Post:
04/18/2005 Disimak: 286 kali
Cerpen: Abidah El Khalieq
Sumber: Republika, Edisi 04/17/2005
Ia mencintai bayang-bayang. Di setiap sudut
kegelapan, auranya bernyanyi melantunkan kesedihan. Air matanya pergi mengalir
ke celah-celah batu dan patahan kayu ranting yang berguguran. Kepada angin ia
bercerita. Kepada sunyi ia bercerita. Kepada ombak ia bercerita. Kepada dunia
ia bercerita. Tentang langit yang ingin menyatu di telapak tangannya. 1945.
1948.
Ia menghitung dengan jari-jarinya yang hitam dan
retak, hingga angka-angka terasa bagai gasing memutari kepalanya. Masih tak
diperolehnya jawaban, tahun berapakah ini? Mukanya yang gelap, tertutupi gerai
rambut, terdengar mengurai air mata. Tetapi tak ada tetes yang jatuh. Ia hanya
terduduk menangis. Mencoba dan mencoba lagi menghitung. Sekejap bayangan ombak
berusaha menggapai awan, ia mengangkat tangan di atas matanya seolah kesilauan
memandang angkasa. Laut hilang! Tiba-tiba ia menyadari hal itu. Ia yakin ada
laut di sana tadi, tetapi mengapa kini tak ada?
Dinding hitam tinggi menjulang bergerak meliuk
melahap tubuhnya. Menggulung-gulung. Jauh ke dalam lingkaran. Lalu meretas
seperti benang tercerabut dari jarum. Damai mengikuti alur jelujur, menyelisik
setiap lekukan. Padat bergelombang, dan kadang-kadang tipis seperti dataran
kolam ikan. Ayunan-ayunan berkecepatan tinggi, berputar-putar diiringi nyanyian
petir dan air, sedih dan marah, menghempas dan memeluk. Jiwanya basah. Lepas.
Berenang seperti embun di pusaran air. Terkadang menjelma buih putih yang
mendaki dan surut merayap menyatu dalam suara angin. Memutari dunia. Melihat
hamparan-hamparan kenangan membentuk permadani peristiwa.
Sebuah lukisan biru bergerak kemalu-maluan di bawah
cahaya matahari dari balik bukit-bukit dan hutan-hutan perawan berjajar harum
menyegarkan. Jalan tanah yang retak dan berkerikil, redam dalam kelengangan
tiba-tiba menguapkan kesesakan. Rakyat Aceh dari berbagai penjuru berlari
mengelilingi iringan mobil kenegaraan yang berhenti tiba-tiba. Nampak ayah
bergabung dalam kerumunan namun kemudian kembali ke rumah sambil berteriak
memanggil gadis kecilnya dan menyuruhnya mengambilkan gelas karena Sang
Presiden ingin minum air matang dingin sebelum berpidato, sementara seorang
polisi negara yang kebetulan lewat hanya membawa veldvles bekal minumnya.
Ia segera bergegas dengan riang gembira membawa
sebuah gelas bersih. Matanya mengintip pada cercah senyum wajah itu yang kini
mengarah kepada dirinya. Ia beringsut dengan wajah memerah dan gugup,
memilin-milin kerudungnya hingga melayang terjatuh ke tanah. Wajahnya semakin
merah. Tanpa sepatah kata, diserahkannya gelas kosong itu pada ayah dengan mata
mencoba bersembunyi.
1953.
Kelopak-kelopak malam merekah dalam gemerisik kesunyian.
Di kerumunan angin yang melengking, suara-suara berpendar dalam kegelapan,
mengaliri arus mimpi yang berdesir. Menjulur ke pantai, berlari memasuki
hutan-hutan dan berdesahan napas di rerimbunan semak. Ia terengah-engah,
mengusap keringat di wajahnya. Sinar bulan jatuh melalui celah ke tengah
telapak tangan yang basah. Basahan itu berwarna darah. Matanya membeliak.
Meraba seluruh basah yang mengaliri tubuh. Pakaiannya koyak-koyak dalam
linangan darah pekat dan segar. Rasa perih merobek-robek pipi, dan kemaluan. Ia
terengah-engah. Terus terengah-engah. Tak mampu mengusung jeritan. Lantas
tersentak dan membuka mata. Gelap. Namun dirasakannya hamparan nyaman kain
ranjang dan selimut sarung.
