This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 24 June 2014

Di Balik Gemerlap Podium


02 Januari 2006 - 01:29   (Diposting oleh: redaksi)

Cerpen Karya Arnette Harjanto

Cahaya spot light yang menyala terang jatuh tepat di wajahku. Di sampingku duduk seorang renta. Namun, sorot matanya memancarkan kepribadian yang kuat - bila tidak mau disebut keras kepala. Senyumnyapun terkembang, membuat wajahnya berseri-seri. Orang tua itu adalah bapakku, bapak yang menghilang dari kehidupan kami selama 14 tahun, yang membuat aku, ibu, dan keenam saudaraku membanting tulang mencari sesuap nasi.
Kini orang tua itu telah kembali. Dan di sinilah kami saat ini berada - aku, bapak, dan ibu – di Denmark, di bawah sorotan lampu-lampu besar, di bawah tatapan berpasang-pasang mata kagum. Dinding Ballroom tempat kami berada dihiasi lukisan-lukisan bapak yang berhasil disembunyikan pada masa Orde Lama. Malam ini bapak akan menerima penghargaan dari Denmark, penghargaan yang tak pernah diberikan ibu pertiwi.

Tukang Jahit


Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Pikiran Rakyat,  Edisi 10/29/2005  Post:  10/31/2005 Disimak: 157 kali

DENDAM yang sekian lama kupendam-pendam, tak lama lagi agaknya bakal terlunaskan. Aku telah menyelesaikan halaman terakhir ceritaku. Sungguh perjuangan yang tidak ringan untuk sampai di halaman terakhir. Harus melewati malam-malam penuh penderitaan. Akan langsung kutonjok mukanya bila ia mengatakan bahwa aku hanya seorang tukang jahit; tidak punya ide orisinal dan hanya menjahit cerita-cerita yang ditulis pengarang lain. Ia harus mengakui tak ada pengarang lain yang pernah menggarap cerita yang kutulis kali ini. Aku bertekad benar-benar menggampar mukanya, kalau perlu meludahinya sekalian, bila dia masih berani mengejek karangan ini. Kurasa tak perlu lagi mempertimbangkan perkawanan kami.

Sumirah


Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Suara Karya,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 107 kali


Sumirah memasukkan beberapa potong pakaian yang dianggapnya masih bagus ke dalam tas, bersama lipstik, sisir, jepit rambut, cermin kecil, handbody dan sebuah tetris yang ia beli untuk adiknya. Kalung emas pemberian Tuan dan uang gaji tiga bulan ia simpan dalam dompet yang diselipkan di kantong celana.
Ia merasa tak perlu membawa serta jam weker mungil berbentuk gajah berwarna merah jambu yang dibelikan Nyonya. Jam weker yang setiap subuh berdering membangunkanya. Sumirah sebetulnya menyukai bentuknya yang lucu. Tapi benci jika ingat bunyinya yang sangat nyaring membuat jantungnya berdebar keras seperti mau pecah. Sumirah pernah hampir membantingnya seandainya tak ingat Nyonya yang menyetelnya demikian. Nyonya memang keterlaluan. Padahal tanpa dibunyikan pun Sumirah bisa bangun tepat waktu. Sejenak ia meraba perutnya, ia merasakan ada yang bergerak-gerak di sana.

Sebuah Jalan



Cerita Aris Kurniawan
 TUESDAY, AUGUST 30, 2005


Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.

Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.

Perempuan di Bangku Halte


Post:  03/21/2006 Disimak: 5 kali
Cerpen: Aris Kurniawan 
Sumber: Lampung post,  Edisi 03/19/2006 

JALANAN sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakaan semua ini.

Penantian Karmin




Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Suara Pembaruan,  Edisi 10/30/2005  Post:  10/31/2005 Disimak: 181 kali

Karmin duduk di tunggul pohon kelapa itu. Malam baru saja rampung. Fajar yang cemerlang telah merobek kelam di ufuk timur. Permukaan lautan bagai cermin raksasa yang bergoyang-goyang. Karmin duduk mencangkung, matanya menatap cakrawala yang telah bertemu dengan lautan di ujung sana. Di kejauhan perahu-perahu tampak timbul tenggelam bagai perahu mainan Karmin dulu.
Perlahan-lahan matahari muncul dengan kemilau cahayanya menyilaukan. Melihat matahari itu Karmin selalu teringat Sumirah yang tengah dinantinya. Sumirah selalu ngomong, "Bila matahri muncul, itu tandanya kamu harus berkemas menjemputku.

Nokturno



Sunday, May 02, 2004 
Cerpen Aris Kurniawan

Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.

Kakek Marijan



Cerpen: Aris Kurniawan
 SUNDAY, AUGUST 22, 2004


Got meluap. Bangkai tikus sebesar kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumbat kental. Maghrib. Deretan gubuk mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air. Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kakek Marijan terengah. Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka membiru tengkurap di sisi bak.

