Tuesday, 24 June 2014

Selamat Natal, Fajar


Buat Seorang yang Sangat Sulit Ditemui

Alexandreia Indri Dewiyanti
26-12-2005

Di seberang sana, entah di mana, aku tahu ada seorang yang sedang menanti keajaiban. Di dalam kebimbangan, kegelisahan dan kesendirian. Kalau bisa, ingin sekali aku mendekapnya dengan ketenangan hati dan memeluknya dengan kebahagian. Dia adalah seorang sahabat, yang tidak tahu keberadaanku saat ini, aku yang merasakan derap kehadirannya dalam setiap hariku. I
Bulan Desember dibasahi oleh rintik hujan. Aku sangat suka hujan. Ia meninggalkan banyak keindahan. Selalu tampak memberikan janji dan pengharapan yang baru setiap musim, setiap tahun. Selama lima tahun aku sudah meninggalkan negeri kelahiranku dan tinggal di negeri yang dingin ini, Netherland. Matahari yang segan, langit biru dan asap awan yang terseduh rintik hujan, semua keindahan ini tetap saja aku lewati dalam hiruk pikuk yang sangat sepi, tanpa Fajar. Aku seperti juga tahun-tahun lalu, masih merindukan Fajar. Bagiku ia adalah sosok patung Malaikat Abigail mungil, yang selalu kunantikan giliran untuk meletakkannya di puncak pohon natal.


Di sepanjang Rotterdam Stad, aku melihat kesibukan yang sama setiap akhir tahun. Lampu-lampu merah dan hijau, lampion-lampion hias yang indah di sepanjang trotoar. Toko-toko memamerkan segala gemerlap yang tidak bisa dibeli oleh orang-orang seperti dia. Saat natal tiba aku selalu mengingat kenangan kala kami masih ada, menghabiskan banyak kenangan bersama di kota kelahiran kami, Bandung.
*
"Lihat, yang itu bagus, kan!" seruku menunjuk sebuah mobil-mobilan dengan kendali jarak jauh, yang terpajang di etalase sebuah toko mainan.
Fajar memperhatikan mainan itu dengan serius, lalu menggeleng. "Kurasa modelnya terlalu kuno. Aris tidak akan menyukainya."
"Tapi itu yang paling bagus di antara mobil lain yang sudah kita lihat." Kataku kecewa.
"Ayo, kita cari lagi! Mungkin di toko lain ada yang lebih bagus.!" Fajar menarik tanganku.
Hampir selama dua jam kami berdua keluar masuk toko dan menapaki batako yang basah oleh hujan. Kami mencari hadiah untuk Aris, adik Fajar yang berusia delapan tahun. Pilihan kami akhirnya jatuh pada sebuah mobil-mobilan berwarna merah.
"Kamu bawa uang berapa, Jar?" tanyaku ragu, melihat betapa mahalnya mainan itu.
Fajar tersenyum penuh percaya diri. "Aku sudah menabung selama tiga bulan terakhir ini. Nih, lihat !" Fajar mengeluarkan uangnya.
Aku cukup terkejut melihat jumlah uang yang dimilikinya. Mungkin cukup untuk membeli dua set mobil-mobilan serupa. Kapan aku melihat Fajar menabung? Mungkinkah dia bekerja diam-diam dan menabung tanpa sepengetahuanku? Padahal selama ini apapun yang dilakukannya aku selalu tahu. Mungkin selama ini aku terlalu sombong. Nyatanya Fajar juga bisa punya rahasia.
"Ayo, Gab, kita bawa kejutan ini pada Aris! Dia pasti senang sekali !" kata Fajar setelah membayar mainan itu di kasir. Aku mengangguk dan tersenyum.
Aris adalah adik Fajar semata wayang. Sudah lama anak itu mengidam-idamkan mainan mobil-mobilan dengan kendali jarak jauh. Sayangnya kondisi keuangan keluarga mereka tidak memungkinkan untuk dapat membeli mainan semahal itu. Wajar melihat kondisi demikian, ketika Fajar mengeluarkan uang begitu banyak aku jadi kaget.
