Dia
ABG, anak baru gede. Usianya menjelang 19 tahun. Berambut panjang, bermata
besar indah, dan berkulit hitam manis. Laki-laki tua itu mengenalnya di
sebuah restoran siap saji yang baru saja dibuka di kota itu.
Di
usianya menjelang tujuh puluh, laki-laki itu hidup sendiri. Dia hidup dari
uang pensiun dan kiriman anak-anaknya yang sesekali datang ke rumah tua itu.
Tapi setelah mereka pulang, ia kembali didera kesepian. Dia hanya bisa
memandang foto-foto masa kecil anak-anaknya, cucu-cucunya, dan almarhum
istrinya ketika mengandung anak pertama mereka.
Perkenalannya
dengan si ABG yang dia belum tahu namanya itu terjadi begitu saja. Setelah pertemuan
pertama itu, dia menjadi lebih sering makan di sana. Bukan hanya karena masakannya yang
pas buat selera tuanya dan harganya relatif murah, tetapi lebih disebabkan
karena si ABG itu. Entah. Ada
sesuatu dalam diri gadis itu.
"Boleh
saya kenalan," tanya laki-laki itu suatu hari setelah memesan menu
favoritnya,steak ayam dengan kentang rebus dan segelas lemon tea tanpa
gula. "Siapa takut. Pertama tanya nama, lalu alamat. Lalu?" gadis
itu terdiam sebentar, "sudah ada yang punya belum. Ya, kan?."
Aliran
darah naik ke wajahnya. Dia sebenarnya tidak hanya ingin menanyakan nama
gadis tersebut. Dia ingin memperoleh lebih banyak. Ia ingin menjadikannya
sesuatu, seperti teman berceritera, atau berbagi perasaan. Tapi, apa pantas
gadis itu dijadikan temannya. Laki-laki itu ragu. Dia jengah. Dunia mereka
sudah seperti bumi dan langit. Gadis itu mungkin tak tahu ada jenis lagu yang
disebut keroncong. Generasinya cuma kenal Raja, Ratu, Sheila on Seven,
Samsons, Peterpan, Westlife, dan Same Same.
"Ya."
Cuma itu akhirnya yang keluar dari mulut laki-laki itu dengan susah payah
sambil membayar pesanannya. Ia masih menungggu sesuatu yang belum keluar dari
mulut si gadis. Hanya sebuah nama, sebuah langkah awal untuk menapaktilasi
lembaran lain dari bukunya yang sudah tua.
"Isye,"
kata si gadis tepat saat laki-laki tua itu hendak berbalik menuju tempat
duduknya di rumah makan itu. "Isye. Manis." Laki-laki itu duduk dan
langsung menyantap makanannya. Ujung matanya terus memperhatikan Isye yang
melayani tamu-tamu lain bersama teman-temannya.
Laki-laki
itu menghabiskan potongan terakhir steak ayamnya. Dia beranjak dari
restoran sambil melirik sekali lagi ke arah Isye yang ternyata juga tengah
memperhatikannya. Pandangan pertama itu seperti sebuah magnit penuh misteri
yang mempersatukan mereka. Saling melekat. Laki-laki tua itu merasakan suatu
naluri purba yang telah terpendam lama kini berangsur-angsur muncul kembali
ke permukaan lewat mata gadis itu. Bening seperti titik embun terakhir
menjelang datangnya matahari pagi.
"Matamu
bagus. Aku senang melihatnya. Aku berada di dalamnya." "Sejak lama
kau memang sudah berada di sana.
Aku merasakan itu," kata almarhum istrinya.Kanker jahat telah merenggut
nyawa istrinya. Ia menghembuskan nafas terahir di pangkuannya. Mata itu
perlahan-lahan meredup seperti sebuah lilin yang telah selesai bertugas
memberikan cahaya bagi jalan hidup mereka. Sejak saat itu laki-laki itu
kehilangan cahaya. Mata istrinya telah membawa cahayanya kembali ke surga.
Mata
Isye kini memancarkan kembali cahaya itu. Meski samar-samar, laki-laki itu
merasakan adanya denyut yang begitu halus di hatinya seperti yang pernah
dirasakan saat ia mulai jatuh cinta pada almarhum istrinya. Dia ragu.
Mungkinkah? Dia berusaha melupakan pertemuan pertamanya. Isye ditumpuk jadi
masa lalunya. Ia meletakkan bayang-bayang Isye di bagian paling bawah lalu
ditempatkannya di relung paling gelap dalam sudut hati dan pikirannya. Ia
tidak mau lagi mengingat gadis itu.
Minggu-minggu
pertama usahanya cukup berhasil. Kesibukannya semakin ditingkatkan hanya
untuk melupakan Isye. Namun, setelah hampir sebulan ia menekan perasaannya,
tumpukkan masa lalunya itu makin ingin dilihat. Bayangan Isye terus meronta
dari kegelapan hatinya. Laki-laki itu tak kuasa lagi menahan perasaannya.
Dari paling bawah, ia memindahkan bayangan Isye ke permukaan. Tapi laki-laki
itu malah bingung. Malam hari ia mencoba tahajud. Mengadukan kegalauannya
pada Sang Maha Pemilik Hati Manusia. Laki-laki itu merintih. Dia tidak
percaya akan apa yang dirasakannya. "Gusti, apakah aku jatuh cinta
lagi?"
Tuhan
memberikan jawabannya dengan sangat samar. Laki-laki itu kembali mendatangi
restoran setelah usahanya melupakan gadis itu menjadi berantakan. Ia ingin
melihat Isye. Ia ingin menanyakan dirinya tentang perasaannya yang selama ini
menghantuinya siang malam. Isye tidak melihatnya ketika ia memasuki pintu
restoran. Gadis itu tengah sibuk melayani tamu. Baru ketika ia maju hendak
memesan makanan, Isye melihatnya. Seakan-akan dia tidak percaya bertemu lagi
dengan laki-laki itu. "Kemana saja."
"Tidak ke mana-mana."
"Kok, jarang makan."
"Eeeh, lagi bosan makan di sini."
"Bosan sama Isye, kali."
Laki-laki itu tak menanggapi komentar Isye. Dia hanya memandanginya. Mencoba
mencari jawaban yang diberikan Tuhan kepadanya. "Pulang jam berapa. Nanti
saya jemput. Boleh?" tanyanya setelah Isye memperingatkan ada tamu lain
yang memerlukan pelayanan. Isye mengangguk.
Sore
itu mereka berjalan berdua. Menyusuri trotoar yang sudah ambrol di sana-sini
dan dipenuhi pedagang kaki lima.
Sepanjang perjalanan, mereka hanya membisu. Tak sepatahpun kata keluar dari
mulut laki-laki itu. Isye juga diam. Ingin rasanya ia memegang tangan Isye
dan merasakan kelembutannya. Membelai-belai rambut Isye seperti yang selalu
dilakukannya terhadap almarhum istrinya saat mereka berjalan seperti ini.
Tapi sesuatu menahannya. Tangannya yang sudah akan membelai rambut itu
berhenti di tengah jalan. Nafasnya memburu. Tangannya berkeringat dan
lunglai.
Dalam
kebisuan mereka terus berjalan. Debu beterbangan. Bulan mulai bertengger di atas
langit yang kotor. Mereka baru sadar ketika sampai di tikungan ke arah rumah
Isye. Keduanya terkejut. Sebenarnya banyak yang ingin ia katakan. Seperti
selamat tinggal, sampai berjumpa lagi esok, kau manis, aku sayang padamu, aku
sebenarnya cinta padamu. Tapi laki-laki itu merasakan bibirnya seperti
digantungi oleh ribuan beban yang sangat berat. "Isye."
"Ya."
Hanya
itu. Waktu terasa berjalan amat lamban. Kebisingan suara lalu lalang
kendaraan tak lagi terdengar. Yang terdengar hanya suara hati mereka. Suara
yang keluar dari relung paling dalam, dari relung yang hanya diketahui oleh
Tuhan yang menciptakannya.
Mereka
berpisah. Terasa berat. Isye berbelok ke arah rumahnya diantar oleh pandangan
laki-laki tua itu. Kemudian kesunyian kembali mendekapnya. Pertemuan demi
pertemuan terus berlanjut. Kadang usai kerja atau pada hari-hari libur. Dari
hari kehari keduanya merasa jauh lebih dekat. Laki-laki tua itu tak bisa
membantah, ia bukan sekadar teman Isye. Gadis itu telah mencerahkan
kehidupannya kembali. Selama mereka bertemu, tak sedikitpun laki-laki itu
berani menyentuh Isye. Kadang-kadang memang timbul keinginan untuk membelai
gadis itu, atau menciumnya. Hanya entah mengapa, pertemuan-pertemuan itu
dirasakan jauh lebih indah jika tanpa sentuhan. Sentuhan hati mereka jauh
lebih bermakna dari sentuhan badaniah.
Perhelatan
dibuat sederhana. Janur menjuntai di kiri-kanan pintu masuk rumahnya. Para tamu berdatangan. "Aku nikahkan, kau, Rahadi
binti Pramono, dengan Isye binti Markodi, dengan mas kawin seperangkat alat
shalat, sebuah kalung emas 15 gram. Dibayar tunai."
Kamar
pengantinnya dihias mirip saat laki-laki itu memasuki gerbang malam pertama
bersama almarhum istrinya. Seprei yang dipakai juga seprei lama. Dasar putih
dengan hiasan bunga ungu kecil-kecil. Masih bagus, karena mereka menyimpannya
dengan sangat hati-hati. Harum daun pandannya samar-samar masih terasa.
Isye
naik ke tempat tidur. Laki-laki itu mengikutinya. Ia membelai rambut lalu
wajah Isye dengan penuh kelembutan. Bayang-bayang istrinya terpantul di mata
Isye. Ia mengusap mata hitam bening itu. Lalu mengecupnya. Tapi mata itu
berubah menjadi kehijauan. Indah dan lucu. Mata itu menatapnya dengan sangat
marah. Mata itu memaki-makinya. Mata seekor kucing.
Laki-laki
itu bangun dari tempat tidurnya dengan tubuh penuh keringat. Kucing? Ya,
kucing. Kata-kata yang selalu dilontarkan istrinya saat ia marah atau jengkel
pada sesuatu. "Kucing, kau!" Mimpi itu mengembalikan ingatannya
dari labirin yang membingungkan. Istrinya menagih janjinya untuk tidak menikah
lagi setelah ia meningggal dunia. Ia memang mengucapkan sumpahnya saat wanita
itu masih hidup dan di atas makamnya. Istrinya telah memberikan segalanya
saat ia masih hidup. Cinta yang tulus, ranjang yang hangat, dan dapur yang
sedap. Ia tiba-tiba merasa dihimpit perasaan berdosa.
Ia
turun dari ranjangnya dan mengambil wudhu. Dalam keheningan malam ia berdoa
dan meminta meminta maaf kepada almarhum istrinya. Ia meminta maaf kepada
dirinya sendiri. Dan ia meminta maaf kepada Isye. "Tuhan, berikan aku
jalan terbaikMu." Malam membawa doa itu ke atas arasy dan
menyampaikannya kepada Sang Maha Pencipta.
Tuhan
memberikan jawaban atas doa laki-laki itu. Isye mendengar kabar itu dari
pengeras suara mushala dekat rumahnya dengan rasa tidak percaya. Ia setengah
berlari menuju rumah laki-laki tua itu. Langkahnya terhenti. Ada bendera kuning di pintu masuk rumah
itu. Isye masuk dan berdesakan dengan orang lain yang hendak memberikan doa
terakhir untuk laki-laki tua itu. Ia membuka kerudung putih yang menutupi
wajah laki-laki yang telah terbaring kaku. Wajah yang baru dikenalnya itu
seolah tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Isye mencium kening
jenazah laki-laki tua itu dan ia mulai menangis. Dia berdoa dengan seluruh
hatinya.
Doa
Isye didengar laki-laki tua itu. Dia menatap gadis itu. Dia ingin merangkul
Isye, ingin mencium rambut dan matanya yang indah. Tapi sebuah cahaya yang
begitu cemerlang dan sejuk telah menantinya di atas. Ia melayang menghampiri
cahaya itu. Almarhum istrinya menantinya di sana. Ia merentangkan ke dua tangannya,
menyambutnya dalam pelukan kasih sayangnya. "Kau kembali, sayang. Kita
akhirnya bersatu lagi." Istrinya memberikan cahaya itu kembali
kepadanya.***
Untuk anakku Alia dan cucuku Alifa. Aku mencintai keduanya.
|
0 comments:
Post a Comment