Kakek Marijan mengelap keringat yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucunya itu. Dimasukkan ke dalam karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turun lagi dan langit makin pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam gerobak, dan perlahan menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda gerobak seperti menggelinding di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebetulnya sangat disayanginya, terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun sakit karena nyawanya telah melayang.

Sepintas Lalu


(Paul Sintli Joyodigimin 2)

Cerpen Aribowo
MONDAY, JANUARY 17, 2005


Sepintas lalu Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu di pojok cafe Tunjungan Plasa, di satu siang yang panas. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu ketawa manja di pangkuan seorang laki-laki hitam besar. Dia dikelilingi 4 laki-laki bertubuh besar. Para laki-laki itu sebentar-sebentar ketawa sambil mencubit manja perempuan itu. Dari jarak jauh Paul Sintli melihat perempuan itu bagai boneka Barbie yang sedang ditimang-timang 5 laki-laki. Tubuhnya seolah dilemparkan dari satu tangan ke tangan besar lainnya disertai gelak tawa yang keras. Tubuh perempuan itu bagai kapas: dilempar-lemparkan, digoyang-goyang, dicubit-cubit, dan digendong-gendong. Dalam pandangan sepintas lalu itu Paul Sintli Joyodigimin merasa seperti menonton film. Tapi entah film apa. Entah sesuatu yang lain apa, sesuatu yang riang apa, sesuatu entah apa dan di mana.

Arloji Saku



Post:  10/25/2005 Disimak: 141 kali
Cerpen: Ari Setya Ardhi 
Sumber: Riau Pos,  Edisi 10/23/2005 
________________________________________
TIBA-TIBA saja pandanganku menjadi nanar. Pepohonan karet di luar jendela seakan berputaran dengan deras. Wanita tua itu masih tetap berteriak dengan lantang. Sementara tiga orang pasukan pamong praja bersikeras menyeret wanita itu keluar ruang balai desa.
‘’Keadilan harus ditegakkan. Rakyat harus menang,” suara wanita tua itu masih terdengar fasih dan lantang sembari menyebut-sebut berbagai nama kepenguasaan dalam caci-maki yang membaur dengan ludah dan air liur yang muncrat ke mana-mana. Kata-kata penjara menjadi liar berlompatan.
Semakin kencang ia berteriak, kian bersemangat para pamong praja bergaya tentara itu menarik tubuh rentanya, kendati terkesan ringkih namun tetap bertenaga binal itu.
Sementara, di kediaman sebuah sudut kursi kehormatan para wak

Gampong




Cerpen Arafat Nur
Dimuat di Republika  02/10/2008 Telah Disimak 255 kali

Sayup-sayup terdengar kumandang azan Ashar dari masjid tua di perkampungan kumuh itu. Suara yang tak punya fariasi dan menonon terdengar setiap masuk waktu shalat. Suara siapa lagi, kalau bukan suara Pak Imam masjid itu, yang semua giginya telah tiada. Namun, tak seorang pendengar pun tergugah atas panggilan shalat itu. Kecuali, dua tiga orang tua yang menjadi jamaah tetap di sana.

Memang telah demikian keadaan masyarakat di kampung itu dari waktu ke waktu. Nyaris tak ada perubahan. Kecuali, bangunannya yang semakin mengkhawatirkan. Dinding papannya sudah lapuk dimakan rayap. Beberapa papan telah terlepas dari tiang. Atap sengnya pun telah banyak yang bocor, sehingga tiap kali turun hujan, air menggenangi lantai. Namun, tak seorang pun peduli, kecuali, Pak Imam tua itu.

Tepat Jam Dua!



Post:  03/13/2006 Disimak: 120 kali
Cerpen: Antoni 
Sumber: Jawa Pos,  Edisi 03/12/2006 

9 DESEMBER 1996. Jakarta hujan deras. Simpang empat Tugu Pancoran banjir. Airnya meluap memenuhi trotoar. Beberapa mobil dan motor yang terjebak, dibiarkan terbengkelai oleh pemiliknya. Tampak sebuah derek, sibuk menarik sedan mewah built up Jerman, ke selatan. Di tikungan jalan, mesin derek itu terbatuk-batuk, seperempat knalpotnya sudah terendam air. Hampir saja macet. Namun sejurus kemudian, melaju lagi.

Sedan hitam antipeluru itu kosong. Beberapa menit lalu, pengemudi dan dua penumpangnya dijemput sekelompok orang bermantel panjang, berhelm kaca, lalu dilarikan ke gedung perkantoran tidak jauh dari lokasi. Kedua penumpangnya, seorang lelaki paruh baya dan pemuda berambut sebahu, langsung dibawa ke helipad di atap gedung. Mereka diterbangkan helikopter menuju hotel bintang lima, di kawasan Sudirman.

Sang Pengembara


Cerpen: Antoni
 SUNDAY, APRIL 17, 2005


CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

Dambala of Telekinetik


Cerpen: Antoni 

Sumber: Jawa Pos,  Edisi 12/04/2005 Post:  12/06/2005 Disimak: 103 kali
________________________________________
Sejurus ia tercenung. 500 meter dari tempatnya berdiri, terlihat bangkai helikopter masih dikepung api. Beberapa detik lalu, heli itu meledak, terjatuh dari ketinggian 10 ribu kaki. Sebelum tergolek di bibir pantai, moncongnya menghantam karang, terbanting-banting, meledak berkeping-keping. Dapat dipastikan, dua penumpangnya tewas. Satu pilot dan satu mekanik jet tempur.

Sebelum beranjak pergi, ia melakukan re-check dengan teropong kecil yang selalu disimpan di saku baju dalamnya. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia bernapas lega. Sekali lagi, matanya menyapu seluruh pantai, memastikan tidak ada yang melihatnya berdiri di atas bukit batu 37 derajat dari arah matahari yang mulai muncul di ufuk timur. Posisinya berlindung memang sangat menguntungkan. Celah batu karang itu tidak pernah diperkirakan bisa dimuati satu orang dewasa.

Taruhan


 
Anton Chekov
Republika edisi 18 Juni 2000


Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan-percakapan yang menarik di sana.

Di antara hal-hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman tersebut. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.

Kesedihan



Anton Pavlowich Chekov

Kompas, Minggu, 21 Juli 2002

KERAMAIAN senja. Salju basah yang lebat dengan malas terbang mengitari nyala lentera yang baru saja dinyalakan, dan perlahan-lahan hinggap dengan lembut pada atap, punggung kuda, pundak dan topi-topi. Iona Potapov, sang kusir, telah lama memutih karenanya. Ia bertekuk-sejauh mana badan makhluk hidup bisa melakukannya- duduk di atas kursi kereta dan tak bergerak. Tumpukan salju telah menimbuninya. Walaupun demikian pada saat itu seakan-akan ia tidak menemukan alasan untuk mengibaskan salju dari dirinya....Kuda betinanya juga memutih dan bergeming. Dengan bentuk-bentuk kaki yang ceking dan kaku, dia mirip permen jahe. Sang kuda barangkali tenggelam dalam pikirannya. Kuda mana pun-yang dipisahkan dari weluku, dari lukisan-lukisan alam nan biru, kemudian terbuang pada jeram yang dipenuhi dengan nyala api yang mengerikan, gemerisik yang bising dan hiruk-pikuk manusia-maka mau tak mau akan berpikir.

Selamat Datang di Negri Fir’aun, Tuan-Tuan!



18 December 2005 (Read 532 times)
  
"Tempat untuk berbahagia itu di sini. Waktu untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia."

— Robert G. Ingersoll

Sebuah bangungan menterang, Istana para pembesar kerajaan yang penuh dengan perabotan dan hiasan-hiasan, dilapisi permadani tebal. Di ujung permadani terletak sebuah kursi besar tempat Jahoti duduk dengan gagah, dikelilingi dayang-dayang. Di belakangnya salah seorang dayang duduk sambil menggerak-gerakkan kipas besar, sedangkan di depannya Auni berdiri penuh hormat. Para pelayan lalu-lalang mengantarkan jamuan. Di sebelah depan berderet kursi saling berhadapan di sisi permadani. Para punggawa dan pembesar kerajaan duduk dengan sopan. Beberapa orang masih tampak berdiri menunggu titah raja. "Duduk!" perintah Jahoti. Perlahan-lahan Auni beringsut lalu duduk di kursi paling depan. Para pembesar dengan hati-hati melangkah mundur dan kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan.

Martini Pulang Pagi


 
Cerpen
Dimuat di Seputar Indonesia  00/00/0000 Telah Disimak 307 kali


Begitu mendekati mulut lorong yang menuju ke rumah kontrakannya, Martini bilang kepada Mamang, tukang ojek langganannya, ?Stop di sini saja, Mang !? ?Lho, kok tidak sampai ke depan rumah, mBak ?? tanya Mamang.

?Gila kamu ! Lihat,dong,pukul berapa sekarang ! Suara motormu yang berisik kayak lampor ini akan mengganggu tidur orang-orang, tahu ?!? Bisa-bisa kamu nanti dikeroyok orang sekampung !? ?Ah, mBak bisa aja !? kata Mamang, sambil mengerem motornya rada mendadak, menyebabkan Martini terdorong keras ke depan,hingga dia terpaksa merangkul tubuh si tukang ojek yang dibalut jaket tebal itu, agar tidak terpelanting dari boncengan motor. ?Hey, hati-hati kamu, Mang ! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, ya?!?? kata Martini sewot, sambil menepuk bahu Mamang keras-keras.

Bagian Yang Hilang



Anindita Siswanto Thayf

Cerpen Khas Ranesi

05-12-2005
Kau selalu menunggu musim semi. Musim yang menghijaukan pohon, katamu. Menumbuhkan bunga. Menghangatkan tanah. Menceriakan semesta. Membangunkan yang lelap. Mencairkan yang beku mengendap. Membuat semangatmu bangkit kembali. Kau merasa muda lagi. Hasratmu tak jadi mati.
Di siang yang panjang itu, kau biasa terlihat duduk di teras depan rumahmu yang rindang dan nyaman sambil menikmati udara yang hangat. Senyummu tak pernah lepas. Matamu memandang awas. Wajahmu merah segar. Tubuhmu rentamu tampak bugar. Kau menyapa matahari. Menghirup aroma kuntum tulip. Menikmati desau angin. Mendengarkan burung bernyanyi. Kau merayakan musim semi dengan caramu sendiri, bersama ia. Isterimu tercinta, Elsye. Tapi, itu tahun lalu.

Setangkai Melati Patah di Balik Senja



Cerpen :  Ani Sakurano
Dikemas 11/04/2004 oleh Editor


Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyumku. Tak seorangpun mendapatkannya lagi. Aku telah mempersembahkannya hanya untukmu kasih. Tapi kini engkau telah tergolek diam dalam keabadian. Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja pada nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang mematahkan tangkaimu.
Palgunadi termenung di teras belakang rumahnya. Ini adalah untuk kesekian dia membaca cerpen dengan judul frase "senja", seperti yang barusan dia baca "Setangkai Melati Senja untuk Kasihku" [1] di sebuah harian ibu kota. Selalu judul dengan senja itulah yang dipilih oleh Melati si penulis cerpen. Palgunadi hampir hafal seluruh judul cerpen-cerpennya mulai dari menjaring senja di puncak monas, senja di atas danau Biwa, senja di ujung penantian, senja di dua kota, dan senja-senja lainnya.

Lontarak


Cerpen: Andi Suruji

Post:  05/24/2004 Disimak: 70 kali
 Sumber: Kompas,  Edisi 05/23/2004

TIDAK jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.
WAJAH KAKAK sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya.

Tukang Kayu dan Pinokio


 
Cerpen An Ismanto
 
SETIAP pagi Ruben bangun tidur diiringi suara berderit yang terdengar seperti gerit pintu rusak. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya, dari tulang-tulang uzur yang berjuang keras menuruti keinginan untuk meninggalkan dipan dan segera memulai hidup. Sejenak ia tertegun, lalu beranjak turun dari dipan dengan mengerahkan seluruh tenaga, diringi suara deritan yang kian menjerit. Ketika berhasil berdiri di sisi dipan, sekujur tubuhnya menggigil dan sempoyongan.
Saat hendak membuka pintu kamar, Ruben tak bisa menghindar dari tatapan seorang lelaki tua, seorang kakek, yang terpana kepadanya dari dalam cermin yang tergantung di pintu. Wajah itu tampak tua sekali. Kanal-kanal tandus menggurat dahi dan pipi. Helai-helai uban berebutan menyembul di rambut tipis yang dipotong pendek. Di bawah hidungnya melintang kumis tipis yang juga ubanan. Ruben memandang benci kepada kakek itu, dan kakek itu balas menatap dengan kebencian setimpal.

Jerit Kesakitan


 
Cerpen An. Ismanto
Dimuat di Seputar Indonesia  11/11/2007 Telah Disimak 735 kali


Acara sinetron di televisi baru saja akan dimulai,tetapi Marni sudah tergopoh-gopoh berpamitan.Bu Santi, yang sudah maklum,memberi Marni dua bungkus nasi berlauk gurame goreng. Setelah mengucapkan terima kasih,Marni buru-buru pulang.

SETIBA di rumahnya, yang berdinding separuh bata separuh papan, dia langsung menuju dapur dan meletakkan makanan pemberian Bu Santi di atas meja.Dia akan makan nanti bersama Marjo kalau dia sudah pulang. Kemudian,dia ke kamar tidur dan telentang di dipan.

Pada Sebuah Trem


Cerpen: Aminullah HA.Noor

Post:  01/12/2006 Disimak: 61 kali
Sumber: Suara Karya,  Edisi 01/08/2006
________________________________________
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing dan ayam. Hari panas dan orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan teras. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam trem susah bernapas. Tapi orang merokok juga, menghilang bau keringat dan terasi. Seorang perempuan muda, Belanda Indo, mengambil sapu tangannya, kecil sebagai daun pembungkus lemper, dihirupnya udara di sapu tangannya, lalu katanya, "Siapa lagi yang membawa terasi ke atas trem, ini kan kelas satu."

