Post: 08/22/2005 Disimak: 116 kali
Cerpen: Aminullah HA.Noor
Sumber: Suara Karya, Edisi 08/21/2005
________________________________________
Salah satu rumah di kompleks
perumahan rakyat itu kini kosong-melompong, tak lagi berpenghuni. Nyaris
setahun rumah yang telah dikembangkan itu ditinggalkan penghuninya. Belum
terlalu lama, memang. Hebatnya, sekeluarga mereka pindah ke kompleks perumahan
lain tetapi masih di kota yang sama.
Sebagai seorang tetangga dekat,
pada mulanya Ramli tak mengerti benar mengapa Sentot harus menjual rumah yang
dibeli secara cicilan sejak lima belas tahun yang lampau. Persis sama halnya
seperti tetangga-tetangganya yang lain, Ramli juga cukup peduli terhadap
keluarga Sentot yang tiba-tiba pindah rumah. Ramli memang tidak berwenang apa
pun terhadap Sentot yang sebagai contoh, memindahtangankan atau mengagunkan
rumah itu untuk mendapat kredit uang di bank. Akan tetapi masalahnya adalah,
demikian Sentot sempat merenung, untuk apa lagi uang bagi seorang Sentot yang
sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri sipil?
Sebelum tinggal di kompleks
perumahan ini, beberapa lama, sebagai PNS dengan penghasilan yang jauh dari
pas-pasan, sekeluarga Sentot mengontrak sebuah paviliun, tak jauh dari kantor
tempat ia bekerja. Paling tidak demikian Ramli pernah mendapat cerita dari
Sentot ketika mereka baru saja bertetangga. Di sanalah Sentot, bersama
istrinya, sebagaimana ia kisahkan kepada Ramli, bertempat-tinggal, mengasuh,
mengasah dan membesarkan anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Dua pertama
dan si bungsu, perempuan. Dan anaknya nomor tiga laki-laki, bernama Badrun.
Untuk menambah in come yang
sangat kecil dari bulan ke bulan, Sentot sengaja mencuri-curi waktu di
kantornya dan bekerja serabutan, termasuk berjualan kecil-kecilan. Ia tak
pernah memikirkan, bahwa dengan jalan mencuri-curi waktu itu sesungguhnya ia
telah melakukan korupsi waktu terhadap pekerjaan di kantor pemerintah. Ia tetap
menggalas apa saja demi meraih sedikit untung.
Dengan keadaan fisik yang sangat
memadai, pada petang hari ia bahkan tak segan-segan bekerja mengangkat dan
memindahkan bergoni-goni beras dari truk ke dalam gudang. Dan untuk setiap
cucur keringatnya itu ia menerima upah. Dan upah tetes-keringat itu benar-benar
mampu menambah biaya harian untuk keluarganya yang tak tergolong kecil itu.
"Demi istri dan anak-anak,
aku harus bekerja apa saja," batin Sentot suatu kali, setelah mengangkat
tak kurang dari sepuluh goni beras. Ia istirahat di warung kecil dekat gudang
beras, memesan secangkir kopi dan istirahat sambil menghirup sebatang kretek .
Berhari-hari, berpekan-pekan,
berbulan-bulan dan malah bertahun-tahun Sentot menjalani kehidupan seperti itu
sebelum kemudian, sebagai PNS, ia mendapat kesempatan untuk membeli sepetak
rumah murah dengan jalan mencicil melalui pemotongan gajinya setiap bulan.
Sentot amat yakin, bahwa itulah cara terbaik baginya, barangkali satu-satunya,
agar ia memperoleh rumah.
Sebuah rumah mungil? Sebuah rumah
dengan dua atau tiga kamar tidur, satu ruang makan, satu ruang keluarga, satu
dapur dan satu kamar mandi dan sedikit pekarangan? Itulah wujud rumah yang
dirindukan Sentot sejak ia bekeluarga, dan kemudian beranak-pinak. Dan selama
ini ia memang merasakan repot dan pahitnya hidup menyewa rumah yang, tentu
saja, sedikit pun tak membahagiakannya.
Ada-ada saja masalah baru yang
diantarkan oleh pemilik rumah. Tak boleh menerima tamu terlalu malamlah,
kebersihan kamar dan pekarangan yang harus dijagalah, atau pemakaian listrik
dan air-minum yang harus dikontrollah. Pokoknya banyak tetek-bengek yang sering
diingatkan pemilik rumah.
Dan beban mental menyewa rumah
seperti itu terjadi bahkan sejak ia meninggalkan kampung-halamannya, nun, di
pinggang gunung, dan selanjutnya terdampar dan hidup di kota yang biarpun tak
tergolong besar tetapi kian hari terasa kian sesak dan sumpek.