Rasa aman kembali mengalun di dunia yang
meninggalkan khayalinya. Lambat dan demikian perlahan labirinnya termasuki
suara-suara nyata. Suara ayah, dan beberapa pria, penuh amarah dengan nada yang
ditekan-tekan karena khawatir tertampung belahan malam. Setiap kata yang
bergulir seperti mainan ombak di waktu subuh, mendesak dan menghilang. Ia
mendengar seseorang sedikit berteriak tentang Dakota, hingga dibenaknya
terlintas bayangan pesawat itu suatu masa melintasi awan-awan di atas rumahnya,
dan Presiden yang tampan itu melambai-lambaikan tangan kepadanya.
Namun khayalan itu cepat terlerai lengking amarah
salah seorang hingga suasana sedikit riuh karena yang lainnya berusaha
menyuruhnya menurunkan intonasi. Orang itu terus berteriak-teriak, hingga ayah
terpaksa membentaknya, dan masing-masing bertengkar dengan kata-kata yang jelas
terdengar. Lalu seseorang mendiamkan atas nama Yang Mulia Beureuh. Suasana
menghilang, kembali dominasi hembusan sepoi-sepoi dan bisik-bisik pepohonan. Ia
pun mulai menguap dan membaringkan geliat kantuk. Udara dingin merayapi
selimut, membuat kedua kakinya menekuk rapat sebatas dada, dan kedua lengannya
saling memeluk rapat. Pasangan-pasangan bulu mata jatuh bersentuhan hampir
memagut, ketika sebuah sentakan kaki menggetarkan lantai papan, dengan suaranya
yang tertekan penuh amarah mengikrarkan pembunuhan. Ia terlompat. Bangun. Dan
tak ingin terpejam lagi.
Mereka akan membunuh-membunuh siapa? Bukankah ayah
seorang alim? Juga teman-temannya? Jiwa remajanya, yang terkungkung tradisi,
perlahan mengepak-ngepak sayap di gelimang resah, menanti-nanti rasa tahu
melepuhkan rahasia. Ia tidak buta, tentu saja, bahwa perang pecah lagi di tanah
pijaknya, bukan dengan kaum asing, melainkan dengan sesama bangsa Melayu,
Indonesia Raya, yang baru membebaskan napas dari cengkraman kolonial bangsa
sipit dan bule. Tetapi ia, seperti juga mungkin teman-teman remaja lain,
berusaha meninggalkan kepahitan-kepahitan yang tersisa, dengan uraian
angan-angan masa depan bercahaya.
Sejak Presiden Jawa yang tampan itu memasuki
desanya, ia mulai tenggelam dalam lamunan-lamunan yang jauh. Dan dari
obrolan-obrolan ayah dengan para tamunya di setiap petang ia mengetahui
sedikit-sedikit tentang perkembangan negeri. Kesulitan-kesulitan pemerintah
dalam membangun perekonomian pasca penjajahan, dan pemberontakan-pemberontakan
yang menjalar di Maluku, Sulawesi, Jawa Barat, Madiun, dan akhirnya-buminya
sendiri di bawah wibawa Gubernur Tengku Daud Beureuh. Tetapi ia tak pernah
menyangka, dan hingga kini tak ingin percaya, bahwa ayah ternyata ada dalam
bagian itu. Turut memecah gelas menjadi beling. Lantas jantung siapakah yang
akan mereka hunjam dengan pecahan tajam itu?
Serasa dadanyalah yang berdarah tertikam kaca gelas
yang pernah diulurnya dengan gemetar dan malu-malu. Ia ingin berbaring dan
kembali bermimpi, melarikan kenyataan-kenyataan yang berpencaran penuh murka,
ke sisi gelap ketenangan. Tetapi kata itu-pembunuhan-menombak kesadarannya
tepat di atas pasir panas yang membuat geloranya menggeliat tanpa ronta. Ia
kenang wajah itu dalam beribu untai kata yang tak tertulis. Ketika
teman-temannya membanggakan perhiasan-perhiasannya masuk sumbangan pembelian
pesawat Seulawah, dan dengan demikian mereka merasa seolah-olah memiliki
pesawat itu dengan memanggil namanya yang terdengar modern, Dakota, ia diam
menyimpan aksara yang diejanya dalam hati.
