Minggu, 17
Juni 2001
Oleh Agus Noor
PERSOALAN apreasiasi sastra yang berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah ternyata menjadi faktor krusial yang mesti segera dibenahi. Apreasiasi sebagai "titik awal" siswa mencintai dan (mencoba) memahami karya sastra, ternyata sering tidak tertumbuhkan karena pengajaran sastra yang tidak membuka ruang interpretasi dan dialog, tetapi lebih menekankan pada penghapalan nama-nama sastrawan, periodisasi dan sederet judul karya sastra. Siswa (nyaris) tidak memiliki kesempatan untuk mendiskusikan teks-teks sastra "secara langsung" untuk menemukan penghayatan dan pemikiran mereka sendiri berkaitan dengan karya-karya itu. Terlebih ketika ketiadaan buku sastra di perpustakaan sekolah, membuat siswa cenderung mengenal karya sastra melalui potongan atau kutipan teks, atau rangkuman sinopsis roman yang cenderung simplistis.
Fenomena "umum" semacam itulah yang banyak muncul dalam
acara Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), yang saat ini tengah
berlangsung (2 April - 6 Agustus 2001), digelar di 48 sekolah (SMU, MAN, SMK
dan Pondok Pesantren) di 36 kota
9 propinsi. Acara yang diselenggarakan Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison-Kakilangit
dengan dukungan The Ford Foundation. Itu melibatkan lebih dari 60 sastrawan.
Tak kurang dari Rendra, Sutardji Calzoum Bachry, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar,
Leon Agusta, Slamet Sukirnato, Afrizal Malna, sampai mereka yang relatif
berusia lebih muda seperti Jamal D Rahman, Ayu Utami, Nenden Lilis A, Isbedy
Stiawan ZR, Joni Ariadinata dan tak ketinggalan the rising star Dewi
"Dee" Lestari, berdialog dengan para siswa yang menyambut dengan
antusias kehadiran langsung para sastrawan itu.
Sarana dan pengajaran
Antusiasme para siswa itu memperlihatkan betapa mereka
sesungguhnya punya minat untuk membaca karya sastra, meski pada sisi lain juga
memperlihatkan histeria mereka kepada "para idola" yang selama ini
hanya mereka kenal nama-namanya di buku pelajaran. Setidaknya bila itu ditilik
dari dua kecenderungan pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam forum
diskusi.
Pertama, pertanyaan yang lebih merupakan uneg-uneg
para siswa seputar pelajaran sastra yang tidak didukung buku-buku penunjang
yang memadai dan lebih-lebih kecenderungan pengajaran sastra yang
"formalitas" karena terbebani target kurikulum. Di sini, minat siswa
kepada sastra terbentur pada buku-buku sastra di sekolah, dan lebih-lebih
distribusi buku (sastra) yang hanya beredar di kota-kota besar.
Minat itu kian terpendam, ketika di kelas ia menghadapi pengajaran
sastra yang cenderung "formal", dimana guru semata-mata mengacu pada
"buku pelajaran" sehingga karya sastra hadir sebagai sebuah
penafsiran tunggal yang absolut, yang meniadakan upaya penafsiran ulang oleh
para siswa. Ada peristiwa menarik: di sebuah
SMU, cerpenis Joni Ariadinata sempat melontarkan pernyataan kalau Idrus adalah
"bapak cerpen Indonesia".
Beberapa guru (sastra?) yang duduk di belakang dengan cepat memperlihatkan
reaksi menolak, menganggap pernyataan Joni salah dan menyesatkan pemahaman para
siswa hanya karena di buku pelajaran disebutkan kalau Idrus adalah "bapak
prosa Indonesia".
Hal kedua, berkaitan dengan situasi di atas, kedatangan para
sastrawan di sekolah-sekolah bisa membuka sedikit apresiasi itu. Siswa jadi
bisa bertanya secara langsung karya-karya yang selintasan mereka pelajari. Maka
pada yang kedua ini pertanyaan cenderung mengarah pada proses kreatif dan
maksud atau pesan sastrawan yang terkandung dalam karya sastra. Rendra, Emha
Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachry, menjadi nama-nama yang
populer dan menjadi rujukan pertanyaan. Inilah yang saya singgung di depan
sebagai histeria bertemu dengan "para idola". Satu hal yang bisa
dianggap sebagai gambaran betapa nama-nama sastrawan itu memang sudah akrab di
kalangan siswa, sebagaimana nama-nama Arman Maulana, Iwan Fals, Adam Jordan,
atau Andre Hehanusa.