Aku masih ingat ketika beberapa bulan lalu aku berulang tahun dan Fajar menghadiahkanku sebuah gelang perak yang aku tahu harganya pasti tidak murah. Saat itu aku masih berpikiran positif bahwa dia mampu menabung dengan bekerja keras. Namun ketika lagi-lagi dalam waktu yang tidak begitu lama Fajar sudah mampu menabung kembali untuk membeli mainan mobil untuk Aris.
Beberapa keanehan yang terjadi mengundang beribu-ribu pertanyaan. Selama berteman dengannya, selalu saja ada sisi misterius dalam dirinya yang tak pernah habis terbongkar. Sebenarnya berapa banyak lagi yang tidak aku ketahui tentangnya? Pun ketika dia mempunyai uang dengan jumlah yang mengejutkan. Mungkin...aku terlalu menganggapnya rendah? Aku jadi merasa bersalah.
*
Di sepanjang jalan sempit yang kumuh menuju rumah Fajar aku memikirkan apa yang tengah terjadi dengan Fajar sekarang. Minggu yang lalu aku dengar Fajar bertengkar dengan ayahnya mengenai Aris.
"Neng, jalan sendirian aja. Mau saya temani?" seorang pemuda bertato yang nangkring di belokan jalan menggodaku. Dua temannya mulai bersuit-suit. Aku mempercepat langkah kakiku.
Aku tiba di depan rumah Fajar. Perumahan kumuh padat penduduk dengan rumah bedeng berjejer menjadi potret kondisi di lingkungan itu. Di depan aku melihat Bu Ratna yang sedang mengangkat pakaian dari tali jemuran. Bu Ratna adalah tetangga sebelah rumah Fajar. Empat orang anaknya yang masih kecil-kecil berlari-lari di sekitarnya. Bu Ratna tersenyum, aku balas tersenyum dan mengangguk padanya.
"Lagi-lagi kamu! Apa yang kamu inginkan?" sebuah suara berat dan kasar menyambut kedatanganku. Aku melihat Pak Yadi, ayah Fajar berdiri di ambang pintu rumahnya. Wajahnya merah. Tampaknya Pak Yadi mabuk lagi.
"Saya mencari Fajar." Aku berusaha untuk tetap ramah.
"Anak Tengik itu sejak dua hari yang lalu tidak pulang. Sudah, pergi sana!" Pak Yadi membalikkan badan dan masuk ke rumah. Masih terdengar gerutuannya, dengan kalimat sinis "Dasar orang kaya, orang kota, angkuh, sok perhatian."
Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa dan sedikit tersinggung. Bu Ratna menghampiriku sambil menenteng keranjang pakaian.
"Fajar tidak ada, ya?" kata Bu Ratna.
"Iya, Bu. Kata ayahnya, Fajar tidak pulang sudah dua hari." Jawabku.
"Ng...rasanya memang iya. Dua hari yang lalu saya lihat Fajar dijemput dengan sedan hitam. Tapi saya tidak kenal dengan pria kaya yang menjemputnya. Apa Neng kenal pria itu?"
Aku menggeleng, "Pria kaya?"
"Kelihatannya begitu. Mobilnya bagus, pakaiannya bagus, orang itu tampan dan bergaya sekali." Sahut Bu Ratna.
II
Aku membuka jendela kamarku. Hari sudah gelap. Kubiarkan udara Rotterdam yang dingin sehabis hujan memenuhi ruanganku. Aku mengambil sebuah buku tebal di laci meja. Saat aku baca cerita yang terjadi lima tahun yang lalu, kerinduan lagi-lagi menghampiriku. Aku masih ingat saat Fajar memberikan buku itu padaku.
"Aku melihat ini di toko buku. Bagus, kan?" begitu kata Fajar.
Aku menerima hadiah itu, sebuah buku bersampul biru tua dengan hiasan timbul, daun berwarna keperakan disekelilingnya. Aku mengisi buku itu dengan cerita tentang Fajar. Kisah hidupnya, kesendirian, kegelisahan serta semua penyesalan yang dia miliki.
