Tuesday, 24 June 2014

Mas Sentot



Post:  08/22/2005 Disimak: 116 kali
Cerpen: Aminullah HA.Noor 
Sumber: Suara Karya,  Edisi 08/21/2005
________________________________________
Salah satu rumah di kompleks perumahan rakyat itu kini kosong-melompong, tak lagi berpenghuni. Nyaris setahun rumah yang telah dikembangkan itu ditinggalkan penghuninya. Belum terlalu lama, memang. Hebatnya, sekeluarga mereka pindah ke kompleks perumahan lain tetapi masih di kota yang sama.
Sebagai seorang tetangga dekat, pada mulanya Ramli tak mengerti benar mengapa Sentot harus menjual rumah yang dibeli secara cicilan sejak lima belas tahun yang lampau. Persis sama halnya seperti tetangga-tetangganya yang lain, Ramli juga cukup peduli terhadap keluarga Sentot yang tiba-tiba pindah rumah. Ramli memang tidak berwenang apa pun terhadap Sentot yang sebagai contoh, memindahtangankan atau mengagunkan rumah itu untuk mendapat kredit uang di bank. Akan tetapi masalahnya adalah, demikian Sentot sempat merenung, untuk apa lagi uang bagi seorang Sentot yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri sipil?

Sebelum tinggal di kompleks perumahan ini, beberapa lama, sebagai PNS dengan penghasilan yang jauh dari pas-pasan, sekeluarga Sentot mengontrak sebuah paviliun, tak jauh dari kantor tempat ia bekerja. Paling tidak demikian Ramli pernah mendapat cerita dari Sentot ketika mereka baru saja bertetangga. Di sanalah Sentot, bersama istrinya, sebagaimana ia kisahkan kepada Ramli, bertempat-tinggal, mengasuh, mengasah dan membesarkan anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Dua pertama dan si bungsu, perempuan. Dan anaknya nomor tiga laki-laki, bernama Badrun.
Untuk menambah in come yang sangat kecil dari bulan ke bulan, Sentot sengaja mencuri-curi waktu di kantornya dan bekerja serabutan, termasuk berjualan kecil-kecilan. Ia tak pernah memikirkan, bahwa dengan jalan mencuri-curi waktu itu sesungguhnya ia telah melakukan korupsi waktu terhadap pekerjaan di kantor pemerintah. Ia tetap menggalas apa saja demi meraih sedikit untung.
Dengan keadaan fisik yang sangat memadai, pada petang hari ia bahkan tak segan-segan bekerja mengangkat dan memindahkan bergoni-goni beras dari truk ke dalam gudang. Dan untuk setiap cucur keringatnya itu ia menerima upah. Dan upah tetes-keringat itu benar-benar mampu menambah biaya harian untuk keluarganya yang tak tergolong kecil itu.
"Demi istri dan anak-anak, aku harus bekerja apa saja," batin Sentot suatu kali, setelah mengangkat tak kurang dari sepuluh goni beras. Ia istirahat di warung kecil dekat gudang beras, memesan secangkir kopi dan istirahat sambil menghirup sebatang kretek .
Berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan dan malah bertahun-tahun Sentot menjalani kehidupan seperti itu sebelum kemudian, sebagai PNS, ia mendapat kesempatan untuk membeli sepetak rumah murah dengan jalan mencicil melalui pemotongan gajinya setiap bulan. Sentot amat yakin, bahwa itulah cara terbaik baginya, barangkali satu-satunya, agar ia memperoleh rumah.
Sebuah rumah mungil? Sebuah rumah dengan dua atau tiga kamar tidur, satu ruang makan, satu ruang keluarga, satu dapur dan satu kamar mandi dan sedikit pekarangan? Itulah wujud rumah yang dirindukan Sentot sejak ia bekeluarga, dan kemudian beranak-pinak. Dan selama ini ia memang merasakan repot dan pahitnya hidup menyewa rumah yang, tentu saja, sedikit pun tak membahagiakannya.
Ada-ada saja masalah baru yang diantarkan oleh pemilik rumah. Tak boleh menerima tamu terlalu malamlah, kebersihan kamar dan pekarangan yang harus dijagalah, atau pemakaian listrik dan air-minum yang harus dikontrollah. Pokoknya banyak tetek-bengek yang sering diingatkan pemilik rumah.
