Cerpen: Antoni
Sumber: Jawa Pos, Edisi 12/04/2005 Post: 12/06/2005 Disimak: 103 kali
________________________________________
Sejurus ia tercenung. 500 meter
dari tempatnya berdiri, terlihat bangkai helikopter masih dikepung api.
Beberapa detik lalu, heli itu meledak, terjatuh dari ketinggian 10 ribu kaki.
Sebelum tergolek di bibir pantai, moncongnya menghantam karang,
terbanting-banting, meledak berkeping-keping. Dapat dipastikan, dua
penumpangnya tewas. Satu pilot dan satu mekanik jet tempur.
Sebelum beranjak pergi, ia
melakukan re-check dengan teropong kecil yang selalu disimpan di saku baju
dalamnya. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia bernapas
lega. Sekali lagi, matanya menyapu seluruh pantai, memastikan tidak ada yang
melihatnya berdiri di atas bukit batu 37 derajat dari arah matahari yang mulai
muncul di ufuk timur. Posisinya berlindung memang sangat menguntungkan. Celah
batu karang itu tidak pernah diperkirakan bisa dimuati satu orang dewasa.
Ia pun mengemasi peralatannya,
Kristal Piramida, kawat penghantar listrik kuningan, segitiga kematian --begitu
selalu ia menyebutnya, dan beberapa sisa pembakaran dupa. Ia memeriksa ulang
video hand-phone-nya. Memastikan semuanya sudah terekam secara sempurna.
Semalam, di tengah malam pekat,
seorang lelaki berjaket tebal tanpa pelindung kepala, menemuinya di pinggir jalan
perbatasan dua kota. Lelaki berperawakan tinggi itu turun dari truk tuanya.
Perbatasan itu memiliki dua sisi. Di sisi selatan padang ngarai, sedang sisi
utara pertanahan gersang tandus dan berbatu-batu. Keduanya dibelah jalan aspal
35 kilometer. Dari situ terlihat lautan Pasifik membentang dengan gelombangnya
yang tidak beraturan.
Lelaki itu menatapkan matanya
dalam-dalam kepada pemuda di depannya. Seolah ingin memastikan, yang
dihadapinya betul-betul ahli Telekinetik, yang selalu dibicarakan dalam rapat-rapat
khusus intelijen Seksi Satu. Rapat yang hanya dihadiri orang-orang nomor satu,
baik di bidang pemerintahan, militer maupun intelijen.
Lelaki itu mengirimkan beberapa
kalimat melalui pikirannya.
"Engkaukah, Stein…??"
Orang yang dipanggil Stein mengerjapkan
matanya. Sekejap.
"Apa sandimu?" Lelaki
ini mengirimkan kalimat lagi melalui pikirannya.
Mereka memang sedang melakukan
telepati.
Pemuda berambut sebahu itu
menjawab singkat, "Zhinox".
Mereka pun bersalaman.
Dari balik jaketnya, lelaki itu
mengeluarkan tas plastik hitam. Ia menyerahkan kepada Stein. Stein pun
mengamatinya secara seksama. Setumpuk uang ada di atas itu. Ia yakin jumlahnya
tepat seperti job-job lain yang biasa dijalankannya. Stein memandang tajam ke
mata lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum. Lalu
memberikan hand phone terbaru kepada Stein. Telepon canggih dengan fasilitas
video, kamera, televisi, radio, dan radar. Stein mengantonginya di saku kiri
kemeja lengan penjangnya. Ia sedikit membetulkan letak topi birunya. Topi
penjelajah malam. Night hunter.
Lelaki itu akhirnya membuka
mulut, "Besok pagi sasaran kita akan lewat di belokan tebing pantai sisi
barat dengan helikopter menuju pangkalan rahasia mereka di tengah Pacific
Ocean. Mekanik itu akan kembali ke negaranya."
Lelaki itu membetulkan jaketnya,
lalu tangan kanannya mengirim kode ke sopir truk. Mesin dihidupkan. Lelaki itu
kembali ke truk dan menghilang di kegelapan malam. Setelah berlalu Stein
merasakan adanya kejanggalan pada truk tua yang terkesan reyot itu. Tidak ada
deru mesin dan asap mengepul layaknya mobil solar. Truk itu menghilang tanpa
meninggalkan deruman. Stein tersenyum lagi. "Aku harus memenangkan
permainan ini…," gumamnya.