*
"Jadi, kamu tidak mau cerita padaku ke mana saja kau pergi selama satu minggu ini?" tanyaku pada Fajar dengan kesal. Tahun baru diawali dengan perasaan tidak enak! Sejak malam natal ketika kami membeli mainan untuk Aris itu, Fajar menghilang. Satu minggu kemudian dia baru menampakkan diri tanpa penjelasan.
"Sudah kukatakan kalau aku ada pekerjaan!" sahut Fajar dengan wajah yang sama kesalnya. Dia pasti menyembunyikan sesuatu! Tingkahnya jadi aneh dan gugup. Aku membatin.
"Jar." Akhirnya suaraku melunak, aku menyentuh lengannya, "Kenapa kamu tidak mau berbagi persoalan denganku? Kita kan sudah janji masalah dan kegembiraan dibagi bersama."
Fajar menggenggam tanganku dan tersenyum. "Memang begitu. Kalau aku bilang tidak ada masalah, berarti memang tak ada apa-apa. Tenanglah, aku tidak menjadi pencuri, tidak merampok atau berjualan obat bius."
"Iya. Aku percaya." Kataku pelan.
Aku kembali pada buku itu. Di mana tertuang cerita terakhir tentang seorang Fajar.
Aku melihatnya di belokan jalan itu. Fajar sedang berbicara dengan dua orang pria berpakaian rapi. Keduanya tampak galak pada Fajar. Aku merapatkan tubuh pada dinding gang tak jauh dari tempat Fajar berada. Siapa kedua orang itu? Kenapa mereka marah pada Fajar? Apa yang terjadi? Aku berkata-kata dalam hati.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di dekat mereka. Kedua pria itu menyuruh Fajar ikut dengan mereka. Tapi Fajar enggan dan mencoba menolak. Salah seorang dari pria itu mendorong Fajar dengan paksa masuk ke dalam mobil itu. Apa mobil itu juga yang dilihat Bu Ratna dulu?
"Sedang apa di sini, Non?" sebuah suara mengagetkanku. Aku memekik tertahan ketika lengan orang itu menyentuh bahuku. Aku melihat seorang pria berusia sekitar enampuluhan, ia berdiri di belakangku. Kelihatannya dia penduduk daerah sini.
"Saya hanya lewat." Kataku gugup, "Tadi saya melihat seorang teman di sana, tapi dia sudah pergi sekarang."
"Sebaiknya kau juga pergi dari sini. Tempat ini tidak baik buat seorang gadis sepertimu. Banyak kejahatan di sini!" kata pria itu seraya menelitiku.
"Apa di daerah ini banyak preman?" tanyaku.
"Apa kau tidak tahu? Daerah ini adalah Sarang Nyamuk."
"Sarang Nyamuk?" aku menautkan alis, tak mengerti.
"Sudah berpuluh tahun sejak aku tinggal di sini, tempat ini adalah surga bagi mereka yang mencari kepuasan dari para lelaki muda yang biasa menjajakan diri di sepanjang jalan ini. Benar, lelaki muda segar, dengan harga yang lebih murah dari tempat manapun!"
Aku tertegun. Lelaki muda yang menjajakan diri? Seperti gigolo, begitu?
"Pria-pria yang terbungkus pakaian mewah berkeliaran mencari pemuda-pemuda itu. Membuat bisnis jahat itu terus mengalirkan uang bagi para germo. Anak-anak itu, mereka seolah tidak punya pilihan. Kondisi ekonomi selalu menjadi jerat bagi mereka." Tambah pria itu. Aku sama sekali tidak dapat berpikir terang. Saat itu yang tampak adalah wajah Fajar, berputar-putar membentuk kabut!
"Nah, cepat pergi! Sebelum ada yang melihatmu di sini. Kalau ada apa-apa aku bahkan tidak mampu menolongmu." Kata pria itu sambil beranjak meninggalkanku. Aku merasa ngeri membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi.
Pria kaya yang mencari pemuda-pemuda...apakah mereka ada hubungannya dengan orang-orang yang barusan kulihat bersama Fajar? Aku tidak sanggup membayangkan hal buruk terhadap Fajar. Dia sahabatku! Aku percaya padanya.
III
"Aku baru saja bertengkar dengan ayah." Kata Fajar suatu sore. Aku menatap iba padanya. Sudah sering Fajar bertengkar dengan ayahnya dan kebanyakan menyangkut Aris. Pak Yadi suka berbuat kasar terhadap anak itu.
"Masalah apa, Jar? Dia tidak memukulmu, kan?"
"Tidak. Dia tidak berani memukulku lagi setelah aku lebih dewasa. Kali ini sasarannya adalah Aris. Dia akan melakukan hal buruk pada Aris!"
"Melakukan apa?"
"Dia akan melakukan apa yang dulu dia lakukan padaku. Dan aku sama sekali tidak ingin adikku mengalami nasib yang sama denganku. Aku selalu ingin Aris memperoleh kehidupan dan masa depan yang jauh lebih baik, dan bukan seperti aku."
"Seperti kamu gimana?" Aku tidak mengerti apa yang Fajar katakan, aku menunggu Fajar menjelaskannya padaku.
"Gabby." Kata Fajar sambil menatapku dengan seksama. "Aku akan menceritakannya."
Aku memegang tangan Fajar yang dingin. Aku tahu beban dalam hatinya, mungkin ia punya keraguan, karena itu aku ingin memberikan kekuatan dan keyakinan kepadanya.
"Sejak ibuku meninggal, ayah berubah menjadi laki-laki yang sangat kasar dan seorang pemabuk. Waktu itu aku berusia sebelas tahun dan Aris berusia empat tahun. Ayah dipecat dari pekerjaannya karena sering mabuk. Aku berhenti sekolah dan harus bekerja menjadi calo tiket di depan gedung pertunjukan. Siang hari aku menjual teh botol dan rokok di terminal." Fajar menarik nafas dengan berat. "Karena kondisi kehidupan kami yang begitu kekurangan, ayah mengambil keputusan itu. Mungkin alkohol yang telah menghilangkan akal sehatnya, moral dan pikirannya. Aku dijual kepada seorang pria bernama Arthur, yang ternyata seorang germo di daerah yang bernama Sarang Nyamuk-kamu tahu...tempat itu?" kalimat Fajar tersendat, aku mengangguk dan mempererat genggamanku.
"Akhirnya aku menjadi salah satu dari anak-anak muda di Sarang Nyamuk itu." Fajar melanjutkan kalimatnya, ia menunduk dalam.
Aku terdiam. Semua begitu cepat mengalir, kalimat-kalimat Fajar terasa melaju cepat dihadapanku. Apa yang sedang terjadi? Aku hampir menangis.
"Sejak berusia 12 tahun, hingga sekarang...sudah empat tahun aku menjalani kehidupan yang penuh kutukan ini," lanjut Fajar setengah merenung, "Dari Arthur aku bisa meminjam uang dalam jumlah yang banyak, namun dengan bayaran yang tidak sedikit. Aku harus bekerja ekstra untuk mengganti pinjaman itu."
Jadi, itu jawaban atas pertanyaan mengenai asal usul uang yang dimiliki Fajar. Uang untuk membelikanku gelang perak yang indah, membelikan Aris mainan mahal dan membelikanku buku harian itu.
"Sudah cukup, hanya aku saja yang menjalani kehidupan seperti ini. Aku ingin adikku hidup dengan baik. Aku menyekolahkannya dengan harapan masa depan yang cerah baginya. Karena menentang keputusan ayahku untuk menyerahkan Aris juga kepada Arthur, aku sering bertengkar dengannya." Mata Fajar berkilat. "Bukan tidak pernah aku memikirkan untuk berhenti dari pekerjaan ini dan pergi jauh dari sini. Namun aku masih memikirkan nasib Aris. Dia masih kecil dan harus bersekolah terus. Selama Aris belum aman, aku tidak bisa lari. Aku khawatir kalau aku berhenti, Arthur akan mengambil Aris. Jadi selama aku terus bekerja maka Aris akan aman. Jerat ini akan selamanya kutanggung seorang diri."
Saat itu air mataku sudah hampir jatuh. Mataku panas dan tenggorokanku terasa perih. Aku menahannya, karena tidak ingin membuat Fajar sedih dan semakin menjadi lemah. Aku memeluk Fajar dengan hati yang sangat pedih. Aku dibutuhkan saat ini, aku harus menjadi kekuatan baginya.
IV
Kami akan berperkara denganMu, di depan singgasanaMu, di hadapan semua malaikat, Serafim, Kerubim dan seluruh Orang Kudus. Engkau sebagai manusia juga pernah merasakan sakit dan penderitaan, maka Engkaulah yang paling mengerti segala bilur dan luka kami. Engkau yang menanamkan telinga, masakan tidak mendengar, dan Engkau yang membentuk mata, masakan tidak melihat. Kami percaya Engkau hidup!
Aku membaca sebuah tulisan di pamflet yang ditempel di dinding di samping kapel. Kali ini aku menangis. Aku berjalan menuju metro yang membawaku pulang. Acara misa Natal di kapel Karel Doorman sudah berakhir. Orang-orang sudah berlalu, payung-payung mengembang karena hujan masih rintik-rintik.
*
Aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau perbincanganku dengan Fajar saat itu adalah pertemuan kami yang terakhir.
"Jadi... Fajar hanya meninggalkan surat ini untukku, Bu?" kataku pada Bu Ratna.
"Iya, Neng. Setelah Pak Yadi meninggal mendadak karena serangan jantung, Fajar bilang akan merantau ke Palembang. Fajar menitipkan Aris pada ibu dan dia bilang akan mengirimkan uang setiap bulan untuk biaya sekolah Aris.
Di halaman aku melihat Aris sedang duduk sambil membersihkan sepeda kecilnya yang butut. Aku menghampiri Aris dan duduk di sampingnya.
"Hai, Aris baik-baik aja?" sapaku.
"Hai, Gab. Tentu saja." Sahutnya.
"Apa kamu tidak kesepian karena Mas Fajar pergi?"
"Aku kesepian, tapi Mas Fajar sekarang sedang mencari uang yang banyak. Ia ingin membahagiakan aku dan kau. Itu yang dikatakan Mas Fajar sebelum pergi. Jadi aku punya banyak harapan. Harapan Mas Fajar pulang bawa oleh-oleh." Kata Aris panjang lebar. Kepolosan anak berusia delapan tahun yang membuatku begitu terharu.
"Membahagiakan kau dan...aku?" aku bertanya lagi.
"Iya, membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Mas Fajar bilang begitu."
Aku memeluk Aris. Air mataku menitik di rambut Aris yang kecoklatan karena terbakar matahari.
Fajar tidak pernah memberikan alamat di mana dia tinggal. Namun aku tahu Fajar selalu akan baik-baik saja. Selama aku tahu bahwa Aris masih terus berharap Fajar pulang. Setahun kemudian aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Rotterdam, tempat tinggal nenekku.
Jika hujan turun di bulan Desember, Fajar akan mengunjungiku lewat irama rintik hujan. Jika kidung malam natal tiba, Fajar akan menemuiku lewat sosok patung malaikat di puncak pohon natal. Jika aku melihat bintang di langit, aku tahu, Fajar juga dapat melihat bintang yang sama. Aku tahu, kami pasti akan bertemu lagi, di suatu tempat, suatu saat.
*
Dear Gabriel,
Maaf ya, aku tidak pamit saat aku pergi.
Bukan aku tidak mau tapi aku tahu aku tidak akan bisa.
Aku berangkat ke Palembang bersama Arthur.
Aku tetap bekerja padanya. Kau tahu, aku rasanya tidak dapat lepas dari jerat ini.
Hanya masa depan Aris yang menjadi semangatku dan kau tentunya.
Suatu saat, aku akan pulang, semoga di saat itu aku akan membawa kabar gembira.
Bahwa mungkin suatu hari aku bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Ah, tidak...aku salah, yang selalu membawa kabar baik itu adalah kau, Gab.
Aku ingat Gabriel adalah nama malaikat yang membawa kabar gembira.
Suatu saat, kita pasti akan bertemu lagi.
Salam hangat,
Fajar

0 comments:

Post a Comment