Sunday, 22 June 2014

Surat dari Kegelapan



Post:  04/18/2005 Disimak: 286 kali
Cerpen: Abidah El Khalieq
Sumber: Republika,  Edisi 04/17/2005

Ia mencintai bayang-bayang. Di setiap sudut kegelapan, auranya bernyanyi melantunkan kesedihan. Air matanya pergi mengalir ke celah-celah batu dan patahan kayu ranting yang berguguran. Kepada angin ia bercerita. Kepada sunyi ia bercerita. Kepada ombak ia bercerita. Kepada dunia ia bercerita. Tentang langit yang ingin menyatu di telapak tangannya. 1945.
1948.

Ia menghitung dengan jari-jarinya yang hitam dan retak, hingga angka-angka terasa bagai gasing memutari kepalanya. Masih tak diperolehnya jawaban, tahun berapakah ini? Mukanya yang gelap, tertutupi gerai rambut, terdengar mengurai air mata. Tetapi tak ada tetes yang jatuh. Ia hanya terduduk menangis. Mencoba dan mencoba lagi menghitung. Sekejap bayangan ombak berusaha menggapai awan, ia mengangkat tangan di atas matanya seolah kesilauan memandang angkasa. Laut hilang! Tiba-tiba ia menyadari hal itu. Ia yakin ada laut di sana tadi, tetapi mengapa kini tak ada?


Dinding hitam tinggi menjulang bergerak meliuk melahap tubuhnya. Menggulung-gulung. Jauh ke dalam lingkaran. Lalu meretas seperti benang tercerabut dari jarum. Damai mengikuti alur jelujur, menyelisik setiap lekukan. Padat bergelombang, dan kadang-kadang tipis seperti dataran kolam ikan. Ayunan-ayunan berkecepatan tinggi, berputar-putar diiringi nyanyian petir dan air, sedih dan marah, menghempas dan memeluk. Jiwanya basah. Lepas. Berenang seperti embun di pusaran air. Terkadang menjelma buih putih yang mendaki dan surut merayap menyatu dalam suara angin. Memutari dunia. Melihat hamparan-hamparan kenangan membentuk permadani peristiwa.

Sebuah lukisan biru bergerak kemalu-maluan di bawah cahaya matahari dari balik bukit-bukit dan hutan-hutan perawan berjajar harum menyegarkan. Jalan tanah yang retak dan berkerikil, redam dalam kelengangan tiba-tiba menguapkan kesesakan. Rakyat Aceh dari berbagai penjuru berlari mengelilingi iringan mobil kenegaraan yang berhenti tiba-tiba. Nampak ayah bergabung dalam kerumunan namun kemudian kembali ke rumah sambil berteriak memanggil gadis kecilnya dan menyuruhnya mengambilkan gelas karena Sang Presiden ingin minum air matang dingin sebelum berpidato, sementara seorang polisi negara yang kebetulan lewat hanya membawa veldvles bekal minumnya.

Ia segera bergegas dengan riang gembira membawa sebuah gelas bersih. Matanya mengintip pada cercah senyum wajah itu yang kini mengarah kepada dirinya. Ia beringsut dengan wajah memerah dan gugup, memilin-milin kerudungnya hingga melayang terjatuh ke tanah. Wajahnya semakin merah. Tanpa sepatah kata, diserahkannya gelas kosong itu pada ayah dengan mata mencoba bersembunyi.
1953.

Kelopak-kelopak malam merekah dalam gemerisik kesunyian. Di kerumunan angin yang melengking, suara-suara berpendar dalam kegelapan, mengaliri arus mimpi yang berdesir. Menjulur ke pantai, berlari memasuki hutan-hutan dan berdesahan napas di rerimbunan semak. Ia terengah-engah, mengusap keringat di wajahnya. Sinar bulan jatuh melalui celah ke tengah telapak tangan yang basah. Basahan itu berwarna darah. Matanya membeliak. Meraba seluruh basah yang mengaliri tubuh. Pakaiannya koyak-koyak dalam linangan darah pekat dan segar. Rasa perih merobek-robek pipi, dan kemaluan. Ia terengah-engah. Terus terengah-engah. Tak mampu mengusung jeritan. Lantas tersentak dan membuka mata. Gelap. Namun dirasakannya hamparan nyaman kain ranjang dan selimut sarung.

