Sunday, 22 June 2014

Gugur Daun Mapel


Cerpen: Abidah El Khalieq 

Post:  12/13/2004 Disimak: 135 kali
Sumber: Republika,  Edisi 12/12/2004


Musim gugur memenuhi jalanan dengan serak-serak daun mapel. Angin dingin menyusupi rongga rongga akasia, mengajaknya berdamai kembali ke tanah. Marigold dan opuntia. Beaver dan squarel yang asyik bercanda dengan maut dan sorga. Kaukah sunyi menyibak pintu apartemenku? Menyeretku keluar bergaul dalam bahasa dunia.

Sepanjang Giroard NDG, kucoba menata hatiku seperti menata butiran pasir di gurun Nufud. Pagi yang mulai dingin, saat angin membawa pasukan terkuatnya untuk merontokkan semua-mua. Kaupun tak berdaya. Masuk dalam jacket fall-mu, pasang tight dan jeans, topi serta kaus tangan, agar sedikit memiliki kenyamanan. Sebab kita bukan cemara, sang dewi 'evergreen' dari belantara. Dan aku hanyalah Nabila Al Habsyi. Mahasiswa S3 dari sebuah Universitas ternama di Kanada, Mc Gill namanya.


Agak memburu kunaiki bus 105 hingga Metro Fendome lalu naik jalur oranye, Lionel Groux, dan terakhir naik jalur hijau hingga Metro Peel. Kutajamkan sejurus pandanganku, mencari teman-teman diantara jubelan manusia dan rahasia pandangan mata mereka. Bukankah ini hari Senin? Dan kita sama-sama mengambil kuliah Etnografi? Dimana kau, Jodi? Hosam Al Musawy?

Keluar dari stasiun, aku jalan naik tiga blok melewati gedung-gedung perkantoran, Deycare, Konjen Pakistan dan gedung-gedung lain hingga mencapai kampus. Inilah Mc Gill yang indah, megah, tak memiliki raut wajah kampus yang serius dan angker. Mc Gill adalah deretan villa mewah para bangsawan kaya Kanada, yang disumbangkan untuk kepentingan ilmiah. Wajah Mc Gill benar-benar cantik oleh pelataran yang ditumbuhi callas, rosemary dan marigold yang jelita.

Lalu gedung-gedung itu dinamai seperti para penyumbangnya. Gedung Morris misalnya, berarti gedung sumbangan dari pak Morris. Gedung anggun yang dikitari barisan prajurit hijau sang 'evergreen', cemara abadi yang terus melambai, diantara musim yang terus berganti.

"Tetapi kita bukan cemara, Jod," sanggahku suatu ketika. Kami sedang duduk ngopi di Tomson House, semacam kafe, tempat kumpul dan bertemunya para International Student sembari menikmati panas spahetti, sandwich ikan tuna, salad, soup asparagus atau pizza.

"Dan ternyata, kita juga bukan rontokan daun mapel!" Jodi geram.

"Kita adalah daun mapel, yang mesti rontok di musim gugur."

"Mengapa 'mesti'?"

"Sebab ini tabiat alam. Dan kita adalah bagian dari alam."

"Oya? Alangkah indahnya jika semua manusia tahu hal ini dan mau mengakui," sinis Jodi bicara. Namun aku tak punya gairah membalasnya. Aku mengerti asal segala muara sinisnya.

Sosiawan Jodi, kekasihku yang asli kelahiran Solo ini, sudah terlalu kenyang menerima sikap kurang bersahabat dari Ayah-bunda, saat ia mencoba meminangku. Dalam tradisi komunitas Jama'ah (orang-orang keturunan Arab), aku adalah Haba-ib, keturunan Rasul yang datang dari Hadramaut, Yaman, beberapa abad silam. Silsilah nasab ini bisa dirunut dalam Buku Nasab yang dikeluarkan oleh Rabithah Alawiyah yang terjamin akuratnya. Dengan itu, gelarku adalah Syarifah, yang berarti Perempuan Terhormat.

Dalam tradisi Jamaah, perempuan Syarifah tidak bisa menikah dengan laki-laki Ahwal (Non Arab). Bahkan kalau bisa, perempuan Haba-ib menikah juga dengan laki-laki Haba-ib seperti Assegaf, Alatas, Al Jufri, Hinduan, Barakba, dan bukan laki-laki Masayekh, laki-laki keturunan Arab yang datang dari Saudi beberapa abad lampau, keturunan para Seikh seperti Nahdi, Babsel, Sungkar, Baisya dan lainnya.

