19-12-2005
Cerpen Khas Ranesi
Sumber : www.renasi.nl
Radio Nederland
Wereldomroep
"Tidak."
"Marah mungkin?"
"Untuk apa marah?"
"Mm, saya katakan mungkin. Apa adik biasa berbincang dengan Papi ketika kalian sedang sama-sama berada di rumah?"
"Kadang-kadang."
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Politik."
"Misalnya?"
"Macam-macam."
"Salah satunya?"
Sugiarti kemudian berbicara panjang lebar tentang politik pergerakan dan peranan RM Himodigdojo, Ayah yang dihormatinya, yang agaknya membuatnya belajar tentang kemerdekaan berpikir. Nyatanya sang putri tak siap menerima dua jagat yang sama sekali tak sejalan dalam satu atap kehidupannya. Iapun nampak kesulitan meninggalkan jagat kemapanan, jagat pikir lingkungan yang membesarkannya. Ibunya seorang priyayi Jawa. Yang amat kuat mengetengahkan keningratan sebagai prasyarat yang tak bisa diganggugugat.
Begitulah, ketimpangan yang patut saya ketahui sebagai bagian terapi untuk jiwa Sugiarti yang malang, belum lagi sepenuhnya bisa saya temukan ujung benang kusutnya, secara seksama, untuk bisa melonggarkan dadanya.
Pasien yang datang pada saya, diantar Ibunya sekitar awal 1966, empat tahun lalu itu, memang bukan pasien biasa. Dia seorang yang biasa berpikir. Wataknya keras sekaligus amat perasa. Suka membaca dan sedikit gaib. Baru satu tahun terakhir wawankata kami bisa terjalin walaupun tak seperti yang saya harapkan. Ini sudah menjadi anugerah. Ada semacam kemajuan.
"Siapa Rob Nieuwenhuys yang sering adik tulis namanya dalam buku gambar adik ini?"
"Kekasihku."
Suaranya lantang kegirangan namun juga seakan tak bisa menerima nama seseorang ini disebut-sebut oleh orang lain.
"Tentu adik begitu mengasihinya."
"Sangat. Ia cinta pertamaku."
Selang cukup lama untuk sebuah awal cerita, dia memandang lurus dan kosong pada entah. Sampai tak sengaja saya menjatuhkan pena yang terselip di antara jari telunjuk dan ibujari, berisik mengenai meja kayu jati.
"Nieuwenhuys kukenal waktu aku masih bocah. Segini."
Ia mengatakan sambil mengangkat tangannya tak terlalu tinggi memberi isyarat seberapa ia kala pertamakali merasakan jatuh cinta.
"Lelaki itu sahabat Papi. Seorang yang penuh perhatian dan pandai bercerita. Gagah dan wataknya halus penuh kasihsayang. Aku mencintainya."
Kembali senyap.
"Stt, jangan katakan pada siapapun, Dok! Nama samarannya E Breton De Nijs! Aku suka membacai novelnya. Aku sudah membaca empat belas kali. Yang aku sukai judulnya: Vergeelde Portretten uit een Indisch Familiealbum."
Sugiarti kemudian tertunduk dan tersipu-sipu. Bahasa Belandanya bagus untuk ukuran orang Indonesia yang tinggal dan besar di Indonesia walaupun kehidupannya teramat dekat dengan kehidupan bangsawanbergaya hidup Walandi. Raut wajah Rr Sugiarti nampak lebih tua dari umurnya, lelah. Ia bercerita cukup runtun. Ia terus mengatakan begitu mencintai lelaki yang katanya sekarang tinggal di Amsterdam itu. Ia yakin, lelaki itu akan segera menjemputnya. Mereka akan hidup bersama setelah Nieuwenhuys menceraikan istrinya, Deetje.
Skizofrenia! Bukan penyakit mutahir, sudah menjangkiti manusia berpikir dan menggerogoti jiwa selama sekian abad yang lalu. Ketika manusia mengerti cara pengobatan yang manusiawi maka penyembuhannya tanpa perlu pasungan atau dengan merendam pasien di bak air berjam-jam. Pengidapnya cukup dirangsang dengan obat penenang melalui suntikan atau tablet dengan terus mengembangkan terapi hubungan, berbincang terus seperti ini. Lalu diarahkan menuju kemampuan berpikir yang baik-baik.
Bukan berarti tanpa hambatan. Kadang-kadang saya dibuat kehabisan akal untuk mengerti sisi kemanusiaannya. Namun di lain waktu saya begitu menghormati nilai-nilai kesetiaan dan kemuliaan dalam memegang teguh prinsip hidup yang ia yakini akan membawa kebahagiaan, kegemilangan. Walaupun apa yang terpikir dalam benak perempuan berdarah biru itu adalah mimpi belaka.
"Zomer ini kami menikah di kapel dekat rumah kami kelak di pinggiran kota Amsterdam. Namun sebelumnya dia juga mau menikah dengan cara adat Jawa, di sini."
Sinar mata berkilauan itu tiba-tiba meredup, pucat dan kemudian memerah.
