Anindita Siswanto Thayf
Cerpen Khas Ranesi
05-12-2005
Kau selalu menunggu musim semi. Musim yang
menghijaukan pohon, katamu. Menumbuhkan bunga. Menghangatkan tanah. Menceriakan
semesta. Membangunkan yang lelap. Mencairkan yang beku mengendap. Membuat
semangatmu bangkit kembali. Kau merasa muda lagi. Hasratmu tak jadi mati.
Di siang yang panjang itu, kau biasa terlihat
duduk di teras depan rumahmu yang rindang dan nyaman sambil menikmati udara
yang hangat. Senyummu tak pernah lepas. Matamu memandang awas. Wajahmu merah
segar. Tubuhmu rentamu tampak bugar. Kau menyapa matahari. Menghirup aroma
kuntum tulip. Menikmati desau angin. Mendengarkan burung bernyanyi. Kau
merayakan musim semi dengan caramu sendiri, bersama ia. Isterimu tercinta, Elsye.
Tapi, itu tahun lalu.
Kini, ketika musim itu datang lagi, kau tidak
menyambutnya di teras depan rumah seperti biasa. Kau malah menatapnya dari
balik jendela dengan nanar. Raut wajahmu datar. Kerinduan itu samar. Kau
terkurung di kamar. Menemani Elsyemu yang tiba-tiba terkena serangan jantung di
musim gugur tahun lalu. Sebelum kemudian menyusul penyakit parah lain yang
membuatnya hanya bisa terbaring lemah. Tak berdaya. Hanya bersuara. Itu pun
seperti desah. Memang sudah waktunya, bisikmu selalu. Pasrah.
Tapi, bukan itu yang membuatmu bersikap aneh
akhir-akhir ini. Kau gelisah. Resah. Berubah-ubah; mudah terisak, gampang
menyalak. Ada
sesuatu yang bergantung di ujung lidahmu, tapi berat terucap. Yang kau bisa
hanya berdecap sambil berjalan mondar-mandir di kamar kalian yang pengap.
Tanganmu bersedekap. Langkahmu berderap. Selain itu hanya senyap.
Kau memendam sesuatu dari masa lalu. Kenanganmu.
Kisah mudamu. Saat umurmu masih dua puluh. Kau hanya pemuda lugu yang jatuh
cinta. "Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?" berkali-kali kau
bertanya begitu. Tapi yang menjawab hanya gemamu. Tak membantu. Kau kembali
membatu.
Sudah lama kau mencoba menemukan kalimat
pembukanya. Kata pendek pertama yang akan membawamu ke sederet kata dan kalimat
berikutnya. Lalu pembicaraan pun mengalir lancar. Walau mungkin sesekali
diselingi jeda di sela hati yang berdebar. Hingga yang ingin diucapkan pun tak
sadar terlontar. Dan bebanmu akan berkurang. Hidupmu tak lagi berat. Tidurmu
kembali pulas. Masa tuamu kembali normal. Tapi nyatanya, huruf-huruf itu masih
acak di dalam kepalamu. Kau menghela. Otak tuamu sudah lelah. "Haruskah
kutunda lagi atau tidak usah kuucapkan sama sekali?" batinmu bimbang. Tapi
kau tidak mau berahasia. Tidak padanya. Elsyemu tercinta. Kau tak bisa. Kepalamu
menggeleng.
"Kau kenapa, Karl? Capek? Sudah mengantuk?
Kalau begitu, tidurlah. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri."
Sebuah suara yang lebih mirip bisikan lirih,
menyapamu lemah. Tak bertenaga. Kau melirik ke ranjang di seberang jendela.
Perempuan tua itu terbaring sakit di situ. Isterimu. Elsye Van De Jong.
"Tidak! Aku tidak capek atau pun
mengantuk," jawabmu cepat. "Dan sekali lagi kau kuingatkan, jangan
pernah menyuruhku meninggalkanmu sendirian di sini. Aku sudah berjanji di
hadapan Tuhan untuk mendampingimu di saat susah maupun senang, lima puluh dua tahun yang lalu. Dan itu tidak
akan kuingkari!"
Kau mengucapkannya dengan nada tinggi, tapi tidak
bermaksud marah. Kau hanya tidak suka disuruh beristirahat sementara isteri
tercintamu tidak pernah bisa menutup mata karena selalu digerogoti rasa sakit;
luka bekas tusukan jarum berujung botol berselang di tangan kanannya yang
menjadi borok karena penyakit gula, kaki kirinya yang lumpuh karena jantung,
sebelah ginjalnya yang kata dokter sudah agak rusak karena kebanyakan obat, dan
tubuhnya yang kurus dan lemah sehingga tak bisa menahan beban penyakit tua
lainnya. Kau mendesah. Merasa bersalah.