Dan beban mental menyewa rumah seperti itu terjadi bahkan sejak ia meninggalkan kampung-halamannya, nun, di pinggang gunung, dan selanjutnya terdampar dan hidup di kota yang biarpun tak tergolong besar tetapi kian hari terasa kian sesak dan sumpek.
"Sebaiknya rumah cicilan itu kita ambil dan tempati," ujar Sentot kepada istrinya. "Selain harganya mahal, mengontrak rumah berkepanjangan sungguh tak menyenangkan. Di rumah kontrakan ini kadang-kadang kehidupan kita amat tertekan bahkan terjajah," lanjutnya pasti.
* * *
Di sepetak rumah di kompleks perumahan itu, di sanalah Sentot melanjutkan kehidupannya sekeluarga. Empat orang anak-anaknya, sayang sekali, tak tumbuh dan berkembang secara wajar. Kalau memang, mengapa tak seorang pun di antara mereka yang sempat mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.
"Untuk apa mereka sekolah tinggi-tinggi," ujar Sentot kepada istrinya, di ranjang, suatu malam. "Toh, pada akhirnya mereka akan dijodohkan dan hidup bersama suami mereka."
"Tapi bagaimana dengan Badrun?" tanya istrinya.
Ya, bagaimana dengan Badrun?
Pertanyaan ini mengusik pikiran Sentot. Ia sesungguhnya mengharapkan agar anaknya yang laki-laki satu-satunya itu dapat bersekolah di tingkat yang lebih baik. Paling tidak ia mengharapkan agar anaknya itu dapat menamatkan bangku SLTA, kalau tidak akan duduk di perguruan tinggi.
"Kalau Badrun bisa sekolah, tentu kehidupannya bisa lebih baik daripada kehidupan saya ini," analisis Sentot secara sederhana pada suatu kali.
Pendapat Sentot itu tentu saja sama sekali benar, sedikit pun tak ada yang keliru. Celakanya, sejak kecil, sejak masa kanak-kanak, malah sejak disekolahkan di Taman Kanak-kanak, Badrun menampakkan gejala tak berminat untuk bersekolah. Dan di TK ia suka mengganggu dan usil terhadap teman-temannya.
Oleh karena itu beberapa kali Sentot dipanggil oleh guru Badrun untuk berkonsultasi mengapa Badrun suka usil.
Pada suatu hari bahkan Badrun pernah melempar temannya dengan batu, sehingga kepala temannya itu berdarah. Persoalan tak bisa selesai hanya dengan jalan membawa korban ke puskesmas terdekat tetapi orang-tua anak itu menuntut, menggugat sekolah dan orang-tua Badrun.
"Badrun nakal," kata Sentot kepada istrinya.
"Kalau begitu, stop saja sekolah Badrun," tingkah istrinya mengambil jalan pintas. Istri Sentot memang tak mau berpikir berbelit-belit, berpanjang-panjang dan menukik-nukik dalam. Baginya, persoalan enteng mengapa harus disulit-sulitkan. Andai Badrun tak berminat bersekolah, ya, menurut istri Sentot, diberhentikan saja.
Sentot memahami kemauan istrinya. Tetapi dalam waktu bersamaan, Sentot pun menghadapi masalah putrinya tertua yang juga sudah tak bersekolah lagi. Ternyata si putri dibawa raun-raun oleh pacarnya, seorang kernet angkot, dan telah sepekan tidak pulang ke rumah. Dibawa raun-raun dan sepekan tidak pulang ke rumah, menurut pendapat Sentot, mereka melarikan diri. Entah mengapa ia mengambil kesimpulan seperti itu.
Dan, pada akhirnya, setelah salah seorang anak gadisnya yang sempat selama tiga bulan tak diketahui di mana rimbanya, pulang juga, maka jalan pintas yang diambil Sentot adalah menikahkan si putri dengan sang kernet. Paling tidak, menurut Sentot, dengan demikian urusan selesai. Selanjutnya ia memang tak pernah lagi sibuk mencari putrinya ke sana kemari, ke dukun dan paranormal.
* * *
Akan tetapi masalah tak sesederhana itu setelah lamat-lamat Badrun tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang bukan saja usil dan nakal, tetapi juga terlibat dan melibatkan diri dengan pergaulan yang kurang menguntungkan bukan saja bagi dirinya tetapi juga bagi orang-tuanya.
Pada mulanya dan seterusnya Badrun menganggap kehidupan yang ia lalui menguntungkan dirinya, tetapi melalui kacamata si ayah, masalahnya menjadi lain. Melalui kacamata umum pun masalahnya lain.