"Pertemuan"
langsung semacam itu, bisa membangkitkan (kembali) minat mereka pada sastra.
Siswa kemudian memperoleh gambaran pengalaman bersastra yang menjadi latar
belakang penulisan karya-karya mereka, juga kemungkinan pengajaran sastra yang
lebih aktif dan partisipatif. Karena dalam forum-forum diskusi itu berkembang
berbagai kemungkinan yang bisa dimaknai melalui dan dalam karya sastra.
Setidaknya, melalui diskusi sastrawan dan siswa itu, para guru juga memperoleh
bahan untuk dikembangkan dalam kelas.
Akan
tetapi, dalam suasana "jumpa idola" semacam itu, bukannya tanpa
risiko. Ialah apabila siswa cenderung menerima begitu saja apa yang dinyatakan
dan dijelaskan oleh sastrawan seputar karya-karya mereka dan juga situasi
kesusastraan pada umumnya: kedudukan sastrawan dalam masyarakat, peran dan
komitmen sosial sastrawan, citra urakan dan pemberontak, dlsb. Hal lain, ketika
pernyataan itu telah diterima begitu saja dan siswa tidak melakukan afirmasi
terhadap karya-karya yang dihasilkannya, maka pernyataan sastrawan seputar
karya sastra mereka (justru!) menutup kemungkinan siswa untuk menafsirkan karya
itu secara berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Lebih jauh, bisa
jadi, malah siswa merasa "cukup" mendengar penjelasan sastrawan,
ketimbang membaca lebih jauh karya-karya mereka. Dan ini, bisa berkait dengan
ketaktersediaan buku-buku sastra bersangkutan. Kembali, inilah lingkaran setan
yang tak gampang memecahkannya.
Dari
Fansuri ke Handayani
Upaya
mengatasi lingkaran setan itu ialah dengan menerbitkan buku Dari Fansuri ke
Handayani (DFkH), yang disiapkan untuk "menunjang" kegiatan SBSB
itu. Buku ini disusun oleh Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R.
Sardjono, Joni Ariadinata, Jamal D Rahman. Cecep Syamsul Hari, Moh Wan Anwar.
Penyebutan semua nama editor itu terasa perlu, untuk menunjukkan betapa buku
yang dimaksudkan sebagai himpunan karya sastra Indonesia yang merentang
sepanjang empat abad, disusun dengan "sungguh-sungguh". Artinya bukan
kerja seorang dua. Penyebutan itu, juga berkaitan dengan "tanggung
jawab" editor yang telah berjerih payah selama sebulan memeras
perkembangan sastra Indonesia semenjak abad ke-17 hingga abad ke-21, yang
dengan begitu, sebagaimana ditulis di sampul belakang, "buku ini meliput
seluruh angkatan dalam kesusastraan kita." Tak kurang sebanyak 147
sastrawan (79 penyair, 41 cerpenis, 21 novelis dan 6 penulis naskah drama) terangkum
di buku ini. Sebagai penunjang kegiatan SBSB, buku DFkH ini dibagigratiskan ke
sekolah-sekolah untuk memberi gambaran kepada para siswa perihal perkembangan
kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, kelangkaan buku sastra, sedikit banyak
telah coba diatasi. Tapi, di sinilah persoalan muncul. Sebagai buku yang
disebarkan ke sekolah, DFkH sangat potensial "mempengaruhi" pemahaman
objektif siswa perihal sastra kita: bahwa inilah para sastrawan yang menghiasi
langit kesusastraan kita.