Rasa aman kembali mengalun di dunia yang meninggalkan khayalinya. Lambat dan demikian perlahan labirinnya termasuki suara-suara nyata. Suara ayah, dan beberapa pria, penuh amarah dengan nada yang ditekan-tekan karena khawatir tertampung belahan malam. Setiap kata yang bergulir seperti mainan ombak di waktu subuh, mendesak dan menghilang. Ia mendengar seseorang sedikit berteriak tentang Dakota, hingga dibenaknya terlintas bayangan pesawat itu suatu masa melintasi awan-awan di atas rumahnya, dan Presiden yang tampan itu melambai-lambaikan tangan kepadanya.

Namun khayalan itu cepat terlerai lengking amarah salah seorang hingga suasana sedikit riuh karena yang lainnya berusaha menyuruhnya menurunkan intonasi. Orang itu terus berteriak-teriak, hingga ayah terpaksa membentaknya, dan masing-masing bertengkar dengan kata-kata yang jelas terdengar. Lalu seseorang mendiamkan atas nama Yang Mulia Beureuh. Suasana menghilang, kembali dominasi hembusan sepoi-sepoi dan bisik-bisik pepohonan. Ia pun mulai menguap dan membaringkan geliat kantuk. Udara dingin merayapi selimut, membuat kedua kakinya menekuk rapat sebatas dada, dan kedua lengannya saling memeluk rapat. Pasangan-pasangan bulu mata jatuh bersentuhan hampir memagut, ketika sebuah sentakan kaki menggetarkan lantai papan, dengan suaranya yang tertekan penuh amarah mengikrarkan pembunuhan. Ia terlompat. Bangun. Dan tak ingin terpejam lagi.

Mereka akan membunuh-membunuh siapa? Bukankah ayah seorang alim? Juga teman-temannya? Jiwa remajanya, yang terkungkung tradisi, perlahan mengepak-ngepak sayap di gelimang resah, menanti-nanti rasa tahu melepuhkan rahasia. Ia tidak buta, tentu saja, bahwa perang pecah lagi di tanah pijaknya, bukan dengan kaum asing, melainkan dengan sesama bangsa Melayu, Indonesia Raya, yang baru membebaskan napas dari cengkraman kolonial bangsa sipit dan bule. Tetapi ia, seperti juga mungkin teman-teman remaja lain, berusaha meninggalkan kepahitan-kepahitan yang tersisa, dengan uraian angan-angan masa depan bercahaya.

Sejak Presiden Jawa yang tampan itu memasuki desanya, ia mulai tenggelam dalam lamunan-lamunan yang jauh. Dan dari obrolan-obrolan ayah dengan para tamunya di setiap petang ia mengetahui sedikit-sedikit tentang perkembangan negeri. Kesulitan-kesulitan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca penjajahan, dan pemberontakan-pemberontakan yang menjalar di Maluku, Sulawesi, Jawa Barat, Madiun, dan akhirnya-buminya sendiri di bawah wibawa Gubernur Tengku Daud Beureuh. Tetapi ia tak pernah menyangka, dan hingga kini tak ingin percaya, bahwa ayah ternyata ada dalam bagian itu. Turut memecah gelas menjadi beling. Lantas jantung siapakah yang akan mereka hunjam dengan pecahan tajam itu?

Serasa dadanyalah yang berdarah tertikam kaca gelas yang pernah diulurnya dengan gemetar dan malu-malu. Ia ingin berbaring dan kembali bermimpi, melarikan kenyataan-kenyataan yang berpencaran penuh murka, ke sisi gelap ketenangan. Tetapi kata itu-pembunuhan-menombak kesadarannya tepat di atas pasir panas yang membuat geloranya menggeliat tanpa ronta. Ia kenang wajah itu dalam beribu untai kata yang tak tertulis. Ketika teman-temannya membanggakan perhiasan-perhiasannya masuk sumbangan pembelian pesawat Seulawah, dan dengan demikian mereka merasa seolah-olah memiliki pesawat itu dengan memanggil namanya yang terdengar modern, Dakota, ia diam menyimpan aksara yang diejanya dalam hati.