"Maafkan aku," katamu penuh permohonan
ampun.
Perempuan itu hanya mengangguk-seperti biasa-lalu
mencoba tersenyum. Kau membalasnya tulus. Di hatimu ada pilu. Air matamu enggan
luruh. Kau ingin memeluk. Rindu. Tapi takut tubuh rapuhnya ngilu. Kau hanya
menatap sendu. Haru.
Perempuan itu sudah jauh berbeda dari yang kau
kenal dua tahun lalu, apalagi saat kalian pertama bertemu, lima puluh tiga tahun yang lalu. Tubuh padat
seksinya tidak ada lagi. Rambut kuning emasnya berganti putih. Kulitnya yang
menua dihias keriput sana-sini. Pipinya yang merah penuh kini cekung pucat
pasi. Giginya habis. Dadanya tipis. Nafasnya kembang-kempis. Ia hanya tinggal
tulang berselimut kulit. Perempuan tua setengah sekarat yang menunggu ajal
dalam sakit. Tapi kau tetap sayang padanya, seperti ia sayang padamu.
"Elsyeku cintaku. Elsyeku kasihku. Cobalah
kau pejamkan matamu sebentar dan aku akan menjagamu. Mau kan, Putri Tidurku?"
Kau mencoba menebus rasa bersalahmu karena
kata-kata tadi, dengan membujuknya. Rayuanmu masih ampuh. Elsye menurut patuh.
Mata biru pudarnya menutup di balik kelopak kulit yang layu. Kau benar-benar
menjaga di dekatnya. Terduduk di atas kursi kayu, sangat dekat di kepalanya.
Kau tertunduk muram. Diam.
Dan kamar tidur di rumah tua milikmu berdua itu
pun kembali sepi. Menunggu Elsyemu bangun. Menunggu anak perempuanmu yang
sedang menjemput cucu-cucu manismu dari sekolah. Menunggu menantumu pulang dari
kantor. Menunggu ada yang menyalakan televisi. Telepon berbunyi. Bel pintu
bernyanyi. Menunggu nafas kehidupan kembali bertiup untuk menemani penghuninya
menjalani hari-hari mereka yang berat; khususnya dirimu, tapi tidak dengan
Elsye.
Ya, di usianya yang tujuh puluh satu, Elsye
memang selalu bersemangat. Sakit tidak membuatnya putus harapan. Ia selalu
punya impian. Rintangan tak membuatnya hilang keinginan. Ia lebih memilih
dirawat di rumah karena percaya kalau cinta dan kasih bisa membuatnya tetap
hidup. Ia ingin melihat kebun bunganya walau hanya pucuknya saja dari kaca
jendela. Mendengar suara anak cucunya walau hanya dari balik pintu. Ia ingin
menikmati tahun baru sekali lagi, katanya. Mencium aroma khas daging dan gurihnya
roti panggang. Mendengar meriahnya bunyi petasan. Melihat percikan kembang api
yang seperti air mancur hiasan. Menikmati senda gurau para tamu di ruang makan.
Elsye selalu ingin hidup dan tidak pernah takut mati. Ia perempuan yang berani.
"Kematian hanyalah jalan menuju
pembebasan," ucapnya pada suatu sore.
"Hei! Mengapa kau tiba-tiba bicara tentang
kematian? Bukankah dokter tidak pernah menentukan waktu akhir hidupmu?"
Kau memotong cepat. Kata-katanya tidak kau sangka. Kau juga tidak ingin
berburuk sangka.
"Usia kita tidak muda lagi, Karl. Jalan
hidup kita sudah cukup panjang dan kita sangat menikmati pemandangan di
kanan-kirinya. Benar begitu, bukan?" Ia memandangmu minta persetujuan. Kau
terpaksa mengangguk pelan. Hatimu bertanya-tanya penasaran.
"Itu artinya, ujung jalan kita bisa saja
akan berakhir sewaktu-waktu, Karl," lanjutnya lagi. "Bisa hari ini,
besok, lusa atau sangat beruntung kalau masih lama. Dan aku, sudah siap jika
itu harus terjadi."
Ketika mengucapkan itu, kau tidak mendengar nada
takut dalam suaranya yang bergetar. Tidak juga nada selamat tinggal yang
tersamar. Elsye tampak tegar. Tapi kau tidak.
"Jangan berkata seperti itu, Elsyeku
Sayang," bujukmu. "Di mataku, kau belum terlalu tua. Teman-teman kita
masih ada yang hidup di usianya yang sembilan puluh tahun. Bahkan ada yang
hampir seratus. Jadi, kau tidak perlu berpikir tentang kematian lagi. Maukah
kau berjanji?" Kau memohon sambil menggenggam tangannya. Ia tersenyum
lembut. Ibamu hanyut. Ia menyahut.
"Jalan seseorang berbeda-beda, Karl. Ada yang panjang, ada
pula yang pendek. Mungkin jalanku pendek, mungkin saja jalanmu panjang. Kalau
memang seperti itu, tolonglah relakan aku pergi lebih dulu. Kutitip anak cucu
kita, rumah kita, kebun bungaku, semua kenangan kita dan cintamu padaku untuk
kau jaga. Kau mau?"
"Apakah kau sudah mau pergi sekarang?!"
"Jangan takut, Karl. Belum."
"Jangan bohong!"
"Aku tidak pernah bohong padamu."
"Aku tidak percaya!"
"Percayalah. Kau adalah orang pertama yang
akan kuberitahu jika aku sendiri sudah tahu kapan waktu kematianku tiba. Aku
janji, Karl. Kau tahu aku tidak pernah berahasia atau berbohong padamu selama
ini. Perkawinan kita terjaga karena kita saling terbuka dan percaya satu sama
lain. Benar, bukan? Jadi tolonglah percaya padaku seperti aku mempercayaimu."
Ada
yang tersentak. Kau terhenyak.
Kata-kata Elsye tanpa sengaja membuatmu
tersindir. Di sekelilingmu seakan ada petir. Perasaanmu getir. Kau tahu ia
berkata benar. Tapi kebenaran itu tidak ada padamu. Kau punya rahasia. Kau
tidak terbuka padanya. Kau merasa bersalah. Itulah awal masalah dari semua
kegalauanmu kini. "Harus kubilang!" desismu yakin saat itu. Tapi
ternyata...
Ketika sore telah berganti malam dan malam
berganti siang. Satu hari berganti dua dan dua hari berganti tiga. Hingga hari
ini, kau ternyata masih juga bimbang. Tidak berani bilang. Kau takut cintanya
hilang. Isterimu, Elsye, selalu menganggapmu sebagai suami yang paling
sempurna. Pahlawan perang dunia kedua yang patut dibanggakan. Laki-laki
pelindung yang selalu dihormati. Tak terbayangkan jika semua itu lenyap hanya
gara-gara pengakuanmu. Kau tidak bisa terima. Kepalamu menggeleng lagi.
"Aku tidak mau," bisikmu lirih. Tiba-tiba,
"Meski tubuhku terbaring diam, tapi aku
masih hidup, Karl. Meski aku sudah lama tidak melayanimu, tapi kau masih
suamiku. Katakan apa yang menganggu pikiranmu?"
Suara Elsye terdengar memecah sunyi. Hening
menepi. Kau kaget sendiri.
"E-elsye?! Kau tidak tidur, ya? Padahal tadi
kukira..." Tanpa sadar, kau bertanya gagap. Panikmu merayap. Pikiranmu
kalap. Apakah ia mendengar bisikmu tadi? Kau ragu.
"Tidak. Aku tidak tidur."
"Lalu?"
"Aku memperhatikanmu sejak tadi.
Diam-diam"
"Kenapa?"
"Karena aku menunggumu untuk
bercerita."
"C-cerita? Cerita apa?!"
"Yah, tentang hal yang membuatmu tidak
seperti Karl-ku lagi."
"Maksudmu?"
"Ah, sudahlah. Lupakan saja yang tadi. Lebih
baik kau ceritakan padaku tentang Indonesia. Kau mau, kan?"
"Apa?! Indonesia?! Kenapa harus Indonesia?
Kenapa tidak tentang tulip saja? Aku tahu kau suka sekali tulip. Apalagi yang
berbunga di musim..."
"Tidak, Karl! Aku tidak mau dengar tentang
tulip. Aku hanya mau dengar tentang Indonesia. Negara tempat pasukanmu
ditugaskan dulu. Memangnya tidak boleh?"
"Bukan. Bukan tidak boleh, Elsyeku Sayang.
Tapi, masa itu kan
sudah lewat berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi..."
"Jadi otak tuamu sudah lupa?"
"Tidak."
"Kalau begitu, kenapa tidak kau mulai saja
ceritanya? Aku cuma ingin tahu sedikit. Boleh, kan?"
"..."
"Ayolah."
"Hmm...ya, baiklah. Tapi, bukankah dulu
sudah berulang kali kuceritakan padamu tentang negara itu jika kita sedang
duduk santai di teras depan? Apa lagi yang mau kau tahu?"