Bagaimana
dengan nama-nama yang tak ada dalam buku itu? Boleh jadi siswa bertanya, kenapa
Sultan Takdir Alisyahbana, pengarang Layar Terkembang dan tokoh Pujangga
Baru, yang namanya disebut di buku pelajaran ternyata tidak ada dalam buku
DFkH? Adakah Takdir bukan termasuk sastrawan dalam empat abad
perkembangan sastra Indonesia
itu? Tak ada penjelasan tentang itu oleh editor. Bagaimana pula dengan nama
seperti Sitor Situmorang, yang puisinya Malam Lebaran sudah cukup
dikenal dalam banyak buku pelajaran SMU? Lalu novel Burung-burung Manyar
YB. Mangunwijaya, yang nyaris dipujikan oleh semua kritikus sastra kita, kenapa
tak ternukilkan dalam buku ini? B. Soelarto, pengarang drama yang lakonnya Domba-domba
Revolusi sangat sering dipentaskan saat perayaan kemerdekaan atau hari
pahlawan oleh siswa-siswa, tak juga tercatat? Bagaimana pula dengan Isma
Sawitri, Wing Kardjo, Remi Silado, sang penggagas puisi mbeling yang
tentu tak bisa diabaikan begitu saja jejak-pengaruhnya dalam kesusastraan kita,
sampai yang lebih muda semacam Imam Budi Santosa, Radhar Panca Dahana, Sitok
Srengenge, Jujur Prananto atau Yanusa Nugroho? Tidakkah mereka juga bagian
dari-meminjam istilah Taufiq Ismail-"pelangi di langit kesusastraan
kita"? Yang bisa terjadi, betapa banyak mereka yang "mengorbankan"
seluruh hidupnya untuk kesusastraan terabaikan begitu saja, sementara banyak
yang baru me-nulis satu dua karya, langsung memperoleh "tempat
utama".
Pertanyaan spekulatif semacam itu mungkin tak akan muncul apabila
editor melalui pengantarnya memberikan penjelasan yang memadai. Itu semua, di
samping sebagai pertanggungjawaban atas pemilihan nama-nama dalam buku itu,
juga sebagai wujud tanggung jawab editor menyangkut "fakta historis"
yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Sinergi apresiasi
Semua itu, boleh jadi risiko yang sudah dihitung dalam
penyelenggaraan SBSB dan penerbitan buku DFkH. Di sinilah, upaya-upaya Taufiq
Ismail dan Rendra yang terus gigih mengadakan pendekatan
"struktural-birokratis" dalam upaya memecah kebuntuan apresiasi itu
menjadi menarik. Karena, di samping SBSB yang sudah berlangsung dalam dua tahun
ini dan penerbitan buku DFkH, juga secara berkala diadakan semacam pelatihan Membaca,
Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) bagi guru-guru yang telah diikuti
lebih dari 1000 guru bahasa dan sastra Indonesia. Sementara SBSB yang telah
berlangsung dua tahun terakhir ini, lebih kurang diikuti 48.000 siswa. Apabila
seperempat dari jumlah itu kemudian tertumbuhkan apresiasinya, dan menjadi
pembaca sastra yang "baik", pastilah terbangun masyarakat kesusastraan
yang lebih kondunsif: kita tak lagi mengeluh perihal keterpencilan sastra, atau
jumlah eksemplar buku sastra yang seret di pasaran. Ya, semoga...
Untuk menumbuhkan itu semua, tentulah dituntut penyelenggaraan
pelbagai program yang kian terarah dan terfokus bagi tumbuhnya apresiasi siswa
(atau masyarakat pada umumnya) terhadap karya sastra Indonesia. Tentu, semua itu mesti
diupayakan dengan pelan, tetapi intens dan sinergis, yang melibatkan siswa dan
guru untuk lebih terbuka menerima karya astra sebagai karya yang mengandung
banyak kemungkinan. Di sinilah, peran sastrawan sendiri menjadi krusial:
bagaimana ia juga mesti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses
belajar-mengajar di sekolah. Be-berapa kasus yang memperlihatkan
"ketidak-menerimaan" guru atas beberapa sikap dan cara penyampaian
sastrawan "di depan kelas", menjadi penting untuk dicarikan
solusinya. Karena bagaimanapun, kehadiran sastrawan di sekolah menjadi tidak
bebas dari "aturan main" sekolah bersangkutan. Jangan sampai ketidaksukaan
terhadap "cara" sastrawan itu, mengakibatkan ketidaksukaan pada
sastra.
Karena dari sanalah, dari keharmonisan hubungan yang timbal balik
antara sastrawan guru dan siswa, sesungguhnya sinergi apresiasi itu bisa mulai
dikembangkan. Bukan dengan pencitraan bahwa sastrawan adalah segala-galanya dan
sastra adalah yang terpenting dalam hidup, tetapi dengan kesadaran betapa
sastra, sebagaimana ilmu lainnya, sama kedudukannya dan sama pentingnya untuk
bisa memperkaya penghayatan kita pada hidup. Untuk membangun sinergi apresiasi
itu, tentu tidak bisa diselesaikan dengan spirit Sangkuriang atau Bandung
Bondowoso ketika hendak menyelesaikan "proyek besar" mereka...
* Agus Noor, cerpenis, tinggal di Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment