Cerpen: Agus R. Sarjono
Sumber: Kompas, Edisi 08/24/2003 Post: 08/27/2003 Disimak: 191 kali
DENGAN sebal Madelaine meneguk
habis jus jeruk dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit
sepenuhnya warna aluminium. Gerimis di luar membuat pohonan dan jalanan basah
kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus. Bahkan, dari kemarin. Madelaine menghela
napas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung dan jas hujan.
Dengan cepat ia mengenakan mantel dan mengalungkan syal. Bimbang sejenak.
Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat
sepeda. Diraihnya payung dan bergegas ke luar. Segera saja dingin menyerbunya
tanpa ragu- ragu. Dia mempercepat langkahnya. Memakai sepeda di musim dingin
dan hujan menjengkelkannya karena sudah bisa dipastikan wajahnya akan basah
kuyup. Namun, jalan kaki dan memakai payung juga menyebalkan. Dia harus
berjalan lebih jauh mengarungi udara dingin. Salju yang kemarin masih elok jadi
becek dan kotor dan licin.
Wajah Eric Mulyana yang serba
tersenyum seperti cuaca tropis membuat Madelaine jadi ikut tersenyum. Mengapa
wajah begitu, kok, tidak menjadi penyanyi rock atau pop, melainkan justru
keroncong! Tapi, kalau dia menyanyi rock atau pop, bagaimana mereka bisa
bertemu? Keronconglah yang mempertemukan mereka. Dan permainan biolanya, dan
suaranya yang hangat: rindukah kau padaku… Madelaine dengan kaget menghentikan
langkah. Sebuah sepeda melintas di mukanya.
Dia mencoba berhati-hati
sekarang. Hujan makin deras. Dingin makin mengiris. Wangi roti dari toko di
simpang jalan menerpa hidungnya. Madelaine terkenang wangi sate di Indonesia.
Tajam dan menggoda, seperti mata Eric. Apa, ya, nama group keroncongnya? Oh,
ya, "Zonder Rindu". Madelaine tersenyum. Nama yang lucu. Benarkah
setelah berpisah Eric menyanyikan semua lagu-lagu cintanya zonder rindu?
Sebuah lagu lama, yakni
"Keroncong Pertemuan" akan kami nyanyikan sebagai persembahan kepada
tamu kita malam ini, Madelaine. Madelaine, semoga anda suka lagu ini. Dan
bergemalah suara emas Eric "Pertemuan malam ini sangat berkesan. Pertemuan
kali ini tak terlupakan… " matanya yang hangat berkali-kali menyinari hati
Madelaine. Di pertengahan pertunjukan, Madelaine didaulat Eric menyanyi.
Sungguh Madelaine gugup. Tapi, akhirnya ia nyanyikan "Jembatan Merah"
satu-satunya lagu yang syairnya dia hafal meskipun logat Belandanya tak bisa
hilang. Dan, "Jembatan Merah" dia harapkan benar-benar menjadi
jembatan antara dia dan Eric.
Madelaine sudah sampai di gerbang
taman kanak-kanak yang dia tuju. Dia langsung menuju ruang "Play
Group" dan melihat anak-anak sudah ada semua di sana. Dia bergegas ke ruang
kantor dan mengambil gitarnya.
"Anak-anak, siapa yang
sayang papa…."
Anak-anak mengacung dengan
serentak.
"Siapa yang sayang
Mama?"
Mengacung lagi serentak.
"Sekarang kita menyanyi
untuk Mama dan Papa. Siaaaaap! Ohhh mijn Papa …."
Mereka bernyanyi bersama-sama.
Tapi belum lagi lagu itu selesai, seorang anak sudah berteriak,
"Mendongeng Bu,
mendongeng…."
Sebagian anak menghentikan
nyanyiannya dan ikut berteriak
"Bercerita… yang lucu
Jufrow…"
"Tidak! Yang ngeri, yang
sereeeeem!"
"Cerita rajjaaaa"
"Yang Sereeemm…"
"Raja saja…."
"Raja yang
sereeeem!!!!"
"Husss! Baik, kita
bercerita…."
"Horeeeee!!"
Anak-anak segera berkumpul
mengerumuni Madelaine. Ada yang menyandar di pahanya, ada yang berusaha naik ke
pundaknya.
"Hey, tenang dulu. Ibu mau ceritaa."
"Naik kuda... aku naik
kuda," kata anak yang mencoba naik ke pundaknya.
"Yang tidak bisa duduk
tertib tidak disayangi peri. Dia disihir oleh nenek sihir menjadi
kura-kura."
Anak yang mencoba naik ke
pundaknya ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mencoba meneruskan usahanya. Namun,
ketika Madelaine mulai bercerita dan anak-anak lain tidak lagi memperhatikannya
melainkan memperhatikan cerita Madelaine, anak itu menghentikan usahanya dan
diam-diam memasuki kerumunan untuk mendengar cerita juga.
"Akhirnya dia diperkenalkan
dengan seorang boneka pangeran dari kayu, bernama Eric. Pangeran Eric adalah
seorang pangeran yang gagah dan tampan. Dia pandai menyanyi dan suaranya bisa
mengubah musim dingin menjadi musim semi.
"Horeee, Pangeran Eric suruh
menyanyi Bu… suruh menyanyi… biar cepat musim semi."
"Jangan. Nanti kalau kita
loncat ke musim semi, tidak ada hadiah Natal."
"Benar Bu, kalau musim semi
tidak ada hadiah Natal…."
"Natal itu bulan Desember.
Jadi musim dingin. Kalau musim semi tidak ada natal."
"Pangeran Eric menyanyinya
nanti saja sesudah Natal."
"Bagaimana kalau musim semi,
tapi tetap ada Natal…."
"Tidak ada Natal kalau tidak
musim dingin…."
"Di sini memang tidak ada Natal
jika tidak musim dingin. Tapi di tempat lain, Natal tidak harus musim dingin.
Di Indonesia, misalnya, udara tetap panas, matahari bersinar terang, daun- daun
hijau, tapi tetap ada Natal."
"Ibu bohoong!"
"Dengar anak-anak, Indonesia
tidak punya musim dingin."
"Apakah karena di sana
Pangeran Eric selalu menyanyi terus-menerus sehingga selalu musim semi."
"Benar, anak-anak. Di sana
Pangeran Eric terus-menerus menyanyi. Itu sebabnya di sana matahari selalu
bersinar, udara hangat dan daun-daunnya selalu hijau."
"Aku mau ke Indonesia."
"Aku mau Pangeran Eric
terus-menerus menyanyi…."
"Tenang, ibu nyanyikan
nyanyian Pangeran Eric: …Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung
indah…."
Tapi, anak-anak tak bisa
mengikuti lagu itu. Sebentar kemudian mereka bosan dan meminta permainan lain.
Madelaine melirik jendela. Masih
gerimis. Dan anak-anak sebegitu banyaknya. Dan ribut. Dan Madelaine terkenang
liburan. Tangkuban Perahu, mandi air panas. Ahh musim dingin begini, gumam
hatinya. Dan anak-anak begini banyak.
Tapi akhirnya pelajaran usai.
Medelaine menarik napas lega, menyusuri koridor menuju kantor. Anak-anak sudah
pada berlarian ke tempat orang tuanya masing-masing yang segera memakaikan baju
hangat pada anak mereka masing-masing.
Peter tersenyum melihat Madelaine
masuk.
"Sejak kapan Tchaikovsky
menggubah lagu keroncong?"
Madelaine tersipu.
"Sekali-kali saja, buat
variasi. Lagi pula sulit memainkan Nut Cracker Tchaikovsky dengan gitar."
"Itu alasan kedua. Alasan
pertama kamu masih ada di Indonesia."
"Masih di Indonesia?"
"Ya, hati dan pikiranmu
masih di sana. Hanya badanmu yang ada di sini."
"Peter!!!" Madelaine
melemparkan tissue yang dipegangnya.