Setiap hari, hatinya tertulis rindu dan harapan
akan berlari kembali, menghampiri wajah itu dan mengulurkan rangkaian-rangkaian
puisi yang terjalin di antara kertas-kertas sejarah. Ia ingin, camkannya dalam
kalbu, suatu hari menikmati kesempatan seperti gadis-gadis Yogya yang Tuan
Presiden berikan kursus politik. Mengetahui dengan cerdas tentang dunia yang
selama ini tertutup jendela adat. Dan berbicara satu sama lain, tanpa saling
membedakan derajat kedudukan. Di luar gemerlap itu, yang paling sederhana, ia
mengharap, sedikitnya dirinya bisa membaca dan menulis huruf latin. Menulis di
atas kertas terang dengan tinta-tinta hitam memancarkan kilau setiap huruf.
Laut perlahan surut. Ia mulai melihat alam tertawa
mengantarkan tubuhnya yang hancur di sela-sela karang. Ia dekati tubuh itu dan
merabanya. Hanya udara yang terasa. Tangannya tak bisa menyentuh sama sekali
setiap bagian tubuh itu bahkan kulit arinya. Ia melihat jelas bumi nanggro
bergoyang, tetapi dirinya tak merasakan pengaruh yang mengguncang itu. Alam
telah pucat. Menjadi kabut tebal yang melapisi hutan seperti di waktu pagi.
Teringat akan hutan, ia pun terbang ke sana, bersama deru gemuruh laut yang
berjuang menggapai. Ditengoknya sebentar badai yang menjerit-jerit itu;
tubuhnya terlihat tergulung kembali dan terhempas menghilang. Ia ingin
menangis, tapi kesedihan tak memanggil. Maka diteruskannya dirinya melayang
melewati jilatan-jilatan ombak dan dunia yang tumpang tindih. Ada
jeritan-jeritan seperti semasa perang tapi ia tak lagi peduli. Sepanjang masa
memanglah perang. Sepanjang waktu memanglah kiamat. Kini yang ingin
diketahuinya adalah bagian lain kegelapan tempat jiwanya menorehkan puisi yang
tersembunyi hampir sepanjang usia.
Hutan itu ternyata telah pucat juga. Berserakan seperti
tubuhnya tadi. Daun-daun masih merentangkan napas, ia mencoba menjelajah setiap
celah, mencari-cari di mana kegelapan tertinggal membungkus kenangannya.
Kenangannya! Ia meraung-raung. Di mana kenangannya dalam kegelapan yang hilang?
Cahaya pucat menyembur di setiap lekukan, memperlihatkan pintu-pintu tak
bertangkai dan takkan mungkin bisa dibuka. Lalu dimanakah kehidupan setelah
malam itu? Malam yang mengerikan itu, ketika ia terjaga dari mimpi dan
menguping pembicaraan ayah dan teman-temannya? Dimanakah dia dan dimanakah
mereka setelah itu?
Malam. Malam. Pada malam ada kegelapan. Pada
kegelapan ada yang terbaca. Apakah malam akan tiba?
Ia menunggu. Memandang kepada langit yang terbelah
cumbuan laut dan di antaranya sedikit kegelapan mempermainkan awan. Sekejap
bayangannya telah berada di sana, berlari dalam kehidupan, meninggalkan
rumahnya tanpa sepengetahuan kelompok ayah yang sedang menyusun rencana, dan
akhirnya, sebuah tangan menyergap tubuhnya. Membawa masuk ke dalam hutan.
Di sana, di sela-sela kegelapan yang terpecah api,
ia lepaskan segala kontrol. Ia mengira si penangkap itu dan sebagian yang lain,
adalah pasukan penyelamat presiden. Mereka berterimakasih pada informasinya,
juga pada kemolekan tubuh remajanya. Lalu mereka meninggalkannya tersesat
seorang diri. Berdarah-darah, menguntai luka sepanjang ingatan, tak ingin
melihat pagi, dan tak ingin melihat jenazah ayah. Hanya menghitung-hitung
hingga kapan perang berakhir, dan ia bisa menulis di atas cahaya.
Sanggar Hati, April 2005
0 comments:
Post a Comment