Sunday, 22 June 2014

Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya Penumbuhan Sinergi Apresiasi



Minggu, 17 Juni 2001
Oleh Agus Noor


PERSOALAN apreasiasi sastra yang berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah ternyata menjadi faktor krusial yang mesti segera dibenahi. Apreasiasi sebagai "titik awal" siswa mencintai dan (mencoba) memahami karya sastra, ternyata sering tidak tertumbuhkan karena pengajaran sastra yang tidak membuka ruang interpretasi dan dialog, tetapi lebih menekankan pada penghapalan nama-nama sastrawan, periodisasi dan sederet judul karya sastra. Siswa (nyaris) tidak memiliki kesempatan untuk mendiskusikan teks-teks sastra "secara langsung" untuk menemukan penghayatan dan pemikiran mereka sendiri berkaitan dengan karya-karya itu. Terlebih ketika ketiadaan buku sastra di perpustakaan sekolah, membuat siswa cenderung mengenal karya sastra melalui potongan atau kutipan teks, atau rangkuman sinopsis roman yang cenderung simplistis.

Fenomena "umum" semacam itulah yang banyak muncul dalam acara Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), yang saat ini tengah berlangsung (2 April - 6 Agustus 2001), digelar di 48 sekolah (SMU, MAN, SMK dan Pondok Pesantren) di 36 kota 9 propinsi. Acara yang diselenggarakan Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison-Kakilangit dengan dukungan The Ford Foundation. Itu melibatkan lebih dari 60 sastrawan. Tak kurang dari Rendra, Sutardji Calzoum Bachry, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Leon Agusta, Slamet Sukirnato, Afrizal Malna, sampai mereka yang relatif berusia lebih muda seperti Jamal D Rahman, Ayu Utami, Nenden Lilis A, Isbedy Stiawan ZR, Joni Ariadinata dan tak ketinggalan the rising star Dewi "Dee" Lestari, berdialog dengan para siswa yang menyambut dengan antusias kehadiran langsung para sastrawan itu.
Sarana dan pengajaran
Antusiasme para siswa itu memperlihatkan betapa mereka sesungguhnya punya minat untuk membaca karya sastra, meski pada sisi lain juga memperlihatkan histeria mereka kepada "para idola" yang selama ini hanya mereka kenal nama-namanya di buku pelajaran. Setidaknya bila itu ditilik dari dua kecenderungan pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam forum diskusi.
Pertama, pertanyaan yang lebih merupakan uneg-uneg para siswa seputar pelajaran sastra yang tidak didukung buku-buku penunjang yang memadai dan lebih-lebih kecenderungan pengajaran sastra yang "formalitas" karena terbebani target kurikulum. Di sini, minat siswa kepada sastra terbentur pada buku-buku sastra di sekolah, dan lebih-lebih distribusi buku (sastra) yang hanya beredar di kota-kota besar.
Minat itu kian terpendam, ketika di kelas ia menghadapi pengajaran sastra yang cenderung "formal", dimana guru semata-mata mengacu pada "buku pelajaran" sehingga karya sastra hadir sebagai sebuah penafsiran tunggal yang absolut, yang meniadakan upaya penafsiran ulang oleh para siswa. Ada peristiwa menarik: di sebuah SMU, cerpenis Joni Ariadinata sempat melontarkan pernyataan kalau Idrus adalah "bapak cerpen Indonesia". Beberapa guru (sastra?) yang duduk di belakang dengan cepat memperlihatkan reaksi menolak, menganggap pernyataan Joni salah dan menyesatkan pemahaman para siswa hanya karena di buku pelajaran disebutkan kalau Idrus adalah "bapak prosa Indonesia".
Hal kedua, berkaitan dengan situasi di atas, kedatangan para sastrawan di sekolah-sekolah bisa membuka sedikit apresiasi itu. Siswa jadi bisa bertanya secara langsung karya-karya yang selintasan mereka pelajari. Maka pada yang kedua ini pertanyaan cenderung mengarah pada proses kreatif dan maksud atau pesan sastrawan yang terkandung dalam karya sastra. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachry, menjadi nama-nama yang populer dan menjadi rujukan pertanyaan. Inilah yang saya singgung di depan sebagai histeria bertemu dengan "para idola". Satu hal yang bisa dianggap sebagai gambaran betapa nama-nama sastrawan itu memang sudah akrab di kalangan siswa, sebagaimana nama-nama Arman Maulana, Iwan Fals, Adam Jordan, atau Andre Hehanusa.