Setelah benar-benar meninggalkan bangku sekolah di usia sekitar sepuluh tahun dan pada waktu itu ia belum lagi lancar membaca aksara Latin, lalu Badrun mulai bergaul dengan preman-preman yang selain usia mereka jauh lebih tua daripada Badrun, juga mempunyai jam terbang kepremanan yang besar.
"Apa tak cari kerja lain, Badrun?" tanya Sentot suatu kali setelah diberi tahu, bahwa anaknya diduga terlibat dalam pencurian kendaraan bermotor, pada mulanya di kompleks perumahan mereka, tetapi kemudian merasuk ke kawasan lain.
"Ah, Ayah macam-macam! Kalau Badrun nyolong motor, lalu bagaimana?" tanya Badrun enteng dan selanjutnya memberi peringatan agar ayahnya tak ikut campur terlalu jauh dalam kegiatannya sehari-hari. "Sudahlah, ayah. Badrun aman-aman saja. Kalau tidak, ayah bisa repot sendiri," lanjutnya datar.
Selain sibuk dengan urusan kantor dan ngobjek sebisa mungkin, Sentot memang alpa, persisnya tak punya waktu lagi, untuk memperhatikan Badrun lebih jauh. Bahkan Sentot tak pernah tahu ketika beberapa waktu kemudian Badrun yang cukup disayanginya, karena satu-satunya putra, terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal di kompleks perumahan, dan bahkan di sudut-sudut tertentu di kotanya.
Dan ketaktahuan Sentot itu disirnakan oleh kedatangan aparat kepolisian mencari Badrun di rumahnya sendiri.
"Maaf, Badrun di sini, Pak?" tanya seorang aparat kepolisian dengan sopan.
"Tak tahu, Pak Polisi," jawab Tatang gugup. Dan ia tambah gugup mengetahui, bahwa anaknya kembali terlibat dalam kriminal pencurian kendaraan bermotor.
"Kalau Badrun pulang, pak Sentot segera lapor kepada kami, ya!" ujar petugas itu.
"Baik, Pak," jawab Sentot menghela nafas dalam-dalam.
Ketika Badrun benar-benar pulang ke rumah pada suatu malam, dan Sentot memberi tahu kedatangan polisi itu, malah sebaliknya Badrun memarahi ayahnya.
"Ayah goblok, melaporkan saya ke polisi. Bilang saja tak tahu," kata Badrun dengan nada tinggi.
Akan tetapi bagi Sentot masalahnya ternyata menjadi pelik dan ruwet ketika aparat kepolisian benar-benar berhasil menangkap para pencuri kendaraan bermotor. Salah seorang di antaranya, sebagaimana Sentot bisa membacanya di sejumlah suratkabar, adalah anaknya sendiri, Badrun. Sekarang Badrun ditahan di ruang tahanan polisi resor kota.
"Ayah harus mengeluarkan saya dari ruang tahanan ini," pinta Badrun dengan air-mata menggenang. "Saya tak tahan disiksa setiap tengah malam."
"Bagaimana caranya mengeluarkan, Nak?" tanya Sentot jujur.
"Dengan uang, ayah!" Badrun berbisik.
Dengan uang? tanya Sentot, dalam hati.
Sentot tak mengerti bagaimana caranya mengeluarkan anaknya dari tahanan polisi itu dan apa hubungannya dengan uang. Dari anaknya, kemudian ia menerima penjelasan, bahwa tak ada jalan lain kecuali ia harus menyediakan uang puluhan juta rupiah. Paling tidak dua puluh lima juta rupiah! Dengan uang itu ada jaminan, Badrun bisa bebas dan selanjutnya diminta untuk melarikan diri ke ibukota atau ke kota lain.
Dan setelah berdiskusi dengan istrinya, pada akhirnya Sentot mengambil kesimpulan, banhwa uang yang diperlukan itu harus diadakan. Untuk mengadakannya, tak ada jalan lain, kecuali rumah yang ia tempati sekeluarga itu dijual. Dan hal itu benar-benar dilakukan Sentot sehingga kemudian ia harus mengontrak rumah lagi dan, setelah keluar dari tahanan, Badrun menghilang entah ke mana.
Secara pasti lalu sekeluarga Sentot kembali hidup seperti semula, kembali mengontrak kamar, biarpun anak-anaknya memilih hidup dengan cara lain. Ada yang mengikuti suami, dan ada yang berusaha hidup mandiri. Dan, bersama istrinya, Sentot menempuh sisa usia dengan gaman. ***
* Jakarta, Juli 2005

0 comments:

Post a Comment