"Tiap malam ia datang padaku. Kadang-kadang dia marah-marah dan itu membuatku takut. Menakutkan. Padahal semua-mua sudah kuberikan padanya. Salahku apa to Yu?"
"Dik Sugi tidak salah. Dik Sugi hanya butuh istirahat."
"Hampir sepanjang hari aku istirahat lo, Mbak. Apalagi kalau sudah minum obat."
"Masih menyulam?"
"Mau tapi Papi tidak akan senang walaupun beliau tak mengatakan begitu. Papi senang kalau aku membaca."
"Mosok?"
"Jeng Surip ra ngandel!"
"Membaca kan bisa diselingi menyulam?"
"Bu Dokter, aku bosen."
RM Himodigdojo, ayahanda Raden Roro yang jelita ini adalah orang lama di jagat pendidikan zaman "sekolah liar". Beliau turut membangun nilai kebangsaan melalui pandu NPO (Nationale Padvinders Organisatie). Beliau menyukai pengembaraan dengan mengayuh sepeda dari kota ke kota di seluruh Jawa. Dengan terang-terangan! Sebagai awal mewujudkan Kepanduan Bangsa Indonesia, pada 1933. Itulah masa merah-putih dijadikan Nationale kleur, sebagai warna panji-panji dan setangan lehernya. Beliau orang yang disegani pemerintah kolonial. Masa itulah beliau bersentuhan dengan jagat pendidikan di pusat. Kala ke Batavia, beliau menghadap dewan kementerian pendidikan Hindia Belanda, Rob Nieuwenhuys yang kemudian malah menjadi awal persahabatan yang sejati. Padahal secara garis kebijakan, mereka berseberangan.
Persahabatan dan pertemuan demi pertemuan menumbuhkan benih cinta antara putrinya dan sang sahabat yang seumur dengannya. Tak ada yang patut dipersalahkan. Cinta datang tak berupa dan tak bersuara. Siapa sangka akan menjadi genting. Sang sahabat harus kembali ke tanah moyangnya walaupun lahir di tanah Jawa. Mas Himo, demikian Nieuwenhuys memanggil, menyadari bahwa pria yang jujur dan terbuka itu tentu juga mengemban perasaan tidak ringan. Orang Belanda totok itu pernah mengatakan dengan sepenuh jiwanya, begini:
"Negeri Belanda tak lain hanya sebuah negeri asing menakjubkan keindahannya, yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Negeri itu adalah musim dingin. Indonesia adalah musim panas. Musim dingin adalah tempat untuk belajar bertahan hidup, bersekolah. Sedangkan musim panas adalah tempat yang paling mulia untuk menghargai gairah kehidupan."
Adalah nasib putri Mas Himo. Harus mengemban ujian Gusti yang tak diharapkan. Persahabatan mereka yang indah harus dibayar dengan hal yang tentu menjadi beban bagi RM Himodigdojo pula, sebagai ayahanda. Keluarga besarnyapun tak akan mudah menerima keadaan ini. Tak ada sikap lain selain mendiamkan yang artinya, mengucilkan.
"Dik Sugi mau minum teh di beranda?"
"Nee."
Jawaban tajam itu tak diikuti dengan sikap yang sama. Sikap Sugiarti nampak rapuh dan terancam. Saya beranjak dan diikuti oleh langkah kakinya yang tergesa kemudian diam. Tak melanjutkan langkah. Amat tiba-tiba!
"Monggo, Dik Sugi. Saya minta Mbok Rah menyiapkan tehnya dulu ya? Nuwunsewu."
Deretan pohon cemara yang ada di lingkungan rumah besar itu demikian asri dan menentramkan. Bangku besi taman dinaungi juntaian bougenville warna merah delima menyala yang melilit di lengkungan besi. Saya tak menjumpai Dik Sugi di situ sesaat setelah kembali dari dapur. Artinya saya harus menyudahi perbincangan. Ia benar-benar tak ingin minum teh. Ia memilih masuk kamar.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?"
RM Himodigdojo berjalan dengan teken di tangan kirinya. Beliau berjalan seperti macan lapar. Di belakang beliau, Mbok Rah membawa nampan. Saya menoleh dan krunten. Sebagai dokter jiwa, tak ada yang bisa saya katakan secara sederhana, selain berusaha menenangkan dan memberi keterangan sejujur-jujurnya.
"Dik Sugi saat ini butuh suasana yang membahagiakan."
"Bagi orang muda, arti bahagia tentu saja bila ada seorang teman di sisinya, bukan?"
"Antara lain, namun tidak selalu begitu."
"Mh."
"Apakah Pak Himo ada pemikiran, bila boleh saya mendengarkan?"
"Saya ada kenalan di Turen, Jawa Timur. Seorang kleermaker. Sangat ahli dalam jahit menjahit jas. Banyak penjabat tinggi Tapioka Handels-vereneging Amsterdam di sana yang menjadi pelanggannya. Seorang Masyumi yang sangat luas pergaulannya. Mh."