Mas Sentot



Post:  08/22/2005 Disimak: 116 kali
Cerpen: Aminullah HA.Noor 
Sumber: Suara Karya,  Edisi 08/21/2005
________________________________________
Salah satu rumah di kompleks perumahan rakyat itu kini kosong-melompong, tak lagi berpenghuni. Nyaris setahun rumah yang telah dikembangkan itu ditinggalkan penghuninya. Belum terlalu lama, memang. Hebatnya, sekeluarga mereka pindah ke kompleks perumahan lain tetapi masih di kota yang sama.
Sebagai seorang tetangga dekat, pada mulanya Ramli tak mengerti benar mengapa Sentot harus menjual rumah yang dibeli secara cicilan sejak lima belas tahun yang lampau. Persis sama halnya seperti tetangga-tetangganya yang lain, Ramli juga cukup peduli terhadap keluarga Sentot yang tiba-tiba pindah rumah. Ramli memang tidak berwenang apa pun terhadap Sentot yang sebagai contoh, memindahtangankan atau mengagunkan rumah itu untuk mendapat kredit uang di bank. Akan tetapi masalahnya adalah, demikian Sentot sempat merenung, untuk apa lagi uang bagi seorang Sentot yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri sipil?

Dusta



Post:  10/10/2005 Disimak: 152 kali
Cerpen: Aminullah HA.Noor 
Sumber: Suara Karya,  Edisi 10/09/2005 

Sudah lima hari saya merasakan nikmatnya berpuasa di bulan Ramadan ini. Soalnya, tiba-tiba saja saya merasakan semua orang menjadi baik kepada saya. Itu saya rasakan ketika saya melunasi kredit saya di sebuah bank. Pejabat kepala bagian kredit bank itu mengatakan kredit saya telah lunas. Tetapi saya ngotot bertahan bahwa sisa kredit saya masih Rp 5 juta lagi. Jadi belum lunas. Itulah yang ingin saya lunasi. Ternyata, meski sudah tiga kali saya mengatakan kredit saya belum lunas, pejabat kepala bagian kredit itu sama ngototnya dengan saya. Ia tetap berpendapat dan menegaskan, kredit saya telah lunas. "Jadi tak perlu lagi setoran Rp 5 juta itu," katanya seraya memperlihatkan kepada saya print out komputer yang membuktikan bahwa kredit saya memang benar-benar telah lunas. 

Pulang Haji



Cerpen: Amien Wangsitalaja 

Sumber: Jawa Pos,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 157 kali
________________________________________
Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.

NYELAMA SAKAI



MONDAY, JULY 18, 2005
 
                                      Cerpen Amien Wangsitalaja

Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.

Keping-keping Seratus Perak



Cerpen: Aliva Yasmin 

Sumber: Republika,  Edisi 12/04/2005 Post:  12/06/2005 Disimak: 128 kali


Gaduh suara roda gerobak sapi yang melintas di jalan bebatuan sudah menghilang di balik tikungan ketika Liana membuka pintu rumah. Segerombolan bocah dekil berlarian sambil memperebutkan sesuatu. Dari kejauhan Minah melenggang dengan bakul jamu yang bertengger di punggungnya sambil sesekali membetulkan letak selendang batik coklat lusuh yang melintas di pundaknya. Gelungan rambutnya menempel hampir di ujung kepalanya. Minah, gadis hitam manis berwajah bundar seperti bulan, menjadi salah satu hiasan pagi sebuah desa di pinggiran propinsi Lampung.

Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta



Cerpen: Alimuddin 

Sumber: Republika,  Edisi 10/30/2005  Post:  11/16/2005 Disimak: 69 kali
________________________________________
Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta.
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.
Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya.

Tanah



Post:  09/05/2006 Disimak: 27 kali
Cerpen: Aliela 
Sumber: Riau Pos,  Edisi 09/03/2006 

1. SEMILIR angin menyentuh ujung gaun bocah kecil berpita merah jambu. Di tangannya setangkai bunga mawar merah jambu layu. Kelopaknya beranjak kecoklatan dan tak lama kemudian kuntum-kuntum itu berguguran. Menyisakan kepala putik yang dipenuhi serbuk sari. Bocah itu merengut, menghilangkan rona pipinya yang merah jambu.

“Bunda, bunga Aisha mati, apakah itu salah Aisha karena tak menyiramnya sore kemarin?”

Matahari pagi tersenyum. Kokok ayam jago bersahutan dengan cericit burung gereja. Embun bergulir di kehijauan daun.

Parewa



Kumpulan Cerpen Khas Ranesi

Ali Yusran Datuk Majo Indo

19-02-2007


"Muhamad Amin, Lahir 20 Januari 1940.  Bagian dari kalimat yang terlukis pada sebuah Al   Hijrat bergambar pemandangan alam dengan latar belakang Jam Gadang. Lukisan itu di atas kaca berukuran 80x80 cm yang dilukis dengan cat minyak. Sudut kirinya sompel sedikit,  karton lapisan belakangnya juga hancur, cat yang digunakan untuk melukis di atas kaca itu telah kehilangan daya kilatnya.  Lukisan itu sendiri sebenarnya sudah kabur, namun kelihatannya Anna mencoba memperbaikinya.

