Cerpen: A Mustofa
Bisri
Sumber: Kompas, Edisi 06/23/2002
Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih
tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada
kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu,
"Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang
luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti
pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat
kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian
ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua
itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar
bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!'. Tak
lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu,"
timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar
bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok
sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang
Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir
Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak tahunya
beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami
sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut
bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada
saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal
saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya,
saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu yang
disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik
mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya
justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran
saya terganggu."
***
MAKA ketika kemudian sikap Gus
Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang
kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin,
yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang
berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi
manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.
Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia
benar-benar kehilangan keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang
pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh
penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada
beliau?"
"Kemana beliau pergi saat
menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau saja kita
tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau
dan mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi bagaimana pun, ini ada
hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap
saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui
apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang,
sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul
Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar
prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali
ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh
melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa
keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan,
"Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga
dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin
tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya
Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini
ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan
suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang
tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak
mau."
"O, itu," kata Gus
Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan
bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia
melanjutkan: "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami
tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat, ketika saya lama
menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia
benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk. "Suatu
malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh
yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini
sekitar 200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu,
hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100
tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut
kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak
bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau
bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit
siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan
niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana, hampir
semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru
setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.
'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan
berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu
sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah
kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk
yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas
gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas
sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah
orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang
sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu
yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo
sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima
dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka.
Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua
kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian
melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu.
Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali,
seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli
neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu
gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru.
Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang
lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan
diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di
kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika
beliau habis berwudhu. Gila." "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu
kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati
sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan
ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama
sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu
berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan
salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;
dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan
hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada
kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri
yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal
sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka." "Baru setelah beberapa
minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya
keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan
untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu
saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar
dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau
pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya
pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu
jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan
langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut
semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang." "Setelah
melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut
belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru
sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan
bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua
orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-dengan
dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit
kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung
biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan
kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah.
Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai
saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita
menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di
sampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada
orang-orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini kawan
saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.'
Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan
saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan tangan." "Saya
masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika
tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal
mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepada wanita warung
sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal,
tape goreng kebanggaan warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala
asal mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan
'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis
pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati
para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian;
bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah
ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya?
Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O,
pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap
beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai Tawakkal
membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya,
kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua,
kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata
setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang
tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."
"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di
sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan.
Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan
biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri
mematung. Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya
pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang,
ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu.
'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian,
'kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai
berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah
kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa
kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi
ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk
mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya
tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda,
kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka'
di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang
menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau
lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua,
kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka
terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka.
Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak
memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti
mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di
warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat
baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat
denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa?
Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa
menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung
saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah.
Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa
penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah.
Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain
yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap
saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam
itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit,
'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya
tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar
biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal
sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh
berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung,
saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh
dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau
pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya
kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan
Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan
Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru.
'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada
seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.'
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil
merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah
mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam
tercenung, sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. ***Rembang, Mei
2002
0 comments:
Post a Comment