Peter menghindar.
"Mau kopi?" tanya
Peter. Tapi, dia tidak menunggu Madelaine menjawab. Dia menyeduh kopi instant
dari termos yang ada di dekatnya dan menyerahkannya pada Madelaine
"Bagaimana Indonesia?"
tanya Peter sambil tersenyum.
"Bagaimana?" Madelaine
tergagap. Bagaimana menceritakan Indonesia? Matahari bersinaran, keroncong,
senyum Eric. Tak mungkin ini diceritakan pada Peter. Madelaine tertawa.
"Datanglah ke sana, nanti akan tahu sendiri."
MADELAINE bergolekan dengan malas
di ranjangnya. Di luar tak ada matahari. Langit seperti hamparan aluminium
dingin. Winter semacam ini kerap membuatnya depresi. Hari jadi cepat malam
seperti usia. Ah usia! Madelaine menarik napas berat. Bulan depan empat puluh
dua tahun sudah usianya dan masih melajang begini. Belum juga ada pasangan
tetap, bahkan tak tetap pun jarang. Ia menelungkupkan tubuh di ranjang, meraih
bantal. Tidak bisa dibayangkan ia akan menghabiskan waktu menjadi pengasuh play
group hingga masa tua, berada selalu di tengah begitu banyak anak-anak yang
ribut, yang nakal, yang cengeng, yang menuntut cerita, yang minta diantar ke
toilet, yang… dan tak satu pun dari begitu banyak anak-anak itu adalah anaknya.
Mereka tumbuh besar dan Madelaine selalu berganti anak-anak baru. Tak satu pun
dari mereka anaknya. Alangkah indahnya anak-anak yang nakal, yang menangis,
yang harus diantar ke toilet dan minta didongengi jika saja anak itu anaknya.
Mereka akan tumbuh, dan dia mengurus pertumbuhan itu saat demi saat. Tapi tak
ada anak-anak. Dan usia seperti winter, cepat sekali jadi malam.
E-mail dari Eric kemarin membuat
hatinya terhibur. Surat yang selalu hangat dan kadang berselipkan rayuan.
Menikah dengan Eric tentunya menarik. Bahkan, jika perlu dia siap tinggal di
Indonesia. Indonesia bagi dia identik dengan keroncong. Ternyata tak banyak
lagi di Indonesia yang memainkan keroncong dan Eric kekecualian. Diingatnya
kembali dia membaca sajak dan Eric bermain keroncong. Mereka dipersatukan oleh
keroncong. Ia bisa berbincang berjam-jam dengan Eric perihal keroncong. Kemana
pun dia pergi, Eric selalu menemani.
Madelaine segera bangun dan
membuka Internet mengecek harga-harga tiket untuk musim dingin yang akan
datang. Dia sudah memutuskan untuk datang ke Indonesia lagi dan memastikan
hubungannya dengan Eric. Alangkah indahnya berkeluarga, pikir Madelaine. Tidak
bisa lain, demikian pikirnya, aku harus memastikan hal ini pada Eric. Jarak
mereka jauh. Tak masuk akal jika tidak segera dipastikan duduk soalnya.
"TAPI aku tidak menyatakan
diri akan menjadi pacarmu." Wajah Eric agak pucat.
"Tapi lagu cinta sebagai
ucapan selamat datang. Rayuan-rayuanmu lewat e-mail. Kita selalu bersama ke
mana-mana, dan saya yakin semua orang beranggapan kita pacaran."
"Madelaine, kamu tidak
mengerti. Lagu cinta sebagai sambutan selamat datang itu adalah… ah sudahlah.
Sulit menjelaskan. Kami di sini biasa menyanyikan lagu semacam itu sebagai
persembahan buat siapa saja."
"Jadi aku sama sekali tidak
istimewa…."
"Bukan begitu. Aku cuma
ingin ramah. Ingin bersahabat. Engkau orang asing dan aku ingin memastikan engkau
mendapatkan pengalaman menyenangkan di sini."
