IBU
memandang gunung dari beranda. Di mata beliau gunung dan juga bukit mendekat
dan mendekat, lalu merunduk. Lengkap dengan pohonan, daun, serta
batu-batunya. "Lihat, lihat!" seru ibu. "Bahkan gunung tidak
kuat menahan getar rinduku!"
Adik-adik
tercengang, saling pandang. Adik-adik merasa iba sekaligus cemas. Tapi ayah
tidak menoleh. Cuma mendengus. Bagi ayah rindu justru sesuatu yang suka ngelunjak
tak ubahnya penjajah, yang dulu ia perangi habis-habisan di masa
revolusi. Diberi kaki minta paha, diberi paha mau hati. Lantas mengebat,
mendikte, menguasai. "Padahal, orang harus bebas!" ujar ayah.
"Siap sendiri, kapan saja di mana saja. Sebab lahir dan mati juga
sendiri-sendiri!"
Terdengar
gagah, dingin, dan kukuh. Tapi sebetulnya tidak. Itu cuma semacam keangkuhan,
atau kepura-puraan lelaki belaka. Sebutlah masih bagian dari superioritas
laki-laki, yang selama ini ditonjol-tonjolkan
Nyatanya,
di hari keberangkatanku dan sebelumnya saudara-saudaraku, justru ayah yang
banyak petuah. Sementara ibu hanya menatap, seakan memetakan wajah-wajah kami
lekat-lekat dalam benak. Sekaligus menyalakan suluh pada jalan pulang, supaya
anak-anaknya tetap ingat dan tidak tersesat. Dan dalam petuahnya antara lain
disebut-sebut ayah harapan untuk mendapat surat. "Lebih afdol lagi bila dalam
tempo-tempo tak terlalu lama, kalian sendiri yang datang berkunjung,"
tambah beliau, meski tidak diucapkan dengan mata berkaca-kaca atau suara
terbata, melainkan tetap dengan rahang yang kukuh. Serta mata yang menatap
lurus.
"Mengapa
begitu, Yah?" adikku terkecil bertanya.
"Karena
itu yang tersisa bagi orang tua," sahut ayah. "Berita. Lebih-lebih
rupa, dan suara. Lainnya tentu lenyap. Milik kalian, seiring usia."
"Aku
tak mengerti, Yah."
"Kau
terlalu kecil untuk mengerti," kata ayah.
Adik
terkecil tak berkata lagi. Mungkin benar waktu itu dia masih terlalu kecil
buat mengerti. Tapi aku paham. Malah juga getar suara ayah, helaan napas,
serta sorot matanya, aku pahami.
Karena
itu, sewaktu ibu menatap gunung dan gunung di mata beliau mendekat lalu
merunduk seperti hendak sujud, ayah sebenarnya pura-pura tidak peduli. Dapat
dipastikan diam-diam ia pun menatap gunung, entah kapan dan di mana. Dan saat
ibu berucap "bahkan gunung pun tidak kuat menahan rinduku" dengan
mata gabak (lalu turun menjadi hujan, juga mengalir jadi sungai), ayah hanya
berlagak saja mendengus. Hati beliau sebenarnya kuyup bergetar, bisa jadi bak
gambaran sajak penyair Prancis itu: air mata dalam kalbuku, bagai hujan di
atas kota.
Anehnya,
menurut adikku terkecil, ibu pun bagai tidak tahu. Atau beliau pura-pura
tidak tahu, lantaran berniat menohok keangkuhan atau kepura-puraan lelaki
yang ditunjukkan ayah. "Memang," kata ibu kemudian menyindir.
"Dalam petuah lama itu ayah juga tidak disebut-sebut. Hanya: kasih anak
sejangkauan, sayang ibu sepanjang jalan."
Ayah
ketawa sumbang, tak kuasa terbahak. "Bukan di situ soalnya," ia
bilang.
"Lalu,
di mana?" ibu menantang.
"Kupikir...."