Jika menikah dengan laki-laki Masayekh saja tidak disukai, apalagi dengan laki-laki Ahwal. Dan anda tahu alasan apa yang sebenarnya melatarbelakangi semua tradisi ini. Tentu orang-tua kami tidak mau nasab kami putus karena pernikahan. Nasab yang bisa dirunut hingga Rasulullah adalah kebanggaan, keutamaan. Kami menjunjungnya, menggotong kebanggaan itu kemanapun, tanpa peduli ada yang tersakiti, tanpa peduli pihak-pihak yang tersinggung dan apalagi berontak.

"Adalah lebih afdhol menikah dengan laki-laki buta tuli bisu, tapi laki-laki Jama'ah dan bukan Ahwal, sekalipun doktor, konglomerat dan gantengnya melebihi bintang film," jelas Umi pedas dan membakar. Aku terkesima. Kata-kata Umi, seperti taufan di sahara Libya. Merontokkan nyaliku menjadi serpihan aniaya.

"Kurang terpelajar apa Hasan Alaydrus. Kurang kaya mana Jamal Assegaf. Kurang populer mana Abdullah Hinduan. Semuanya terpelajar, kaya dan populer. Kau tinggal memilih diantara mereka," putus Umi. Aku kian ternganga.

"Kau pikir, apa hanya mas Jodi-mu itu yang paling terpelajar? Lihatlah laki-laki Jama'ah. Mereka juga terpelajar, Bela!?"

Terpelajar? Benarkah? Hasan Alaydrus hanya lulus Ma'had. Demikian juga Jamal Assegaf. Hanya Abdullah Hinduan yang sarjana. Dan bagi Abdullah, sarjana berarti lapangan kerja terbuka, tidak melulu buka toko dan jualan minyak wangi za'faron. Kau boleh pilih mau jadi produser film atau insinyur. Dokter, arsitek, bupati atau menteri.

"Ingat nasabmu. Ingat juga berapa umurmu sekarang!" Abi menambahkan.

Nasab? Umur? Jika saja namaku Farah Diba. Mestinya aku ini keturunan Raja Xerxes yang megah, yang lahir dipinggir padang pasir Hammada, dekat danau Niris yang terpencil, hanya bertemankan angin dan sunyi. Mungkin perangaiku lebih lincah dan jiwaku lebih merdeka, seperti adatnya pengembara. Jangan bimbang dengan siapa berteman. Jangan pusing dengan siapa akan kawin. Tetapi namaku Nabila Al Habsyi.

Diusia duapuluh-delapan tahun, seperti para Syarifah yang lain, aku masih kuliah dan tak ada yang melamarku dari kalangan Haba-ib. Kuliah diusia seperti ini amat menjengkelkan dan doktor untuk Syarifah tidaklah membanggakan.

"Sekolah tinggi-tinggi, memangnya mau jadi pemimpin revolusi atau sekedar untuk melawan suami!" kata Warda Al Habsyi, kakak tertuaku yang hanya lulusan Ma'had, setingkat SMU.

"Kau pikir jika sudah bergelar doktor, Hasan Alaydrus akan tergila-gila padamu?"

Hasan Alaydrus? Entah mengapa, setiap nama itu disebut, otakku selalu memunculkan kesan yang begitu menggelikan. Hasan Alaydrus hanyalah sebuah nama, sama seperti hashish yang disukainya. Senampan sari buah digeser dari tempatnya. Ada strawberri, nenas, buah pala, oliv dan jeruk nipis. Kau tinggal pilih. Tak suka hashish?

"Omong kosong! Dia adalah rahmat Tuhan!" kata Hasan. Maushisha-pun pindah tangan. Abu jamroh ditumpahkan ke asbak, lalu jamroh yang lain, semacam batu arang sebesar kotak silver queen itu diputus sebatang, diletakkan diatas sari buah atau shishi yang telah dilapisi aluminium voil atau margilah, jamroh dinyalakan dan jeruk nipis diperas ke dalam air maushisha yang telah bergolak dengan hebatnya. Kau lihat selang panjang itu? mereka berebut mengisapnya. Asappun menyebar dengan aroma yang kau suka, aroma arbei atau manis pala. Shishi yang bikin merana.

Jika aku jadi mempelai Hasan, kiranya tiap menit teler tak pernah siuman. Bagaimana mungkin Hasan Alaydrus lebih unggul dibanding Jodi? "Kita ini Haba-ib. Apa yang kita lakukan, Tuhan akan mengganjarnya duakali lipat dari kalangan biasa. Jika kau berbuat baik, kau akan dapat dua kali pahala sebaliknya jika berbuat jahat, dua kali lipat juga dosanya."