Setiap hari, hatinya tertulis rindu dan harapan akan berlari kembali, menghampiri wajah itu dan mengulurkan rangkaian-rangkaian puisi yang terjalin di antara kertas-kertas sejarah. Ia ingin, camkannya dalam kalbu, suatu hari menikmati kesempatan seperti gadis-gadis Yogya yang Tuan Presiden berikan kursus politik. Mengetahui dengan cerdas tentang dunia yang selama ini tertutup jendela adat. Dan berbicara satu sama lain, tanpa saling membedakan derajat kedudukan. Di luar gemerlap itu, yang paling sederhana, ia mengharap, sedikitnya dirinya bisa membaca dan menulis huruf latin. Menulis di atas kertas terang dengan tinta-tinta hitam memancarkan kilau setiap huruf.

Laut perlahan surut. Ia mulai melihat alam tertawa mengantarkan tubuhnya yang hancur di sela-sela karang. Ia dekati tubuh itu dan merabanya. Hanya udara yang terasa. Tangannya tak bisa menyentuh sama sekali setiap bagian tubuh itu bahkan kulit arinya. Ia melihat jelas bumi nanggro bergoyang, tetapi dirinya tak merasakan pengaruh yang mengguncang itu. Alam telah pucat. Menjadi kabut tebal yang melapisi hutan seperti di waktu pagi. Teringat akan hutan, ia pun terbang ke sana, bersama deru gemuruh laut yang berjuang menggapai. Ditengoknya sebentar badai yang menjerit-jerit itu; tubuhnya terlihat tergulung kembali dan terhempas menghilang. Ia ingin menangis, tapi kesedihan tak memanggil. Maka diteruskannya dirinya melayang melewati jilatan-jilatan ombak dan dunia yang tumpang tindih. Ada jeritan-jeritan seperti semasa perang tapi ia tak lagi peduli. Sepanjang masa memanglah perang. Sepanjang waktu memanglah kiamat. Kini yang ingin diketahuinya adalah bagian lain kegelapan tempat jiwanya menorehkan puisi yang tersembunyi hampir sepanjang usia.

Hutan itu ternyata telah pucat juga. Berserakan seperti tubuhnya tadi. Daun-daun masih merentangkan napas, ia mencoba menjelajah setiap celah, mencari-cari di mana kegelapan tertinggal membungkus kenangannya. Kenangannya! Ia meraung-raung. Di mana kenangannya dalam kegelapan yang hilang? Cahaya pucat menyembur di setiap lekukan, memperlihatkan pintu-pintu tak bertangkai dan takkan mungkin bisa dibuka. Lalu dimanakah kehidupan setelah malam itu? Malam yang mengerikan itu, ketika ia terjaga dari mimpi dan menguping pembicaraan ayah dan teman-temannya? Dimanakah dia dan dimanakah mereka setelah itu?
Malam. Malam. Pada malam ada kegelapan. Pada kegelapan ada yang terbaca. Apakah malam akan tiba?

Ia menunggu. Memandang kepada langit yang terbelah cumbuan laut dan di antaranya sedikit kegelapan mempermainkan awan. Sekejap bayangannya telah berada di sana, berlari dalam kehidupan, meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan kelompok ayah yang sedang menyusun rencana, dan akhirnya, sebuah tangan menyergap tubuhnya. Membawa masuk ke dalam hutan.

Di sana, di sela-sela kegelapan yang terpecah api, ia lepaskan segala kontrol. Ia mengira si penangkap itu dan sebagian yang lain, adalah pasukan penyelamat presiden. Mereka berterimakasih pada informasinya, juga pada kemolekan tubuh remajanya. Lalu mereka meninggalkannya tersesat seorang diri. Berdarah-darah, menguntai luka sepanjang ingatan, tak ingin melihat pagi, dan tak ingin melihat jenazah ayah. Hanya menghitung-hitung hingga kapan perang berakhir, dan ia bisa menulis di atas cahaya.
Sanggar Hati, April 2005

0 comments:

Post a Comment