"Ini
masalah rasa," sergah ibu tangkas. "Tidak terselami oleh
pikiran."
"Ya,
ya." Ayah akhirnya manggut-manggut, tapi tampak goyah. "Kurasa...
ya, lantaran selalu dituruti, tanpa sadar bahayanya," dia bilang.
"Padahal, rindu adalah air laut, makin dahaga kalau diminum. Tidak.
Rindu adalah penjajah. Orang akan dikebat dan didiktenya bila terus
dituruti!"
"Itu
hitungan akal," jawab ibu. "Sudah kubilang, pikiran tidak akan
sampai ke sana.
Tidak mampu menyelesaikan."
"Dan
perasaan?"
"Perasaan
adalah naluri," kata ibu. "Pada makhluk tidak berakal sekalipun ada
naluri. Namun naluri paling dahsyat, mulia sekaligus nikmat, walau kadang
mendera, hanya bersemayam di hati seorang ibu. Lain pihak, tidak. Kecil saja,
sekadarnya saja. Cukup asal memiliki."
Ayah
mendengus lagi. Lalu diam memandang halaman. Ibu sendiri tampaknya sudah
puas, tidak lagi bicara, serta kembali memandang gunung. Dan menurut adikku,
sejak itu kedua orang tua kami sering terlihat saling diam, meski sama-sama
duduk di beranda. Dan terkadang malahan berdampingan.
Masing-masing
seolah sibuk sendiri. Ibu dengan mata tidak lepas memandang gunung; ayah baca
koran, buku, atau majalah. Herannya, walaupun mata ibu terlihat gabak, tapi
ketika berdua-dua begitu tak terdengar lagi beliau berucap: "Lihat,
bahkan gunung pun tak kuat menahan rinduku". Dan ayah pun, yang sedang
membaca, seperti tidak beranjak matanya dari satu halaman ke halaman lain,
bahkan dari satu kata ke kata lain.
"Keduanya
bukan hanya seperti melamun, akan tetapi juga seolah-olah tengah
menyelesaikan sesuatu yang amat berat, dan berkecamuk dalam diri
masing-masing," kata adikku.
Konon,
berhari-hari berpekan-pekan berbulan-bulan bahkan bertahun ayah dan ibu
seperti itu. Sampai uban di kepala mereka tambah banyak, dan adikku terkecil
itu tumbuh remaja, serta tinggal dia satu-satunya dari sepuluh saudaraku yang
menemani ayah dan ibu. Sedang kami semua saudaranya sudah merantau,
bertebaran di berbagai pelosok negeri dan dunia. Berkeluarga, dan juga
beranak pinak di rantau, hingga jalan pulang tinggal samar-samar saja dalam
ingatan, tak ubahnya kelap-kelip dian di gelap malam.
Lalu pada
suatu hari, dengan mata tidak juga lepas dari gunung dan bukit yang menghijau
di selatan kota
kami, terdengar ibu menarik napas. Lantas berucap lambat-lambat, bak menanam
sesuatu dalam diri: "Rindu adalah air laut. Tidak. Bukan. Rindu tidak
ubahnya penjajah...."
"Itu
tak benar!" ayah seketika menyanggah, seakan telah menyiapkan jawaban
itu sejak lama.
"Tidak
benar?" Ibu menoleh padanya, untuk pertama kali setelah sekian lama.
"Tidak
benar!" Ayah menggeleng. "Itu berlebih-lebihan. Terlalu
dibuat-buat!"
"Siapa
melebih-lebihkan? Siapa yang membuat-buat?"
"Aku."
"Ah."
Ibu mengeluh. Menarik napas. "Lantas, apa ini namanya yang mengebat dan
tiap waktu menderaku?" tanya beliau.
"Ia
memang mengebat, mungkin juga mendera, tapi tak menjajah," sahut ayah.
"Ini takdir para orang tua. Siapapun, di manapun, dan kapanpun. Inilah
takdir kita."
"Kita?"
Ibu kembali menatap ayah dengan mata tak berkedip.