Apakah keunggulanku dibanding manusia lain? Apakah aku lebih cerdas, lebih cantik dan tinggi seksi dibanding perempuan lain? Jelas, Medeline Albright yang Yahudi itu lebih cerdas dan Heba El Shishi, Ratu Dunia dari Mesir itu lebih cantik dan menarik. Mestinya, Shopia Latjuba lebih tinggi dan seksi dibanding Nabila Al Habsyi. Lalu dimanakah sebenarnya keunggulanku? Keunggulan kami para Haba-ib ini?

Jika Al-Habsyi adalah tangga piramida, jika Alaydrus dan Assegaf adalah menara, aku ingin memotong tangga dan meruntuhkan menara, dengan kehormatan dan kebanggaan yang berbeda. Jika aku memperoleh gelar doktor, tentu aku boleh bangga karena semua itu kuperoleh dengan segenap usaha, peluh dan air-mata serta do'a. Total aku meraihnya. Bukan karena nasab keturunan atau anggota Jama'ah. Bagiku semua manusia itu sama, sederajat dihadapan Sang Pencipta.

Anda boleh bergabung dalam organisasi apapun dengan nama yang berbeda, tetapi hakikatnya kita adalah sama, manusia. Bukankah sah jika aku meragukan Buku Nasab? Bukan urut-urutan nama itu yang meragukan, tetapi sejauh mana kami mendapat pengakuan dari struktur masyarakat Arab yang patriarkhat, jika kami dapat bersambung turun dengan Rasul justru melalui Fatimah? Yang notabene adalah seorang perempuan? Lalu Hasan dan Husein, bukankah mereka telah tumbang di Padang Karbala? Lepas dari semuanya, Nabila Al Habsyi hanyalah manusia, sama seperti manusia lainnya.

"Jadi aku memilihmu, Jod, murni atas dasar cinta dan persamaan."

"Kau Syarifah dan aku ini siapa?"

"Manusia. Sama seperti aku kan?"

"Kalau begitu jelaskan pada Umi-mu bahwa kau bukan Yahudi dan klaim keunggulannya. Kau juga bukan Fir'aun dan piramidanya Jelaskan semuanya!"

"Mengapa kau jadi begitu membara? Bukankah kau sudah tahu pikiranku? Dan apa yang akan kita putuskan, kita berdualah aktor yang bertanggung-jawab bersama menjalaninya, mengambil resiko baik dan buruknya."

"Termasuk jika kita akan dikucilkan?"

"Itu hanyalah sebagian dari resiko. Jangan berpikir sebuah revolusi bisa dilakukan tanpa 'tumbal persembahan'. Dan persembahan paling mulia jika revolusi menyangkut pula tujuan-tujuan mulia.

Bukankah indah ini kata?" "Dan cantik pula ini punya beta?"

Hahahaha ... (Jodi merangkul Nabila Al Habsyi, rangkulan Ahwal ditubuh Haba-ib itu, adalah rangkulan paling revolusioner diabad ini).

"Jadi kuliah ini hari?"

"Bukankah setiap hari, setiap saat dari yang kita miliki adalah kuliah? Setiap tempat yang kita singgahi adalah fakultasnya? Dan alangkah luasnya kampus kehidupan kita, Jod."

"Seluas Indonesia dan Kanada?"

"Seluas pikiran kita mengembara."

Tomson House pagi ini dipenuhi canda. Saat teman-teman mulai berdatangan, Hosam Al Musawy dari Irak yang juga Haba-ib, Labib Soul dari Palestina, Vivi dari Palembang serta pasangan Fatimah dan Taufiq dari Jakarta, teman-temanku satu fakultas lain jurusan.
"Kabarnya mau menikah? Kapan?", tanya Hosam dengan mimik cemburuan. Bagaimana mungkin perempuan Haba-ib menikah dengan laki-laki Ahwal. Bukankah ada aku? pikirnya.
"Tunggu saja undangannya."

"Pesta besar nih!"

"Yah... tak lebih besar dari konfliknya," desah Jodi panjang, melirikku dengan gerah dan jenaka. Agaknya ia serius membayangkan konflik dan pernikahan yang segera kami gelar, tetap tanpa persetujuan ayah bunda.

(Ada duka begitu lama yang menyesaki dada mengingati semua. Hati yang tercacah dan jiwa yang membelah, digelayuti dukacita)

"Kawin lari atau kawin sembari berlari nih!"

"Kalau jalan ditempat, bukan kawin namanya."

"Jogging!"
Involusi. Tidak! Kami sedang ber-'revolusi'.***

Yogyakarta, 2004

0 comments:

Post a Comment