"Nah, betul bukan. Kau
begitu penuh perhatian padaku. Bukan salahku menganggapmu istimewa. Kukira kau
pun menganggapku istimewa. Kukira kita telah mulai menjalin…."
"Madelaine, bagaimana lagi
aku harus menjelaskannya."
Madelaine tak menjawab. Ia
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu. Tiga belas jam lebih di
perjalanan. Bahkan sepertiga dari tabungan tahunannya sudah dia gunakan untuk
membeli tiket kemari. Dan Eric…
Madelaine mengenang dengan pedih
pertemuannya dengan Eric. Kedatangannya ke Indonesia sepenuhnya adalah bencana.
Ia sudah bercerita pada satu dua temannya yang benar-benar dekat bahwa dia
sedang jatuh cinta. Bahwa dia mungkin sekali akan bertunangan, atau bahkan
menikah di Indonesia selama cuti tahun itu. Bahkan, dia hampir yakin
teman-teman dekatnya bakal mengenal Eric begitu mereka bertemu karena begitu
kerap dan detailnya dia bercerita tentang Eric. Dan Eric… mereka berpisah
dengan buruk malam itu. Matanya sembap oleh air mata. Dan wajah Eric pucat
serta kebingungan. Eric kemudian pamit dan menghilang. Madelaine tidak ingat
apakah dia melambaikan tangan atau tidak. Hatinya sepenuhnya hancur. Matahari
bersinar terang esoknya, tapi dia merasa semua hari telah berubah menjadi musim
dingin, seperti salju kotor dan becek.
Dan kini ia ada di pesawat menuju
Indonesia. Dia kerap heran dengan keputusannya untuk kembali ke Indonesia.
Mengapa setelah menjalani hari-hari sedih di Indonesia tempo hari ia justru
memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Dia tidak tahu untuk apa. Dia kembali
bersuratan dengan Eric lewat e-mail. Tak ada rayuan lagi di sana. Pertukaran
kabar di antara mereka lebih resmi dan menjaga jarak. Mungkin dia ingin sekali
lagi memastikan hubungannya dengan Eric. Mungkinkah? Beranikah dia
mempermasalahkan itu lagi? Mungkin dia hanya ingin menjaga masih adanya
hubungan. Tidak perlu asmara, tapi paling tidak masih bisa bersama main
keroncong, berjalan-jalan, mengobrol. Paling tidak dia memiliki semacam
tambatan entah apa, agar bisa tahan menjalani hari-hari penuh anak-anak yang
ribut, yang minta didongengi, yang berebut menaiki punggungnya, yang minta di
antar ke toilet, yang tak satu pun di antara mereka adalah anaknya.
Di pandangnya layar TV di
pesawat. Sejam lagi mereka akan mendarat di Jakarta. Selama di pesawat bisa
dikatakan dia tidak bisa tidur. Ia selalu gelisah. Hatinya hangat dan hampa.
Hampa karena sekarang dia bisa melihat ketakmasukakalan kepergiannya ke
Indonesia. Hangat karena wajah Peter berkali-kali melintas dalam angannya.
Peter telah pindah dari
pekerjaannya sebagai pengasuh play group dan kini bekerja di perusahaan
konstruksi serta pindah ke Amsterdam. Mereka bertemu di rumah Jolanda, teman
sesama pengasuh playgroup, ketika Jolanda merayakan ulang tahun. Madelaine merasa
aneh mengapa selama ini dia tidak pernah memperhatikan Peter. Apakah karena
Peter sesama pengasuh anak dan sama-sama tidak memiliki anak-anak itu? Atau
karena mereka sama-sama tinggal di kota kecil Zoetemeer yang membuat semua hal
seperti membeku dan kehilangan daya tarik. Entahlah. Tapi, dalam pesta itu ia
bertemu dengan Peter. Dengan senyumnya yang lebar seperti biasa dia langsung
bertanya: "Bagaimana kabarnya Indonesia?"
Dan Madelaine tersipu. Indonesia?