"Sebaiknya rumah cicilan itu
kita ambil dan tempati," ujar Sentot kepada istrinya. "Selain
harganya mahal, mengontrak rumah berkepanjangan sungguh tak menyenangkan. Di
rumah kontrakan ini kadang-kadang kehidupan kita amat tertekan bahkan
terjajah," lanjutnya pasti.
* * *
Di sepetak rumah di kompleks
perumahan itu, di sanalah Sentot melanjutkan kehidupannya sekeluarga. Empat
orang anak-anaknya, sayang sekali, tak tumbuh dan berkembang secara wajar.
Kalau memang, mengapa tak seorang pun di antara mereka yang sempat mengenyam
pendidikan sebagaimana mestinya.
"Untuk apa mereka sekolah
tinggi-tinggi," ujar Sentot kepada istrinya, di ranjang, suatu malam.
"Toh, pada akhirnya mereka akan dijodohkan dan hidup bersama suami
mereka."
"Tapi bagaimana dengan
Badrun?" tanya istrinya.
Ya, bagaimana dengan Badrun?
Pertanyaan ini mengusik pikiran
Sentot. Ia sesungguhnya mengharapkan agar anaknya yang laki-laki satu-satunya
itu dapat bersekolah di tingkat yang lebih baik. Paling tidak ia mengharapkan
agar anaknya itu dapat menamatkan bangku SLTA, kalau tidak akan duduk di
perguruan tinggi.
"Kalau Badrun bisa sekolah,
tentu kehidupannya bisa lebih baik daripada kehidupan saya ini," analisis
Sentot secara sederhana pada suatu kali.
Pendapat Sentot itu tentu saja
sama sekali benar, sedikit pun tak ada yang keliru. Celakanya, sejak kecil,
sejak masa kanak-kanak, malah sejak disekolahkan di Taman Kanak-kanak, Badrun
menampakkan gejala tak berminat untuk bersekolah. Dan di TK ia suka mengganggu
dan usil terhadap teman-temannya.
Oleh karena itu beberapa kali
Sentot dipanggil oleh guru Badrun untuk berkonsultasi mengapa Badrun suka usil.
Pada suatu hari bahkan Badrun
pernah melempar temannya dengan batu, sehingga kepala temannya itu berdarah.
Persoalan tak bisa selesai hanya dengan jalan membawa korban ke puskesmas
terdekat tetapi orang-tua anak itu menuntut, menggugat sekolah dan orang-tua
Badrun.
"Badrun nakal," kata
Sentot kepada istrinya.
"Kalau begitu, stop saja
sekolah Badrun," tingkah istrinya mengambil jalan pintas. Istri Sentot
memang tak mau berpikir berbelit-belit, berpanjang-panjang dan menukik-nukik
dalam. Baginya, persoalan enteng mengapa harus disulit-sulitkan. Andai Badrun
tak berminat bersekolah, ya, menurut istri Sentot, diberhentikan saja.
Sentot memahami kemauan istrinya.
Tetapi dalam waktu bersamaan, Sentot pun menghadapi masalah putrinya tertua
yang juga sudah tak bersekolah lagi. Ternyata si putri dibawa raun-raun oleh
pacarnya, seorang kernet angkot, dan telah sepekan tidak pulang ke rumah.
Dibawa raun-raun dan sepekan tidak pulang ke rumah, menurut pendapat Sentot,
mereka melarikan diri. Entah mengapa ia mengambil kesimpulan seperti itu.
Dan, pada akhirnya, setelah salah
seorang anak gadisnya yang sempat selama tiga bulan tak diketahui di mana
rimbanya, pulang juga, maka jalan pintas yang diambil Sentot adalah menikahkan
si putri dengan sang kernet. Paling tidak, menurut Sentot, dengan demikian
urusan selesai. Selanjutnya ia memang tak pernah lagi sibuk mencari putrinya ke
sana kemari, ke dukun dan paranormal.
* * *
Akan tetapi masalah tak
sesederhana itu setelah lamat-lamat Badrun tumbuh dan berkembang menjadi
seorang yang bukan saja usil dan nakal, tetapi juga terlibat dan melibatkan
diri dengan pergaulan yang kurang menguntungkan bukan saja bagi dirinya tetapi
juga bagi orang-tuanya.
Pada mulanya dan seterusnya
Badrun menganggap kehidupan yang ia lalui menguntungkan dirinya, tetapi melalui
kacamata si ayah, masalahnya menjadi lain. Melalui kacamata umum pun masalahnya
lain.