Anna Amin, baru tiba dari jauh. Dari Belanda dia terbang ke Indonesia, ke Sumatera Barat tujuan utamanya.  Memperjelas asal keturunannya, mencari sesuatu jika masih tersisa.  Dari lapangan udara Tebing, Anna naik taksi ke Bukittinggi, begitu petunjuk dari ayahnya.  Dengan kemampuan bahasa Minang dan Indonesia yang cukup baik, Anna tidak canggung untuk berceloteh dengan supir taksi.

Salju





Cerpen Alfred Birney

SOERABAJA Papa telah membeli kereta luncur bekas buat kami, tetapi dia tidak ikut keluar rumah, dia kedinginan, dia berasal dari negeri panas yang tak pernah diguyur hujan salju. Aku berbagi kereta luncur itu dengan adik kembarku, kami harus berbagai segalanya sampai dengan susu yang kami terima di sekolah setiap hari. Kami bergantian saling menarik, bertengkar mengenai giliran siapa sekarang, memandang jalan yang makin ke ujung kian putih, pasti ada salju yang luar biasa banyak di sana, selewatnya deretan panjang rumah-rumah suram, di Taman Zuiderpark dan di belakangnya.
Di sana dunia nyata mulai, kota orang besar. Mereka memakai topi abu-abu dan jas abu-abu, kadang-kadang pejalan kaki yang tersesat mendekatkan kepalanya kepada kami dan kami mendengar dia mengatakan, "Bilang saja kepada ibumu, kamu harus mencuci matamu lebih bersih."

Selamat Natal, Fajar


Buat Seorang yang Sangat Sulit Ditemui
Alexandreia Indri Dewiyanti
26-12-2005

Di seberang sana, entah di mana, aku tahu ada seorang yang sedang menanti keajaiban. Di dalam kebimbangan, kegelisahan dan kesendirian. Kalau bisa, ingin sekali aku mendekapnya dengan ketenangan hati dan memeluknya dengan kebahagian. Dia adalah seorang sahabat, yang tidak tahu keberadaanku saat ini, aku yang merasakan derap kehadirannya dalam setiap hariku. I
Bulan Desember dibasahi oleh rintik hujan. Aku sangat suka hujan. Ia meninggalkan banyak keindahan. Selalu tampak memberikan janji dan pengharapan yang baru setiap musim, setiap tahun. Selama lima tahun aku sudah meninggalkan negeri kelahiranku dan tinggal di negeri yang dingin ini, Netherland. Matahari yang segan, langit biru dan asap awan yang terseduh rintik hujan, semua keindahan ini tetap saja aku lewati dalam hiruk pikuk yang sangat sepi, tanpa Fajar. Aku seperti juga tahun-tahun lalu, masih merindukan Fajar. Bagiku ia adalah sosok patung Malaikat Abigail mungil, yang selalu kunantikan giliran untuk meletakkannya di puncak pohon natal.

BADAI SALJU



 
Aleksandr Pushkin

Pikiran Rakyat, 28 Februari 2002


KISAH ini terjadi pada tahun 1812. Marya Gavrilovna adalah seorang gadis muda yang cantik dan berbahagia. Dia berusia 17 tahun dan jatuh cinta pada seorang perwira tentara bernama Vladimir. Dia menulis surat-surat yang panjang pada si perwira dan Vladimir muda menulis jawaban-jawaban tak kalah panjangnya, ia titipkan lewat pelayan Marya. Dua insan dimabuk cinta ini pun bertemu di sebuah hutan dekat rumah Marya. Namun orang tua Marya Gavrilovna memergoki pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka melarang keras anak gadisnya melakukan pertemuan-pertemuan lagi. Marya patah hati. Namun Vladimir masih berkirim surat-surat kepadanya secara rahasia dan panjang pula.

Kelambu



Cerpen: Akmal Nasery Basral

Sumber: Nova, Tabloid,  Edisi 08/21/2006 Post:  08/22/2006 Disimak: 255 kali

AKU tak menduga hal ini menjadi masalah penting.
"Aku ingin ada kelambu," ujarnya perlahan.
"Maaf?" Aku tak yakin benar-benar mendengar kalimat itu.
"Kamu tak salah dengar. Aku ingin ada kelambu."
"Kelambu?"
"Ya, di malam perkawinan kita."
Aku terkesiap, lalu tertawa lepas. Menggemaskan sekali calon suamiku ini.
"Ada yang lucu?" Air mukanya serius.

LAGENDA GADIS KEDAI BUNGA



Dia mencari pasti di lorong sepi kota pinggiran. Sunyi dari bingar dan kesesakan kenderaan. Dia masih setia menanti jawapan dari penghuni lama yang berkumis tebal sambil bersantai leka di warung kecil. Dia tekun mendengar penjelasan daripada si tua itu tentang kisah lalu. Dia sayu mencula egonya untuk menerima hakikat sebuah kisah yang mencalar memori.