Apa yang harus dia ceritakan mengenai itu semua. Keroncong cinta yang hampa.
Rayuan-rayuan hangat tanpa makna. Air mata... Tapi mereka kemudian berdansa.
Entah bagaimana mulanya, mereka pulang bersama. Peter mengantar dia sampai
rumahnya. Dia menawarkan secangkir kopi buat Peter dan Peter setuju. Dia
mempersilakan Peter masuk apartemennya, mengobrol bersama dan begitu saja
ternyata mereka malam itu tidur bersama. Tengah malam Madelaine terbangun dan
dengan takjub memandangi wajah Peter yang lelap di sampingnya. Ditelitinya
detail wajah itu: alis, mata, dagu yang kehijauan habis dicukur, rambutnya yang
pirang kecoklatan. Disentuhnya pipi Peter dengan lembut. Peter terbangun dan
menatap Madelaine di antara kantuk.
"Ada apa memandangku begitu,
sweetie?"
Madelaine tidak menjawab. Ia
mencium kening Peter lembut dan Peter melanjutkan tidurnya sambil memeluk bahu
Madelaine. Besoknya mereka masak berdua. Sama sekali tidak keluar rumah
sepanjang hari itu.
Minggu depannya mereka berdua
menyusuri jalanan bersalju memandangi camar laut yang meluncur indah di atas
kanal-kanal. Sepanjang malam mereka tak pernah berjauhan. Pada salju musim
dingin Madelaine mendapati hangatnya kehidupan.
Ketika Madelaine mengatakan pada
Peter bahwa dia akan ke Indonesia, Peter terperanjat.
"Untuk apa ke Indonesia,
sweetie…. Apakah kamu kedinginan...."
"Tidak honey, sama sekali
tidak. Tiket ini sudah kubeli lama sebelum kita berhubungan. Aku mencoba
mengembalikan, tapi tidak bisa. Tiket ini akan hangus jika tidak dipakai."
"Apakah kamu punya urusan
penting atau hubungan penting di Indonesia…."
"Sama sekali tidak Peter.
Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana tiket ini."
"Kalau aku harus memilih,
aku lebih suka tiket itu hangus. Kau akan di Indonesia sebulan lebih... itu
lama sekali sweetie..."
"Aku segera pulang, honey.
Aku hanya akan membaca puisi di beberapa tempat, kemudian memberi lecture
sedikit mengenai Sastra Indo-Belanda…."
"Bukankah kau sendiri yang
bilang akan berhenti menulis puisi dan mengurus sastra lagi. Aku sendiri tidak
mengharapkan kau berhenti. Kau bahkan berhenti mendengarkan keroncong. Kau
sendiri yang bilang bahwa…."
"Honey, aku memang akan
berhenti. Ini perjalanan terakhir. Aku bahkan tidak akan pernah ke Indonesia
jika tidak bersamamu."
"Kau kira tidak berat
menunggumu di sini… musim dingin begini. Mengapa kau tidak cerita jauh hari
akan ke Indonesia...."
Madelaine tidak tahu harus
bercerita apa. Kedatangannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Ia sendiri
tidak bisa menjelaskannya, bukan hanya pada Peter bahkan pada hatinya sendiri.
Kurang satu jam lagi Madelaine
sudah akan ada di Indonesia. Eric berjanji akan menjemputnya, tapi untuk apa?
Dia membayangkan hari-hari di Indonesia yang panas dan berkeringat, melewati
bising mal-mal dan kemacetan lalu lintas. Dulu semua itu rasanya menakjubkan,
tapi sekarang? Belasan jam perjalanan dan sepertiga tabungan tahunan hanya
untuk meninggalkan Peter dan malam-malam indah dan musim dingin yang
mengesankan. Ia menduga-duga masih akan adakah lagi sambutan lagu keroncong
selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra dan tak bertanggung jawab
dari Eric.
Ketika ia menginjakkan kakinya di
Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sudah sepenuhnya berada di Eropa.
0 comments:
Post a Comment