekolah, rombongan itu
terhenti. Mereka saling tersenyum. Seorang bule mengajak Warto bercakap-cakap,
mereka bicara dengan tetap tersenyum.
Namun lambat laun, mereka berbicara setengah
berteriak. Beberapa kru Warto keluar dari ruangan sekadar menonton ‘adu teriak’
antara Warto lawan tamunya. Begitu pun murid-murid di halaman, menghentikan
permainan mereka.
Tangan Warto dan bule itu menari-nari penuh
tekanan mengiringi lontaran teriakan masing-masing. Mendadak Warto bergerak
setengah berlari memasuki ruangannya. Kemudian muncul dengan selembar kertas di
tangan.
Ditunjukkannya pada si bule. Sementara
orang-orang yang berseragam hanya melongo. Setelah beberapa saat, si bule
melototi kertas Warto, ia pun menyeruak dari ‘arena’ dengan lengkah mantap
tanpa menoleh ke kiri dan kanan, apalagi ke belakang, menuju mobilnya. Diikuti
seluruh anggota rombongan.
Tinggallah Warto di emperan ruangannya, hanya
ditemani selembar kertas di tangannya. Matanya melongo, mulutnya terbuka. Tanpa
disadari, selembar kertas terlepas dari jari-jarinya, lunglai jatuh di ubin.
Kemudian angin melemparnya menjauhi Warto.
2
Sebulan berlalu, Warto sedang berdiri di emperan ruangannya, menyongsong dua lelaki berbaju lengan panjang coklat muda dengan bawahan celana coklat tua. Huruf V warna merah bertumpuk, menempel di kedua sisi pundak mereka. Pinggang seorang di antaranya menggantung tas kecil yang menyembulkan gagang pistol.
Sebulan berlalu, Warto sedang berdiri di emperan ruangannya, menyongsong dua lelaki berbaju lengan panjang coklat muda dengan bawahan celana coklat tua. Huruf V warna merah bertumpuk, menempel di kedua sisi pundak mereka. Pinggang seorang di antaranya menggantung tas kecil yang menyembulkan gagang pistol.
“Selamat siang, Pak” sapa mereka mengiringi
acungan tangan tanda menghormati seperti dalam upacara bendera.
“Selamat siang,” balas Suwarto.
“Bapak Suwarto ?” tanya salah seorang dari
mereka.
“Iya, benar,” sahut Warto tenang.
“Bapak ditangkap, mari kami antar ke kantor”
Alis Warto berkerut, "Lho saya tersangkut
masalah apa, Pak ?”
“Demi kejelasannya, silahkan Bapak sampaikan
sendiri di kantor”
“Baiklah, ijinkan saya mengambil tas dulu di
dalam,” yang disambut anggukan oleh keduanya.
“Mari, Bapak-bapak,” ajak Warto yang sudah
menjinjing tasnya, sambil melewati pintu melangkah ke luar dari ruangannya.
Di sebuah komplek kantor, Warto memasuki sebuah
ruangan, setelah melewati pintu ruangan yang di sisi kiri bagian atasnya terjulur
plang kecil bertuliskan ‘kasatreskrim’ dengan garis bawah. Dan sebuah tulisan
tepat berada di bawah garis bawah itu berbunyi ‘lptu bla bla’ plus label “SIK”
di belakangnya. “Silahkan duduk,” sapa ramah seorang petugas berseragam dengan
huruf V warna kuning bertumpuk tiga di kedua sisi pundaknya.
Semilir angin masuk ruangan melalui pintu dan
jendela kaca mengelus kulit wajah dan tangan Warto. Diletakkannya tasnya di
lantai, disandarkan di kaki meja petugas.
“Terima kasih,” sahut Warto sembari menarik kursi,
lalu mendudukinya. “Sebenarnya, ada kepentingan apa, Pak, saya dijemput
kemari,” tanya Warto bernada basa-basi.
“Bapak Suwarto, Spd ?” yang dijawab anggukan oleh
Warto. “Mmmm,” petugas di depannya kini membolak-balik halaman tumpukan kertas
dalam mapnya. “Ini ! Menurut penjelasan di sini, Bapak dituduh menggelapkan
dana hibah pemerintah Belanda sebesar lima
puluh juta rupiah.”
“Hah !” mata Warto membelalak, dan tangannya
bergerak refleks menempeleng dahinya sendiri. Plak !