Setelah benar-benar meninggalkan
bangku sekolah di usia sekitar sepuluh tahun dan pada waktu itu ia belum lagi
lancar membaca aksara Latin, lalu Badrun mulai bergaul dengan preman-preman
yang selain usia mereka jauh lebih tua daripada Badrun, juga mempunyai jam
terbang kepremanan yang besar.
"Apa tak cari kerja lain,
Badrun?" tanya Sentot suatu kali setelah diberi tahu, bahwa anaknya diduga
terlibat dalam pencurian kendaraan bermotor, pada mulanya di kompleks perumahan
mereka, tetapi kemudian merasuk ke kawasan lain.
"Ah, Ayah macam-macam! Kalau
Badrun nyolong motor, lalu bagaimana?" tanya Badrun enteng dan selanjutnya
memberi peringatan agar ayahnya tak ikut campur terlalu jauh dalam kegiatannya
sehari-hari. "Sudahlah, ayah. Badrun aman-aman saja. Kalau tidak, ayah
bisa repot sendiri," lanjutnya datar.
Selain sibuk dengan urusan kantor
dan ngobjek sebisa mungkin, Sentot memang alpa, persisnya tak punya waktu lagi,
untuk memperhatikan Badrun lebih jauh. Bahkan Sentot tak pernah tahu ketika
beberapa waktu kemudian Badrun yang cukup disayanginya, karena satu-satunya
putra, terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal di kompleks perumahan, dan
bahkan di sudut-sudut tertentu di kotanya.
Dan ketaktahuan Sentot itu
disirnakan oleh kedatangan aparat kepolisian mencari Badrun di rumahnya
sendiri.
"Maaf, Badrun di sini,
Pak?" tanya seorang aparat kepolisian dengan sopan.
"Tak tahu, Pak Polisi,"
jawab Tatang gugup. Dan ia tambah gugup mengetahui, bahwa anaknya kembali
terlibat dalam kriminal pencurian kendaraan bermotor.
"Kalau Badrun pulang, pak
Sentot segera lapor kepada kami, ya!" ujar petugas itu.
"Baik, Pak," jawab
Sentot menghela nafas dalam-dalam.
Ketika Badrun benar-benar pulang
ke rumah pada suatu malam, dan Sentot memberi tahu kedatangan polisi itu, malah
sebaliknya Badrun memarahi ayahnya.
"Ayah goblok, melaporkan
saya ke polisi. Bilang saja tak tahu," kata Badrun dengan nada tinggi.
Akan tetapi bagi Sentot
masalahnya ternyata menjadi pelik dan ruwet ketika aparat kepolisian
benar-benar berhasil menangkap para pencuri kendaraan bermotor. Salah seorang
di antaranya, sebagaimana Sentot bisa membacanya di sejumlah suratkabar, adalah
anaknya sendiri, Badrun. Sekarang Badrun ditahan di ruang tahanan polisi resor
kota.
"Ayah harus mengeluarkan
saya dari ruang tahanan ini," pinta Badrun dengan air-mata menggenang.
"Saya tak tahan disiksa setiap tengah malam."
"Bagaimana caranya
mengeluarkan, Nak?" tanya Sentot jujur.
"Dengan uang, ayah!"
Badrun berbisik.
Dengan uang? tanya Sentot, dalam
hati.
Sentot tak mengerti bagaimana
caranya mengeluarkan anaknya dari tahanan polisi itu dan apa hubungannya dengan
uang. Dari anaknya, kemudian ia menerima penjelasan, bahwa tak ada jalan lain
kecuali ia harus menyediakan uang puluhan juta rupiah. Paling tidak dua puluh
lima juta rupiah! Dengan uang itu ada jaminan, Badrun bisa bebas dan
selanjutnya diminta untuk melarikan diri ke ibukota atau ke kota lain.
Dan setelah berdiskusi dengan
istrinya, pada akhirnya Sentot mengambil kesimpulan, banhwa uang yang
diperlukan itu harus diadakan. Untuk mengadakannya, tak ada jalan lain, kecuali
rumah yang ia tempati sekeluarga itu dijual. Dan hal itu benar-benar dilakukan
Sentot sehingga kemudian ia harus mengontrak rumah lagi dan, setelah keluar
dari tahanan, Badrun menghilang entah ke mana.
Secara pasti lalu sekeluarga
Sentot kembali hidup seperti semula, kembali mengontrak kamar, biarpun
anak-anaknya memilih hidup dengan cara lain. Ada yang mengikuti suami, dan ada
yang berusaha hidup mandiri. Dan, bersama istrinya, Sentot menempuh sisa usia
dengan gaman. ***
* Jakarta, Juli 2005
0 comments:
Post a Comment