"Dulu memang Pak Andak setuju dengan kata-kata kamu. Kedai bunga itu memang ada di situ. Tapi itu 10 tahun yang lampau. Selepas pemiliknya menjual kedai itu kepada seorang taukeh Cina berlaku pembunuhan misteri ke atas bekas pemilik kedai itu suami isteri. Tapi tiada sebarang siasatan yang dilakukan. Seolah-olah pembunuhan itu telah dirancang oleh pihak tertentu." Pak Andak berhenti berbicara sambil mengeluh pasrah.

Catatan Seorang Pelacur

Cerpen: Akidah Gauzillah 

Sumber: Republika,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 217 kali

Sejak kau pergi, kekasih, bunga-bunga berguguran dari tangkainya. Aku menemui pagi di serambi kedukaan, melihat daun berserakan di tanah retak. Kabut dingin menyelusup ke dalam pintu. Dan aku lihat matahari perlahan-lahan ingin kembali tertidur. Kuturunkan kain yang menyelimuti tubuh, mencari-cari udara di antara serpihan gersang. Tapi tak ada yang terdengar. Bahkan suara hatiku sendiri.

Sedikit demi sedikit, kerapuhan merayap menjelajahi nuansa. Tak ada kata yang terbendung, ketika aku mencoba memadukan luka, rindu, dan kebebasan. Sangat bias salah satu rasa itu pergi, lalu kembali. Berputar-putar. Bertukar tempat.

Sang Calon Bupati



Penulis: akarwangi
03 May 2006, 05:02 WIB - Narasi

Jadi bupati! Hah, dada lelaki tua itu serasa ingin meledak oleh gembira. Terbayang ia berjalan diiringi beberapa pengawal dengan wajah serius sekaligus sedikit kejam, membentangkan tangan memberinya jalan. Beberapa pejabat membungkukkan badan saat mengulurkan tangan hendak menyalaminya.

Lalu ia berpidato di podium. Semua mata tertuju padanya. Semua kagum padanya. Lalu para mahasiswa, petinggi-petinggi organisasi, partai, pengusaha, dan konglomerat, berlomba-lomba menyenangkan hatinya. Ya, suksesnya menjadi bupati adalah sukses negeri ini juga. Negeri yang sekian lama hanya jadi bulan-bulanan, ladang perburuan para penguasa dari pusat.

Radio Transistor



Cerpen: Akbar Faizal

Sumber: Kompas,  Edisi 12/04/2005 Post:  12/06/2005 Disimak: 163 kali

Hujan sore tadi masih menyisakan genangan di jalan becek yang memotong kampung di pinggiran sungai pada kaki bukit. Selain perahu penyeberangan yang ditarik tambang antara kedua sisi sungai, tak ada penduduk yang berani menyeberang dengan perahu kecil lainnya terutama pada musim seperti saat ini.

Hari ini bulan ketujuh sejak Hamid hilang tertelan arus sungai yang membelah kampung itu. Sejak sebuah perusahaan milik orang kota menebang pohon di gunung tepat ke arah matahari terbenam itu, arus sungai menjadi sangat deras. Paling berbahaya sebab batangan pohon sering ikut menerjang apa saja yang menghalanginya. Iman desa Basari pernah ditemukan pingsan dihantam batangan pohon yang hanyut itu saat berak di pinggir sungai. Beruntung ia tidak terbawa arus dan menjadi mangsa buaya putih yang dipercaya penduduk kampung sebagai penjaga sungai itu entah sejak kapan.

Pelacur



Penulis: akarwangi

10 Nov 2004, 14:42 WIB - Narasi


"Sundal! Dasar pelacur! Semoga kau mati disambar petih!" kata-kata perempuan itu keluar seperti air bah dari mulutnya bersama air liur yang muncrat ke sana kemari. Sembari berkata-kata, tangannya menjambak rambut wanita lawan berkelahinya yang tak kalah sengit balas mencaci maki dengan kata-kata yang sama kotornya. Tangannya meninju, menjambak, dan entah apa lagi.

Orang-orang ramai berkumpul menyaksikan. Merkea tanpa sadar telah membentuk lingkaran di seputar dua wanita itu. Ada yang tertawa geli, ada yang memanas-manasi sambil mengepal-ngepalkan tinju, segelintir memandang prihatin.

Perempuan Kecil Bermata Belati



cerita-cerita kehidupan

 

Sunday, October 31, 2004

 

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat.
"Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.