"Pertemuan" langsung semacam itu, bisa membangkitkan (kembali) minat mereka pada sastra. Siswa kemudian memperoleh gambaran pengalaman bersastra yang menjadi latar belakang penulisan karya-karya mereka, juga kemungkinan pengajaran sastra yang lebih aktif dan partisipatif. Karena dalam forum-forum diskusi itu berkembang berbagai kemungkinan yang bisa dimaknai melalui dan dalam karya sastra. Setidaknya, melalui diskusi sastrawan dan siswa itu, para guru juga memperoleh bahan untuk dikembangkan dalam kelas.
Akan tetapi, dalam suasana "jumpa idola" semacam itu, bukannya tanpa risiko. Ialah apabila siswa cenderung menerima begitu saja apa yang dinyatakan dan dijelaskan oleh sastrawan seputar karya-karya mereka dan juga situasi kesusastraan pada umumnya: kedudukan sastrawan dalam masyarakat, peran dan komitmen sosial sastrawan, citra urakan dan pemberontak, dlsb. Hal lain, ketika pernyataan itu telah diterima begitu saja dan siswa tidak melakukan afirmasi terhadap karya-karya yang dihasilkannya, maka pernyataan sastrawan seputar karya sastra mereka (justru!) menutup kemungkinan siswa untuk menafsirkan karya itu secara berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Lebih jauh, bisa jadi, malah siswa merasa "cukup" mendengar penjelasan sastrawan, ketimbang membaca lebih jauh karya-karya mereka. Dan ini, bisa berkait dengan ketaktersediaan buku-buku sastra bersangkutan. Kembali, inilah lingkaran setan yang tak gampang memecahkannya.
Dari Fansuri ke Handayani
Upaya mengatasi lingkaran setan itu ialah dengan menerbitkan buku Dari Fansuri ke Handayani (DFkH), yang disiapkan untuk "menunjang" kegiatan SBSB itu. Buku ini disusun oleh Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sardjono, Joni Ariadinata, Jamal D Rahman. Cecep Syamsul Hari, Moh Wan Anwar. Penyebutan semua nama editor itu terasa perlu, untuk menunjukkan betapa buku yang dimaksudkan sebagai himpunan karya sastra Indonesia yang merentang sepanjang empat abad, disusun dengan "sungguh-sungguh". Artinya bukan kerja seorang dua. Penyebutan itu, juga berkaitan dengan "tanggung jawab" editor yang telah berjerih payah selama sebulan memeras perkembangan sastra Indonesia semenjak abad ke-17 hingga abad ke-21, yang dengan begitu, sebagaimana ditulis di sampul belakang, "buku ini meliput seluruh angkatan dalam kesusastraan kita." Tak kurang sebanyak 147 sastrawan (79 penyair, 41 cerpenis, 21 novelis dan 6 penulis naskah drama) terangkum di buku ini. Sebagai penunjang kegiatan SBSB, buku DFkH ini dibagigratiskan ke sekolah-sekolah untuk memberi gambaran kepada para siswa perihal perkembangan kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, kelangkaan buku sastra, sedikit banyak telah coba diatasi. Tapi, di sinilah persoalan muncul. Sebagai buku yang disebarkan ke sekolah, DFkH sangat potensial "mempengaruhi" pemahaman objektif siswa perihal sastra kita: bahwa inilah para sastrawan yang menghiasi langit kesusastraan kita.