Ia memasukkan tas plastik hitam
itu ke tas kecilnya. Setelah memastikan alat penunjuk arah di jam tangan, ia
pun berjalan ke utara. Menapaki pegunungan batu. Di kanan kirinya, perdu kecil
berduri. Meski malam betul-betul gelap ia tidak membutuhkan senter. Embun di
atas tanah yang menciptakan terang tanah sudah cukup baginya.
Warna embun itu seperti kabut.
Melebar 5 sentimeter di atas tanah. Setiap Stein menapakkan kaki, terang tanah
itu seakan berpendar. Metabolisme tubuh Stein yang di luar normal, menciptakan
energi panas berlebihan. Sehingga setiap jejak langkah menghasilkan
perbenturan, antara panas yang berasal dari tubuh dengan kelembaban menuju
titik jenuh yang berasal dari tanah. Akhirnya menghasilkan sedikit energi
listrik berbentuk cahaya berkabut. Stein paling suka menyebutnya terang tanah.
Ia sudah terbiasa jalan di
kegelapan. Ia sering melakukannya jika kebetulan tidak bisa tidur. Ia akan
berjalan malam-malam sendirian, menapaki perbukitan yang menjulang tinggi di
belakang rumahnya. Di sebuah desa yang terpencil dan terisolasi. Di samping
untuk melatih indera penglihatan, pendengaran dan perabanya. Stein melakukan
hal itu untuk melatih indera keenamnya. Berjalan di kegelapan terkadang
menimbulkan salah paham bagi orang yang kebetulan berpapasan dengan dirinya. Ia
dianggap makhluk gaib yang sedang sibuk mencari udara segar.
Stein memang pribadi yang
misterius dan penuh keanehan. Pernah suatu ketika ia bermain-main ombak di
Pattaya dengan kekuatan Telekinetik-nya. Ombak yang tadinya landai dan tenang,
jadi gelisah dan bergemuruh. Angin laut pun membesar tidak karuan. Setiap kali
Stein mengangkat tangannya ombak jadi saling berkejaran, berebut menguasai
pantai. Kawasan wisata yang tenang itu berubah mencekam dan menakutkan. Jarak
ombak yang tadinya 25 meter dari wisatawan, berubah mendekat dan tidak berjarak.
Lima orang tenggelam. Satu turis asing dan dua pasangan muda-mudi. Beberapa
kapal nelayan dan gazebo-gazebo di tepi pantai juga hancur berantakan diterjang
ombak.
"Saya juga mampu meledakkan
pesawat terbang dari jarak jauh…," begitu guraunya suatu ketika kepada
orang yang kebetulan duduk di sampingnya, di pesawat penerbangan domestik.
Sambil menapaki perbukitan tandus
itu Stein berusaha mengingat-ingat siapa lelaki yang menemuinya tadi.
Pikirannya mengembara ke seluruh kegiatan intelijen yang pernah dilakukannya.
Kamboja? Aceh? Praque? Selangor? Namun ia tetap tidak menemukan file di
otaknya. Ia hanya ingat telinga lelaki itu yang lancip di atas pernah
dilihatnya, tapi entah di mana.
Stein mencari tempat untuk
merebahkan pantatnya. Tanah tandus itu terlihat agak curam dari ketinggian
150.000 kaki di atas laut. Ia menyelonjorkan kedua kakinya ke depan. Tas kecil
di pinggang dicopot dan diletakkan di sebelah kiri tubuhnya. Sejenak ia
memejamkan matanya. Pikirannya terbang ke seluruh kejadian masa kecil yang
penuh penderitaan, upacara ritual yang hampir merenggut nyawanya gara-gara
terjatuh dari batu karang dan terseret ombak sampai ke tengah lautan, desing
mesiu yang hampir menyerempet telinganya, suara ledakan di hotel tempat ia
menginap di Kamboja, wajah ibunya, bekas istrinya, dan pengepungan-pengepungan
yang pernah dialaminya. Gambar-gambar itu berterbangan seperti slide film.
Ia mengerutkan keningnya mencoba
menghimpun seluruh kekuatan bawah sadarnya. Dan tiba-tiba ia berteriak keras
sekali. Ahhhh…!!. Stein mendekapkan kedua tangannya merangkul betis kakinya.
Kepalanya merunduk ke kiri. Ia bergumam sendirian. "Engkau! Yang ada
bersamaku dalam penerbangan domestik tiga bulan lalu…" Wajah Stein
terlihat lega.
Ia jadi teringat hand phone di
saku bajunya. Dirogohnya lalu dihidupkan. Di layar monitor terpampang beberapa
tulisan asing, lalu muncul warning dan perintah memutar video. Stein
melakukannya. Beberapa gambar bintang bermunculan, disusul jet tempur milik
salah satu negara, dengan seluruh akrobatiknya dan kecanggihannya. Stein tahu,
itu pesawat terbaru dengan banyak sekali lubang udara di seluruh dindingnya.
Pesawat itu memakai sistem katup udara untuk melakukan akrobatik udara yang
mustahil dilakukan jet lain. Ia mengagumi jet tempur itu. Ia pernah melihat
blue-print-nya. "Pesawat yang hebat…," gumamnya.
Setelah itu, muncul gambar
seorang mekanik sedang membongkar pantat jet itu. Stein mengamati hati-hati
orang itu dengan serius. Tangannya cekatan memperbaiki sistem pembakaran
pesawat. Stein penasaran karena sistem pembakaran jarang sekali dibongkar.
Rangkaian mesinnya diproduksi secara utuh dan paten. Jadi tidak berupa gabungan
beberapa komponen. Mekanik yang di-shooting kamera tersebunyi di Skadron AEIS
itu mengambil sebutir sekrup dari wear pack-nya, kemudian menyumpalkannya di
celah kecil antara sistem pembakaran dan mesin pembangkit. Stein terkejut.
Siapa orang ini? Apa dia akan melakukan sabotase?
Terkadang mekanik itu memalingkan
wajahnya sedikit ke kanan kiri. Tapi tetap saja wajahnya tidak terlihat jelas.
Akhirnya dia berdiri menepuk-nepuk badan pesawat lalu berjalan ke kiri.
Wajahnya terlihat secara lengkap untuk beberapa saat. "Restov…?!"
Stein mengenali wajah orang itu. Enam tahun lalu di Praque, orang itulah yang
selalu membuntuti dirinya. Stein jengkel dan melakukan beberapa strategi untuk
membongkar rahasia tukang buntut itu. Dia menyekap Ivana Ceko, teman wanitanya.
Akhirnya Stein tahu orang itu Restov, agen ganda untuk tiga negara.
Stein menghirup napas dalam dalam
berusaha menenangkan dirinya. Di layar terpampang lagi gambar jet sedang memacu
mesin di landasan. Tiba-tiba mesinnya mati mendadak. Jet itu terseret sampai
bannya menggesek aspal mendencit-dencit. Jet itu tidak meledak. Tapi bannya
pecah dan badannya terhempas di landasan. Darah Stein sudah menggelegak naik
sampai ubun-ubun kepala. Ia tutup layar monitor lalu mengaktifkan sinyal radar.
Ia mengarahkan pada koordinat yang sudah dibuat secara otomatis. Layar jadi
berwarna hijau melingkar-lingkar. Ada satu titik tidak bergerak di pojok kanan
bawah pada koordiant 4 Timur Laut. Stein tahu ia dimonitor pada jarak 10
kilometer. Stein bergegas menuju celah batu karang. Ia masih punya waktu untuk
menunjukkan keahliannya melakukan Dambala of Telekenitik, jenis kekuatan
supranatural untuk menghancurkan benda-benda dari jarak jauh.
Stein mulai membongkar tas
kecilnya. Ia keluarkan segitiga kematian. Sekilas tampak terbuat dari lempengan
Platina. Bentuknya segitiga dengan manik-manik Batu Opal di ketiga ujungnya. Ia
mengucapkan beberapa mantra sambil meletakkan segitiga itu di depan tempatnya
bersila. Begitu menyentuh tanah, segitiga itu mengepulkan asap hitam. Stein
mengambil Kristal Piramida dan diletakkan tepat di tengah segitiga. Ia juga
mengeluarkan beberapa kumparan dan kawat metal seperti yang dipakai pesulap
David Copperfield untuk pertunjukan terbangnya, juga kawat kuningan dan 9 butir
berlian. Tidak lupa juga, 9 batang dupa wangi.
Stein memulai meditasi. Ia
mengatur napas sedemikian rupa sampai tubuhnya berasap. Dari lautan, datanglah
angin besar, mengibas-kibaskan rambutnya. Stein mengucapkan banyak sekali
mantra. Ia juga menggerakkan kedua tangannya ke atas, meruncing, menyogok langit,
lalu menekuknya ke depan, matanya masih terpejam. Telapak tangannya menyentuh
segitiga. Sinar biru keluar dari telapak tangannya. Radiasinya menghidupkan
tiga sinar merah melalui tiga Batu Opal itu. Stein menciptakan sinar laser dari
tubuhnya. Ia memperbesar kekuatannya, sinar merah itu pun menyebar ke 9 berlian
yang diatur membentuk segitiga juga. Ujungnya mengarah ke tebing pantai sisi
barat. Sinar laser itu menggumpal lalu melesat lurus menembak batu karang. Batu
karang itu hancur berantakan. Stein menghentikan meditasinya. Ia memperbaiki
letak 9 berliannya. "Terlalu ke kiri," batinnya.
Ia membuat perkiraan ulang posisi
helikopter Restov dengan bantuan radarnya. Setelah dirasa tepat, Stein
mengulang meditasinya, melesatkan sinar laser dari tempatnya duduk, lebih 1,5
kilometer jauhnya. Sinarnya pecah berantakan bertabrakan dengan kabut pagi.
Stein mempebaiki duduknya.
Menghidupkan dupa wanginya. Ia berdoa kepada Yang Maha Kuasa, secara khusuk dan
teduh. Ia tetap mengakui Tuhan, meski keajaiban supranatural yang dimilikinya
tidak membutuhkan legitimasi Ketuhanan lagi. Radar di hand phone-nya sudah
menangkap sinyal helikopter dengan kecepatan 50 mil per jam. Stein mendengar
deru mesinnya. Ia tetap berdoa. Helikopter itu semakin mendekat dari arah Timur
Laut, jaraknya tinggal 100 meter. Peluh bercucuran. Stein berkonsentrasi
habis-habisan. Tubuhnya dipenuhi asap. Heli itu sudah 50 meter dari titik
sasaran. Stein mengerutkan matanya, mulutnya berkomat-kamit mengucapkan banyak
sekali mantra. Tangannya pun mengeluarkan sinar biru, dan 9 berlian di depannya
sudah berwarna merah. Lalu angin besar datang menggoyang-goyang badan heli itu.
Terbang dalam keadaan limbung, heli itu berusaha berbelok ke arah barat. Dua
meter lagi heli itu masuk dalam lingkaran tembak Stein.
Stein mengangkat tangannya, ia
masih terpejam. Menurunkan tangannya menyentuh segitiga kematian. Terciptalah
sinar laser yang luar biasa kekuatannya. Sinar itu melesat, memburu heli yang
limbung 500 meter di depannya. Heli itu jadi seperti lampu besar berwarna
merah. Stein membuka matanya, ia melihat Restov panik. Matanya menatap tajam
mata Rostov. Heli yang dibungkus sinar laser itu pun meledak!
Terbanting-banting di batu karang, lalu menukik tajam menghempas pasir pantai
lautan Pasifik. Api mengepungnya dan asap mengepul tinggi. Ombak lautan Pasifik
yang ganas, segera memburunya, menelannya, lalu menyeretnya masuk ke tengah
samudera. Peledakan itu tidak meninggalkan bekas.
Stein menundukkan kepalanya. Dari
kedua bola matanya, keluar air mata.
"Ya Tuhan, saya membunuh
lagi…," ujarnya lirih. ***
0 comments:
Post a Comment