“Sebelum tim kami menjemput Bapak, kami sudah
mendapatkan bukti-buktinya,” tambah petugas itu. “Di sini ada tanda tangan
Bapak di atas meterai, yang menjelaskan Bapak telah menerima dana tersebut”
Warto menerima bendelan kertas yang disodorkan
petugas itu. Keringat dingin, tiba-tiba meleleh di sekujur tubuhnya. “Yang saya
terima hanya satu juta,” jelas Warto setengah berbisik, matanya memelototi
tulisan-tulisan di kertas itu.
“Nanti bisa Bapak jelaskan kepada pengadilan,
atau kepada tim dari polwil,” ujar petugas itu, sembari tangannya meminta
bendelan kertas.
“Polwil,” ucap Warto datar dengan mengangkat
alis.
“Ya, atasan kami telah menyerahkan kasus ini
kepada polwil”
Belum sampai mulut Warto bergerak membentuk kata,
tiba-tiba seorang petugas lain melongok dari luar lubang pintu. “Berkas kasus
bupati dan kakadindik sudah dikirim ?” teriaknya lagi. Petugas di depan Warto
hanya mengangguk. Warto melongo sambil garuk-garuk kepala, kemudian ….
“Maaf, apakah kasus saya jadi satu dengan kasus
bupati dan kakadindik ?” tanya Warto mengandung ragu, dan sempat berhenti
sejenak memperhatikan ekspresi petugas di depannya. Bibir si petugas
menyunggingkan senyuman, Warto melanjutkan lontaran katanya, “Mengingat sebelum
sampai ke tangan saya, dana hibah tersebut melalui mereka.”
Si petugas berdehem, lalu berucap, "Ya,
kira-kira begitulah Pak,” sahutnya sambil membenahi berkas-berkas yang
berserakan di mejanya.
“Oh, celaka,” ujar Warto lirih, kepalanya sedikit
menunduk. “Pak Bupati itu orang pintar dalam segala hal, Pak. Istrinya saja
enam. Saya pasti kalah,Pak”
Tiba-tiba si petugas menilik jam tangannya,
“Maaf, Pak, sementara ini Bapak harus ditahan. Mari saya antar.”
“Aduh ditahan,” keluh Warto lesu, dan kepalanya
semakin menunduk. “Apa tidak bisa ditahan luar saja, Pak ?” pinta Warto, yang
hanya disambut senyuman dan gelengan si petugas.
“Saya tidak akan lari, dan selalu siap
bekerjasama,” tambah Warto berusaha membebaskan dirinya seperti menirukan alibi
seorang petugas negara, yang ia lihat pemberitaannya di TV. Seorang tersangka
korupsi yang mendapatkan status tahanan luar dan akhirnya bebas sepenuhnya.
“Tidak bisa Pak. Saya hanya menjalankan perintah
atasan,” sahut si petugas sambil beranjak dari kursinya. “Mari, Pak !”
Warto pasrah mengikuti langkah kaki si petugas
keluar ruangan menuju penginapan prodeo-nya.
“Benar saya kalah. Apalagi, pak bupati sekarang sudah naik ke Jakarta jadi anggota DPR,” ujar Warto pelan, seperti bicara kepada diri sendiri. “Atasan pak petugas saja kalah, minta bantuan polwil, apalagi saya,” ujarnya lugu tanpa prasangka.
“Benar saya kalah. Apalagi, pak bupati sekarang sudah naik ke Jakarta jadi anggota DPR,” ujar Warto pelan, seperti bicara kepada diri sendiri. “Atasan pak petugas saja kalah, minta bantuan polwil, apalagi saya,” ujarnya lugu tanpa prasangka.
“Ssst…” potong si petugas. “Hati-hati bicaranya,
Pak. Ini kantor kami, kalau ada apa-apanya, saya tidak tanggung ….”
“Lho Pak,” seru Warto mengagetkan petugas yang
mengantarnya. Mereka berhenti. Warto meraba-raba saku baju dan celananya
mencari-cari sesuatu.
“Rokok saya, eh, lintingan, eh, tas saya ….”
Seperti kebelet pipis, ia berbalik arah berlari untuk kembali ke ruangan si
petugas.
Ponorogo, 28 Januari 2006
0 comments:
Post a Comment