Bagaimana dengan nama-nama yang tak ada dalam buku itu? Boleh jadi siswa bertanya, kenapa Sultan Takdir Alisyahbana, pengarang Layar Terkembang dan tokoh Pujangga Baru, yang namanya disebut di buku pelajaran ternyata tidak ada dalam buku DFkH? Adakah Takdir bukan termasuk sastrawan dalam empat abad perkembangan sastra Indonesia itu? Tak ada penjelasan tentang itu oleh editor. Bagaimana pula dengan nama seperti Sitor Situmorang, yang puisinya Malam Lebaran sudah cukup dikenal dalam banyak buku pelajaran SMU? Lalu novel Burung-burung Manyar YB. Mangunwijaya, yang nyaris dipujikan oleh semua kritikus sastra kita, kenapa tak ternukilkan dalam buku ini? B. Soelarto, pengarang drama yang lakonnya Domba-domba Revolusi sangat sering dipentaskan saat perayaan kemerdekaan atau hari pahlawan oleh siswa-siswa, tak juga tercatat? Bagaimana pula dengan Isma Sawitri, Wing Kardjo, Remi Silado, sang penggagas puisi mbeling yang tentu tak bisa diabaikan begitu saja jejak-pengaruhnya dalam kesusastraan kita, sampai yang lebih muda semacam Imam Budi Santosa, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge, Jujur Prananto atau Yanusa Nugroho? Tidakkah mereka juga bagian dari-meminjam istilah Taufiq Ismail-"pelangi di langit kesusastraan kita"? Yang bisa terjadi, betapa banyak mereka yang "mengorbankan" seluruh hidupnya untuk kesusastraan terabaikan begitu saja, sementara banyak yang baru me-nulis satu dua karya, langsung memperoleh "tempat utama".
Pertanyaan spekulatif semacam itu mungkin tak akan muncul apabila editor melalui pengantarnya memberikan penjelasan yang memadai. Itu semua, di samping sebagai pertanggungjawaban atas pemilihan nama-nama dalam buku itu, juga sebagai wujud tanggung jawab editor menyangkut "fakta historis" yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Sinergi apresiasi
Semua itu, boleh jadi risiko yang sudah dihitung dalam penyelenggaraan SBSB dan penerbitan buku DFkH. Di sinilah, upaya-upaya Taufiq Ismail dan Rendra yang terus gigih mengadakan pendekatan "struktural-birokratis" dalam upaya memecah kebuntuan apresiasi itu menjadi menarik. Karena, di samping SBSB yang sudah berlangsung dalam dua tahun ini dan penerbitan buku DFkH, juga secara berkala diadakan semacam pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) bagi guru-guru yang telah diikuti lebih dari 1000 guru bahasa dan sastra Indonesia. Sementara SBSB yang telah berlangsung dua tahun terakhir ini, lebih kurang diikuti 48.000 siswa. Apabila seperempat dari jumlah itu kemudian tertumbuhkan apresiasinya, dan menjadi pembaca sastra yang "baik", pastilah terbangun masyarakat kesusastraan yang lebih kondunsif: kita tak lagi mengeluh perihal keterpencilan sastra, atau jumlah eksemplar buku sastra yang seret di pasaran. Ya, semoga...
Untuk menumbuhkan itu semua, tentulah dituntut penyelenggaraan pelbagai program yang kian terarah dan terfokus bagi tumbuhnya apresiasi siswa (atau masyarakat pada umumnya) terhadap karya sastra Indonesia. Tentu, semua itu mesti diupayakan dengan pelan, tetapi intens dan sinergis, yang melibatkan siswa dan guru untuk lebih terbuka menerima karya astra sebagai karya yang mengandung banyak kemungkinan. Di sinilah, peran sastrawan sendiri menjadi krusial: bagaimana ia juga mesti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar di sekolah. Be-berapa kasus yang memperlihatkan "ketidak-menerimaan" guru atas beberapa sikap dan cara penyampaian sastrawan "di depan kelas", menjadi penting untuk dicarikan solusinya. Karena bagaimanapun, kehadiran sastrawan di sekolah menjadi tidak bebas dari "aturan main" sekolah bersangkutan. Jangan sampai ketidaksukaan terhadap "cara" sastrawan itu, mengakibatkan ketidaksukaan pada sastra.
Karena dari sanalah, dari keharmonisan hubungan yang timbal balik antara sastrawan guru dan siswa, sesungguhnya sinergi apresiasi itu bisa mulai dikembangkan. Bukan dengan pencitraan bahwa sastrawan adalah segala-galanya dan sastra adalah yang terpenting dalam hidup, tetapi dengan kesadaran betapa sastra, sebagaimana ilmu lainnya, sama kedudukannya dan sama pentingnya untuk bisa memperkaya penghayatan kita pada hidup. Untuk membangun sinergi apresiasi itu, tentu tidak bisa diselesaikan dengan spirit Sangkuriang atau Bandung Bondowoso ketika hendak menyelesaikan "proyek besar" mereka...
* Agus Noor, cerpenis, tinggal di Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment