Tuesday, 24 June 2014

Bagian Yang Hilang



Anindita Siswanto Thayf

Cerpen Khas Ranesi

05-12-2005
Kau selalu menunggu musim semi. Musim yang menghijaukan pohon, katamu. Menumbuhkan bunga. Menghangatkan tanah. Menceriakan semesta. Membangunkan yang lelap. Mencairkan yang beku mengendap. Membuat semangatmu bangkit kembali. Kau merasa muda lagi. Hasratmu tak jadi mati.
Di siang yang panjang itu, kau biasa terlihat duduk di teras depan rumahmu yang rindang dan nyaman sambil menikmati udara yang hangat. Senyummu tak pernah lepas. Matamu memandang awas. Wajahmu merah segar. Tubuhmu rentamu tampak bugar. Kau menyapa matahari. Menghirup aroma kuntum tulip. Menikmati desau angin. Mendengarkan burung bernyanyi. Kau merayakan musim semi dengan caramu sendiri, bersama ia. Isterimu tercinta, Elsye. Tapi, itu tahun lalu.

Kini, ketika musim itu datang lagi, kau tidak menyambutnya di teras depan rumah seperti biasa. Kau malah menatapnya dari balik jendela dengan nanar. Raut wajahmu datar. Kerinduan itu samar. Kau terkurung di kamar. Menemani Elsyemu yang tiba-tiba terkena serangan jantung di musim gugur tahun lalu. Sebelum kemudian menyusul penyakit parah lain yang membuatnya hanya bisa terbaring lemah. Tak berdaya. Hanya bersuara. Itu pun seperti desah. Memang sudah waktunya, bisikmu selalu. Pasrah.
Tapi, bukan itu yang membuatmu bersikap aneh akhir-akhir ini. Kau gelisah. Resah. Berubah-ubah; mudah terisak, gampang menyalak. Ada sesuatu yang bergantung di ujung lidahmu, tapi berat terucap. Yang kau bisa hanya berdecap sambil berjalan mondar-mandir di kamar kalian yang pengap. Tanganmu bersedekap. Langkahmu berderap. Selain itu hanya senyap.
Kau memendam sesuatu dari masa lalu. Kenanganmu. Kisah mudamu. Saat umurmu masih dua puluh. Kau hanya pemuda lugu yang jatuh cinta. "Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?" berkali-kali kau bertanya begitu. Tapi yang menjawab hanya gemamu. Tak membantu. Kau kembali membatu.
Sudah lama kau mencoba menemukan kalimat pembukanya. Kata pendek pertama yang akan membawamu ke sederet kata dan kalimat berikutnya. Lalu pembicaraan pun mengalir lancar. Walau mungkin sesekali diselingi jeda di sela hati yang berdebar. Hingga yang ingin diucapkan pun tak sadar terlontar. Dan bebanmu akan berkurang. Hidupmu tak lagi berat. Tidurmu kembali pulas. Masa tuamu kembali normal. Tapi nyatanya, huruf-huruf itu masih acak di dalam kepalamu. Kau menghela. Otak tuamu sudah lelah. "Haruskah kutunda lagi atau tidak usah kuucapkan sama sekali?" batinmu bimbang. Tapi kau tidak mau berahasia. Tidak padanya. Elsyemu tercinta. Kau tak bisa. Kepalamu menggeleng.
"Kau kenapa, Karl? Capek? Sudah mengantuk? Kalau begitu, tidurlah. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri."
Sebuah suara yang lebih mirip bisikan lirih, menyapamu lemah. Tak bertenaga. Kau melirik ke ranjang di seberang jendela. Perempuan tua itu terbaring sakit di situ. Isterimu. Elsye Van De Jong.
"Tidak! Aku tidak capek atau pun mengantuk," jawabmu cepat. "Dan sekali lagi kau kuingatkan, jangan pernah menyuruhku meninggalkanmu sendirian di sini. Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk mendampingimu di saat susah maupun senang, lima puluh dua tahun yang lalu. Dan itu tidak akan kuingkari!"
Kau mengucapkannya dengan nada tinggi, tapi tidak bermaksud marah. Kau hanya tidak suka disuruh beristirahat sementara isteri tercintamu tidak pernah bisa menutup mata karena selalu digerogoti rasa sakit; luka bekas tusukan jarum berujung botol berselang di tangan kanannya yang menjadi borok karena penyakit gula, kaki kirinya yang lumpuh karena jantung, sebelah ginjalnya yang kata dokter sudah agak rusak karena kebanyakan obat, dan tubuhnya yang kurus dan lemah sehingga tak bisa menahan beban penyakit tua lainnya. Kau mendesah. Merasa bersalah.
"Maafkan aku," katamu penuh permohonan ampun.
Perempuan itu hanya mengangguk-seperti biasa-lalu mencoba tersenyum. Kau membalasnya tulus. Di hatimu ada pilu. Air matamu enggan luruh. Kau ingin memeluk. Rindu. Tapi takut tubuh rapuhnya ngilu. Kau hanya menatap sendu. Haru.
Perempuan itu sudah jauh berbeda dari yang kau kenal dua tahun lalu, apalagi saat kalian pertama bertemu, lima puluh tiga tahun yang lalu. Tubuh padat seksinya tidak ada lagi. Rambut kuning emasnya berganti putih. Kulitnya yang menua dihias keriput sana-sini. Pipinya yang merah penuh kini cekung pucat pasi. Giginya habis. Dadanya tipis. Nafasnya kembang-kempis. Ia hanya tinggal tulang berselimut kulit. Perempuan tua setengah sekarat yang menunggu ajal dalam sakit. Tapi kau tetap sayang padanya, seperti ia sayang padamu.
"Elsyeku cintaku. Elsyeku kasihku. Cobalah kau pejamkan matamu sebentar dan aku akan menjagamu. Mau kan, Putri Tidurku?"
Kau mencoba menebus rasa bersalahmu karena kata-kata tadi, dengan membujuknya. Rayuanmu masih ampuh. Elsye menurut patuh. Mata biru pudarnya menutup di balik kelopak kulit yang layu. Kau benar-benar menjaga di dekatnya. Terduduk di atas kursi kayu, sangat dekat di kepalanya. Kau tertunduk muram. Diam.
Dan kamar tidur di rumah tua milikmu berdua itu pun kembali sepi. Menunggu Elsyemu bangun. Menunggu anak perempuanmu yang sedang menjemput cucu-cucu manismu dari sekolah. Menunggu menantumu pulang dari kantor. Menunggu ada yang menyalakan televisi. Telepon berbunyi. Bel pintu bernyanyi. Menunggu nafas kehidupan kembali bertiup untuk menemani penghuninya menjalani hari-hari mereka yang berat; khususnya dirimu, tapi tidak dengan Elsye.
Ya, di usianya yang tujuh puluh satu, Elsye memang selalu bersemangat. Sakit tidak membuatnya putus harapan. Ia selalu punya impian. Rintangan tak membuatnya hilang keinginan. Ia lebih memilih dirawat di rumah karena percaya kalau cinta dan kasih bisa membuatnya tetap hidup. Ia ingin melihat kebun bunganya walau hanya pucuknya saja dari kaca jendela. Mendengar suara anak cucunya walau hanya dari balik pintu. Ia ingin menikmati tahun baru sekali lagi, katanya. Mencium aroma khas daging dan gurihnya roti panggang. Mendengar meriahnya bunyi petasan. Melihat percikan kembang api yang seperti air mancur hiasan. Menikmati senda gurau para tamu di ruang makan. Elsye selalu ingin hidup dan tidak pernah takut mati. Ia perempuan yang berani.
"Kematian hanyalah jalan menuju pembebasan," ucapnya pada suatu sore.
"Hei! Mengapa kau tiba-tiba bicara tentang kematian? Bukankah dokter tidak pernah menentukan waktu akhir hidupmu?" Kau memotong cepat. Kata-katanya tidak kau sangka. Kau juga tidak ingin berburuk sangka.
"Usia kita tidak muda lagi, Karl. Jalan hidup kita sudah cukup panjang dan kita sangat menikmati pemandangan di kanan-kirinya. Benar begitu, bukan?" Ia memandangmu minta persetujuan. Kau terpaksa mengangguk pelan. Hatimu bertanya-tanya penasaran.
"Itu artinya, ujung jalan kita bisa saja akan berakhir sewaktu-waktu, Karl," lanjutnya lagi. "Bisa hari ini, besok, lusa atau sangat beruntung kalau masih lama. Dan aku, sudah siap jika itu harus terjadi."
Ketika mengucapkan itu, kau tidak mendengar nada takut dalam suaranya yang bergetar. Tidak juga nada selamat tinggal yang tersamar. Elsye tampak tegar. Tapi kau tidak.
"Jangan berkata seperti itu, Elsyeku Sayang," bujukmu. "Di mataku, kau belum terlalu tua. Teman-teman kita masih ada yang hidup di usianya yang sembilan puluh tahun. Bahkan ada yang hampir seratus. Jadi, kau tidak perlu berpikir tentang kematian lagi. Maukah kau berjanji?" Kau memohon sambil menggenggam tangannya. Ia tersenyum lembut. Ibamu hanyut. Ia menyahut.
"Jalan seseorang berbeda-beda, Karl. Ada yang panjang, ada pula yang pendek. Mungkin jalanku pendek, mungkin saja jalanmu panjang. Kalau memang seperti itu, tolonglah relakan aku pergi lebih dulu. Kutitip anak cucu kita, rumah kita, kebun bungaku, semua kenangan kita dan cintamu padaku untuk kau jaga. Kau mau?"
"Apakah kau sudah mau pergi sekarang?!"
"Jangan takut, Karl. Belum."
"Jangan bohong!"
"Aku tidak pernah bohong padamu."
"Aku tidak percaya!"
"Percayalah. Kau adalah orang pertama yang akan kuberitahu jika aku sendiri sudah tahu kapan waktu kematianku tiba. Aku janji, Karl. Kau tahu aku tidak pernah berahasia atau berbohong padamu selama ini. Perkawinan kita terjaga karena kita saling terbuka dan percaya satu sama lain. Benar, bukan? Jadi tolonglah percaya padaku seperti aku mempercayaimu."
Ada yang tersentak. Kau terhenyak.
Kata-kata Elsye tanpa sengaja membuatmu tersindir. Di sekelilingmu seakan ada petir. Perasaanmu getir. Kau tahu ia berkata benar. Tapi kebenaran itu tidak ada padamu. Kau punya rahasia. Kau tidak terbuka padanya. Kau merasa bersalah. Itulah awal masalah dari semua kegalauanmu kini. "Harus kubilang!" desismu yakin saat itu. Tapi ternyata...
Ketika sore telah berganti malam dan malam berganti siang. Satu hari berganti dua dan dua hari berganti tiga. Hingga hari ini, kau ternyata masih juga bimbang. Tidak berani bilang. Kau takut cintanya hilang. Isterimu, Elsye, selalu menganggapmu sebagai suami yang paling sempurna. Pahlawan perang dunia kedua yang patut dibanggakan. Laki-laki pelindung yang selalu dihormati. Tak terbayangkan jika semua itu lenyap hanya gara-gara pengakuanmu. Kau tidak bisa terima. Kepalamu menggeleng lagi. "Aku tidak mau," bisikmu lirih. Tiba-tiba,
"Meski tubuhku terbaring diam, tapi aku masih hidup, Karl. Meski aku sudah lama tidak melayanimu, tapi kau masih suamiku. Katakan apa yang menganggu pikiranmu?"
Suara Elsye terdengar memecah sunyi. Hening menepi. Kau kaget sendiri.
"E-elsye?! Kau tidak tidur, ya? Padahal tadi kukira..." Tanpa sadar, kau bertanya gagap. Panikmu merayap. Pikiranmu kalap. Apakah ia mendengar bisikmu tadi? Kau ragu.
"Tidak. Aku tidak tidur."
"Lalu?"
"Aku memperhatikanmu sejak tadi. Diam-diam"
"Kenapa?"
"Karena aku menunggumu untuk bercerita."
"C-cerita? Cerita apa?!"
"Yah, tentang hal yang membuatmu tidak seperti Karl-ku lagi."
"Maksudmu?"
"Ah, sudahlah. Lupakan saja yang tadi. Lebih baik kau ceritakan padaku tentang Indonesia. Kau mau, kan?"
"Apa?! Indonesia?! Kenapa harus Indonesia? Kenapa tidak tentang tulip saja? Aku tahu kau suka sekali tulip. Apalagi yang berbunga di musim..."
"Tidak, Karl! Aku tidak mau dengar tentang tulip. Aku hanya mau dengar tentang Indonesia. Negara tempat pasukanmu ditugaskan dulu. Memangnya tidak boleh?"
"Bukan. Bukan tidak boleh, Elsyeku Sayang. Tapi, masa itu kan sudah lewat berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi..."
"Jadi otak tuamu sudah lupa?"
"Tidak."
"Kalau begitu, kenapa tidak kau mulai saja ceritanya? Aku cuma ingin tahu sedikit. Boleh, kan?"
"..."
"Ayolah."
"Hmm...ya, baiklah. Tapi, bukankah dulu sudah berulang kali kuceritakan padamu tentang negara itu jika kita sedang duduk santai di teras depan? Apa lagi yang mau kau tahu?"
"Aku hanya mau tahu tentang bagian yang hilang, Karl. Yang tidak pernah kau ceritakan."
"Bagian yang hilang?! Yang mana itu? Aku kan sudah ceritakan semuanya!"
"Kau yakin?"
"Begitulah."
"Benarkah tidak ada yang terlupa atau terlewat?"
Kau langsung terdiam. Pertanyaan itu menyudutkan. Kau kehilangan jawaban. Mungkin sudah waktunya untuk mengaku, batinmu menyuruh. Kau terpaksa patuh.
"Baiklah akan kuturuti maumu," bisikmu lesu.
Dan cerita pun dimulai walau lidahmu kelu.
"Seperti yang pernah kuceritakan padamu dulu, Elsyeku Sayang, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan di Samudera Hindia. Cuacanya selalu panas. Rempah-rempahnya banyak. Aku berumur dua puluh tahun saat pasukanku dikirim ke negara itu atas perintah Sang Ratu. Dan nama pulau tempatku bertugas adalah Pulau Jawa. Di situlah bagian yang terlewatkan itu, atau ‘hilang’ seperti katamu, akan kuceritakan."
Lalu, kata demi kata pun tersusun goyah. Kalimat demi kalimat terucap lemah. Kejadian demi kejadian kau jelaskan patah-patah. Kau lebih banyak mengambil jeda. Berlama-lama di bagian peperangan. Berkisah panjang tentang tahanan. Mengapa?
Kau ternyata masih ragu berterus terang. Keberanianmu tak kunjung datang. Sebagian hati kecilmu berbisik kalau yang sudah lama terpendam sebaiknya tidak usah dibilang. Kau terjerat bimbang. Hingga akhirnya Elsya memotong tak sabar.
"Bagaimana kalau kau langsung saja bercerita tentang perempuan itu, Karl. Perempuan yang kau temui ketika bertugas di sana. Aku ingin tahu tentang dia."
"Ya, Tuhan!" serumu segera dalam hati. "Apa yang harus kulakukan?"
Di tempatmu, kau terpaku. Membiarkan dirimu dikuasai waktu. Pertanyaan itu tidak pernah kau sangka. Mulutmu ternganga. Kehabisan kata.
"Kenapa kau diam saja, Karl! Aku hanya ingin mendengar cerita tentang perempuan Indonesia itu dari mulutmu sendiri, bukan dari mulut orang lain. Ayo cepat ceritakan padaku!"
Perempuan tua yang biasanya lemah itu, terlihat bersemangat menanyaimu. Sakitnya seperti menguap. Terganti cemburu yang mengendap. Bagaimana pun, Elsye masih perempuan yang normal. Kau sadar itu sejak awal. Karenanya, kau memilih bungkam.
"Apalagi yang kau tunggu, Karl? Tahukah kau kalau aku telah menunggu pengakuanmu itu sejak bertahun-tahun yang lalu? Sejak aku menemukan beberapa fotomu dan perempuan itu di salah satu kotak kaleng tua yang mungkin sengaja kau sembunyikan di lubang langit-langit garasi. Aku membaca tulisan ‘Isteriku tercinta’ di belakang foto itu, dan aku masih tidak percaya hingga kini. Tapi itu tulisan tanganmu, Karl. Aku hapal sekali hurufnya. Maukah kau mengaku?" Elsye memburumu dengan pertanyaan bernada penasaran. Tapi kau tetap tidak bergeming. Kau biarkan hening.
Tiba-tiba tanpa diundang, nyeri itu datang. Penyakit jantungmu menyerang. Kau pun mengerang. Rasa sakit membuat tubuhmu mengejang. Otot-ototmu meregang. Tubuh renta dan jantung tuamu ternyata tidak bisa menerima kenyataan kalau rahasiamu telah terungkap. Bagian yang hilang sudah tersingkap. Cerita itu akhirnya lengkap. Kau tiba-tiba sudah berada di ujung jalan begitu nyeri itu lenyap.
Jalanmu ternyata berakhir hari ini; lebih pendek dari punya Elsye, lebih cepat dari yang kau duga. Itu sudah takdir. Serangan jantung cuma pengantar. Kau baru sadar. Jiwamu kini terbang. Melayang. Tinggalkan raga. Kau sedang menuju tempat-Nya. Kau sudah tiada.
Di bawah sana, di atas ranjangnya, Elsye masih menanti jawaban.
(Jogjakarta, 6 Oktober 2005)

0 comments:

Post a Comment