"Aku hanya mau tahu tentang bagian yang
hilang, Karl. Yang tidak pernah kau ceritakan."
"Bagian yang hilang?! Yang mana itu? Aku kan sudah ceritakan
semuanya!"
"Kau yakin?"
"Begitulah."
"Benarkah tidak ada yang terlupa atau
terlewat?"
Kau langsung terdiam. Pertanyaan itu menyudutkan.
Kau kehilangan jawaban. Mungkin sudah waktunya untuk mengaku, batinmu
menyuruh. Kau terpaksa patuh.
"Baiklah akan kuturuti maumu," bisikmu
lesu.
Dan cerita pun dimulai walau lidahmu kelu.
"Seperti yang pernah kuceritakan padamu
dulu, Elsyeku Sayang, Indonesia adalah salah satu negara
kepulauan di Samudera Hindia. Cuacanya selalu panas. Rempah-rempahnya banyak.
Aku berumur dua puluh tahun saat pasukanku dikirim ke negara itu atas perintah
Sang Ratu. Dan nama pulau tempatku bertugas adalah Pulau Jawa. Di situlah
bagian yang terlewatkan itu, atau ‘hilang’ seperti katamu, akan
kuceritakan."
Lalu, kata demi kata pun tersusun goyah. Kalimat
demi kalimat terucap lemah. Kejadian demi kejadian kau jelaskan patah-patah.
Kau lebih banyak mengambil jeda. Berlama-lama di bagian peperangan. Berkisah
panjang tentang tahanan. Mengapa?
Kau ternyata masih ragu berterus terang.
Keberanianmu tak kunjung datang. Sebagian hati kecilmu berbisik kalau yang
sudah lama terpendam sebaiknya tidak usah dibilang. Kau terjerat bimbang.
Hingga akhirnya Elsya memotong tak sabar.
"Bagaimana kalau kau langsung saja bercerita
tentang perempuan itu, Karl. Perempuan yang kau temui ketika bertugas di sana. Aku ingin tahu
tentang dia."
"Ya, Tuhan!" serumu segera dalam hati.
"Apa yang harus kulakukan?"
Di tempatmu, kau terpaku. Membiarkan dirimu
dikuasai waktu. Pertanyaan itu tidak pernah kau sangka. Mulutmu ternganga.
Kehabisan kata.
"Kenapa kau diam saja, Karl! Aku hanya ingin
mendengar cerita tentang perempuan Indonesia itu dari mulutmu sendiri,
bukan dari mulut orang lain. Ayo cepat ceritakan padaku!"
Perempuan tua yang biasanya lemah itu, terlihat
bersemangat menanyaimu. Sakitnya seperti menguap. Terganti cemburu yang
mengendap. Bagaimana pun, Elsye masih perempuan yang normal. Kau sadar itu
sejak awal. Karenanya, kau memilih bungkam.
"Apalagi yang kau tunggu, Karl? Tahukah kau
kalau aku telah menunggu pengakuanmu itu sejak bertahun-tahun yang lalu? Sejak
aku menemukan beberapa fotomu dan perempuan itu di salah satu kotak kaleng tua
yang mungkin sengaja kau sembunyikan di lubang langit-langit garasi. Aku
membaca tulisan ‘Isteriku tercinta’ di belakang foto itu, dan aku masih tidak
percaya hingga kini. Tapi itu tulisan tanganmu, Karl. Aku hapal sekali
hurufnya. Maukah kau mengaku?" Elsye memburumu dengan pertanyaan bernada
penasaran. Tapi kau tetap tidak bergeming. Kau biarkan hening.
Tiba-tiba tanpa diundang, nyeri itu datang.
Penyakit jantungmu menyerang. Kau pun mengerang. Rasa sakit membuat tubuhmu
mengejang. Otot-ototmu meregang. Tubuh renta dan jantung tuamu ternyata tidak
bisa menerima kenyataan kalau rahasiamu telah terungkap. Bagian yang hilang
sudah tersingkap. Cerita itu akhirnya lengkap. Kau tiba-tiba sudah berada di
ujung jalan begitu nyeri itu lenyap.
Jalanmu ternyata berakhir hari ini; lebih pendek
dari punya Elsye, lebih cepat dari yang kau duga. Itu sudah takdir. Serangan
jantung cuma pengantar. Kau baru sadar. Jiwamu kini terbang. Melayang.
Tinggalkan raga. Kau sedang menuju tempat-Nya. Kau sudah tiada.
Di bawah sana,
di atas ranjangnya, Elsye masih menanti jawaban.
(Jogjakarta,
6 Oktober 2005)
0 comments:
Post a Comment