"Ya,
kita!" balas ayah seolah hendak meledak. "Mengapa selama ini
berpikir, hanya semata-mata ibu yang menanggung? Amat tidak adil. Petuah lama
itu mestinya berbunyi: rindu anak setikungan, rindu orang tua sepanjang
jalan. Dan orang tua itu adalah ayah, beserta ibu."
"Ibu
beserta ayah," bilang ibu.
"Sama
saja," balas ayah. "Ibu beserta ayah juga boleh!"
Perlahan-lahan
ibu tersenyum, untuk pertama kalinya pula setelah sekian lama. Sejak mereka
biasa duduk berdua saling diam.
Kemudian
gerimis turun di kota
kami, juga kabut, sehingga segalanya berubah menjadi putih. Sebetulnya bukan
suatu yang luar biasa bagi kota
kami. Tapi kini jadi peristiwa luar biasa. Bukit dan gunung tidak lagi
kelihatan, lenyap di balik kabut serta gerimis, yang menderai bagai
jarum-jarum halus. Begitu juga rumah, gedung, kantor, pohon, daun, semua
putih. Ayah dan ibu membisu di beranda, duduk berdampingan, menyimak cuaca
dengan seksama. Wajah mereka sendu. Pun mata dua orang tua itu, terlihat
sayu. Lalu angin bertiup dan matahari mencorong pula. Alam seakan asyik
bermain warna-warna. Kini rumah-rumah tampak lagi, berwarna-warni. Gunung dan
bebukitan di selatan kota
kami muncul kembali, menyajikan warna hijau tua maupun hijau muda yang
bersih. Amat bersih, basah, dan segar.
"Lihat!
Lihat!" ucap ayah bergetar. "Bahkan bukit-bukit dan gunung pun
tidak kuat menanggung rinduku. Kini muncul mereka kembali!" Mendengar
itu ibu tak lagi terpana dan tercengang. Dipegangnya lengan ayah, ditepuknya
pelahan-lahan. Mereka lalu sama-sama memandang bukit dan gunung. Berdua. Tak
bicara, hanya berpegang tangan. Dan sampai senja.
u
"DEMIKIANLAH,
aku ceritakan semua ini lebih rinci kepadamu, seperti juga kusampaikan kepada
saudara-saudara kita yang lain," kata adikku terkecil lewat surat. "Karena
akulah saksi semua itu. Sejak berbilang tahun. Sejak kau dan saudara-saudara
kita berangkat satu-satu meninggalkan rumah, dan tak pernah kembali --atau
kalaupun ada, jarang sekali. Dan mudah-mudahan, dengan ceritaku ini dapat
lagi kau lihat suluh yang dinyalakan ibu itu pada jalan pulang. Bagiku
sendiri cahayanya tetap benderang, tidak pernah pudar."
"Penyair
terkenal itu memang pernah berujar," lanjut adikku. "Bahwa anakmu
bukanlah anakmu... dan seterusnya. Dan tanpa berniat mau jadi penyair,
tapi aku pun ingin mengatakan di sini: ibu, juga ayah, adalah hati yang
tidak lekang menunggu, kendati sadar tidak memiliki. Seperti ditulis
penyair itu, anak adalah milik kehidupan. Namun, Saudaraku, kita juga akan
menjadi tua. Dan tahu kelak, bagaimana hati yang tidak pernah lekang dalam
menunggu."
Tiba-tiba
aku sadari betapa lekasnya waktu berlalu, dan aku mabuk bergulung-gulung di
dalamnya, sibuk. Hingga masa lalu semakin sayup bagai ekor tikus. Sudah
berapa lamakah sejak aku berangkat meninggalkan rumah ibu? Ah. Dan lalu,
kini, pun terngiang ujar ayah: "Sebab hanya itu yang tersisa bagi orang
tua, Nak. Berita. Lebih-lebih rupa, dan *
Jakarta, 31 Oktober 2005
|
0 comments:
Post a Comment