"Apakah di hadapan Ilahi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi berbeda hakikatnya sebagai manusia, sehingga harus disebut-sebut latar belakangnya?"
Nampak sekali RM Himodigdojo kurang suka saya menyerang dengan pertanyaan yang demikian jelas meragukan kearifannya.
"Saya belum selesai bicara. Tolong jangan dipotong."
"Maafkan saya."
"Anak mbarep kleermaker ini adalah seorang pandu yang saya kenal sangat giat membantu kerja Pandu HW - Hisbul Waton. Gerakan pandu di bawah bendera Muhammadiyah yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan anak muda yang cinta pada tanah air."
Saya tak hendak mengatakan apa-apa sebelum Pak Himo mengutarakan maksudnya. Tanpa menunggu disilakan saya mengambil cangkir yang ada di meja depan saya. Saya sudah haus dan ini memang menenangkan kekurangsabaran saya.
"Beberapa kali ia kemari dan nampaknya menaruh kasihan pada putri saya walaupun Ibunya anak-anak kurang suka sebab ia dari kalangan kebanyakan."
"Dik Sugi tidak butuh dikasihani. Dia butuh suasana yang bersalingan. Diapun butuh mengasihi. Kami sama-sama perempuan, bahasa kami satu dalam taraf tertentu, yakni ketulusan. Hal yang mungkin bisa saja diabaikan oleh kaum pria manakala pikiran mereka sudah dipenuhi dengan taktik dan politik."
Entah mengapa saya menjadi demikian kurang sabar. Dan maaf, sedikit kurang ajar di hadapan orang yang memberi kepercayaan kepada saya untuk mempraktikkan ilmu jiwa ketika banyak orang dan lembaga memandang sebelah mata kemampuan analisa ilmiah saya sebab semata-mata saya perempuan.
Jiwa merdeka Pak Himo kala berhadapan dengan orang muda seperti saya cukup lapang dan sabar. Beliau malah tersenyum mendengar pendapat tegas yang saya utarakan. Kemudian beliau menepuk pundak saya dan mengangguk-angguk.
"Anda benar, Dok."
Tak terasa, empat tahun berlalu bagai menguapnya embun dari pelepah dedaunan yang menghiasi suasana pagi. Awal 1970.
Waktu itu zaman geger di tanah air. Baru sekitar 1966 terasa di daerah-daerah setelah pecah goro-goro 1965 di pusat pemerintahan. Tepat kala itulah saya bertekad meninggalkan tanah air, mumpung ada kesempatan keluar dari kesempitan. Tugas belajar di Leiden, menikah dan bekerja di pusat pemulihan gangguan jiwa di universitas tua tersebut. Saya menikah dengan seorang kerabat dekat, siapa coba? Rob Nieuwenhuys! Jagat ini memang sempit. Untung bukan kecantol Sang Nieuwenhuys yang memang rupawan orangnya, dan itu tentu saja bukan kesalahannya sebagai manusia yang diciptakan dengan daya tarik lelaki sejati. Bagaimana saya akan menanggung rasa bersalah pada mantan pasien saya bila memang menjalin hubungan dengan beliau, misalnya.
Sama seperti yang diceritakan Dik Sugi suatu hari ketika kami masih sering ngobrol dulu, Rob Nieuwenhuys memang bukan orang yang bahagia dalam pernikahannya. Namun ia juga bukan orang yang pemberani untuk memutus sejarah hidupnya begitu saja demi sebuah kebahagiaan bersama dengan orang yang kepadanya hati sang sejarawan sekaligus penulis itu bertautan. Khas penulis, ia lebih memilih hidup menyendiri. Ia mengisi sisa hidup memandhita ratu dalam karya-karya yang mengalir bagai sumber air tropis yang tak pernah beku walaupun diterjang musim salju.
Raden Roro Sugiarti sendiri, tahun itu telah menjadi seorang Raden Ajeng yang menanggalkan keajengannya. Ia telah menjadi sibuk mengurusi kebun jeruk di daerah Jambangan, lereng gunung Semeru, bersama seorang Pandu HW yang berkenan memandu hatinya menemukan siapa diri dan untuk apa ia hidup di dunia.
Hidup memang tidak sempurna namun dengan saling menghidupi, semua orang diharapkan mampu dan mau mencari kesempurnaan kehidupannya.
"Dik Sugi! Aduh, senengnya bisa sampai di kerajaanmu."
"Kerajaan apa to Yu."
"Tenan iki."
"Apa kabar Belanda, Mbakyu Surip? Seneng ya tinggal di sana, sampai lupa pulang."
"Lah, sama saja Dik. Percayalah, sebab saya sudah jago dalam hal kian kemari, rasanya di mana-mana itu, jika dibanding-bandingkan, ujungnya akan impas belaka. Sawang sinawang, Dik Sugi. Bagaimana?"
"Bagaimana mananya?"
"Awakmu semakin ayu."
"Hahaha, syukur." ***
Turen, 30 September 2005
0 comments:
Post a Comment