IBU DAN ANAK



Cerpen Ahmad Syam

MIRNA memasukkan foto berukuran postcard ke dalam amplop. Foto seorang pria muda, Reza. Tampangnya tidak begitu ganteng, tetapi dan wajahnya yang bersih menunjukkan pnia itu cukup waktu merawat diri. Jika memperhatikan pakaian yang dikenakannya, kemeja dan celana bermerk plus dasi, pastilah dia cukup bermodal. Setelah menutup rapat amplop dengan lem, Mirna menuliskan alamat kepada siapa foto itu ditujukan, alamat ibunya di kampung. Dengan sedikit penjelasan dalam surat pengantar tentang pria itu, ibunya sudah bisa menangkap pesan Mirna. Sebuah pesan? Ah, sebenarnya lebih pantas disebut sebagai pertanyaan! Boleh dikata, secara berkala Mirna berkirim foto ke ibunya dalam tiga tahun terakhir. Aktivitas yang berlangsung rutin sejak dia bergelar sarjana hingga bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Makassar. Ibunyalah yang meminta. Ibunya pula yang tiada henti menanyakan ke Mirna kapan pulang kampung memperkenalkan calon pendampingnya.

Sunday, 22 June 2014

Keroncong Cinta



Cerpen: Agus R. Sarjono

Sumber: Kompas,  Edisi 08/24/2003 Post:  08/27/2003 Disimak: 191 kali

DENGAN sebal Madelaine meneguk habis jus jeruk dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit sepenuhnya warna aluminium. Gerimis di luar membuat pohonan dan jalanan basah kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus. Bahkan, dari kemarin. Madelaine menghela napas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung dan jas hujan. Dengan cepat ia mengenakan mantel dan mengalungkan syal. Bimbang sejenak. Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat sepeda. Diraihnya payung dan bergegas ke luar. Segera saja dingin menyerbunya tanpa ragu- ragu. Dia mempercepat langkahnya. Memakai sepeda di musim dingin dan hujan menjengkelkannya karena sudah bisa dipastikan wajahnya akan basah kuyup. Namun, jalan kaki dan memakai payung juga menyebalkan. Dia harus berjalan lebih jauh mengarungi udara dingin. Salju yang kemarin masih elok jadi becek dan kotor dan licin.

Riwayat Dana Hibah Belanda



Cerpen Khas Ranesi

Agus Purwanto
08-05-2006
Seperti biasanya setiap pagi, Warto keluar rumah menuntun sepeda jengki memulai perjalanan menuju tempat kerja. Tas kerja dari kulit imitasi warna hitam berisi berkas dan tetek bengek barang keperluannya, dimasukkan di keranjang sepeda di depan stang. Hari ini, ia mengenakan celana biru dan kemeja batik bercorak biru pula. Sedangkan topi biru bertuliskan ‘kopri’, dijejalkan ke dalam tas kerjanya.
Rambutnya tersisir ke belakang, klimis, diminyaki dengan pomade merk yang sama sejak ia SMA. Sepeda dikayuhnya menyusuri jalanan. Beberapa kendaraan diiringi derunya menyalip dan menyimpanginya. Dan sesekali si Upik, sulung Warto yang masih kelas satu SD, yang duduk di boncengannya nyeletuk bertanya atau bernyanyi-nyanyi.

Kumpulan Pantun Cinta Lucu Romantis dan Gombal



Inilah Kumpulan Pantun Cinta Lucu Romantis dan Gombal cewe mana yang tahan digombalin apalagi pakai jurus maut gombal terjitu. Cewe mana yang ga kelepek-kelepek mendengar arjunanya memuji dengan Romantis rayuan pulau kelapa (loh)

Hahai cewek mana yang tahan bila digombalin dengan Pantun Cinta Lucu, pasti deh tambah gimana gitu si cewek. ini saya buatin pantun cinta lucu romantis dan gombal buat sobat kupuciters semua. nyok simak. eitt jangan lupa baca juga yang ini pasti ga kalah gombal dah, apalagi Puisi Cintanya hemm kaga nahan.

DRAMA: TRALALATRILILI (Persahabatan Sejati)




Durasi : 25 Menit
Pengarang : Nita Ocktavia
Tema : Persahabatan, Sekolah, Kehidupan
Aliran : Bahasa Indonesia
Jumlah Karakter : 7 Orang (Tra, Lala, Tri, Lili, Pak Darmo, Kepala Sekolah, Fauzia)
Pagi hari di sekolah didalam kelas ada 3 orang anak murid yang sedang berbincang-bincang. Anak-anak ini mempunyai geng yang bernama tralalatrilili yang anggotanya ada 4 orang. Yaitu Tra, Lala, Tri, Lili. Maka dari itu mereka menamakan gengnya itu “Tralalatrilili”
Tra : (Ceria) ”Pagi Sobat....!!”

DRAMA TERLARANG OPERA KECOA PADA REZIM ORDE BARU




RumahDunia.Net - Panggung (http://www.rumahdunia.net)

- 26 Desember 2007 - 04:47   (Diposting oleh: Rumah Dunia)
oleh Nandang Aradea dan Firman Venayaksa

Seni dan Kekuasaan
Kelahiran drama Indonesia memiliki tempat khusus dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Menurut Saini, (dalam Sahid 2000:45) drama Indonesia adalah salah satu refleksi dari kelahiran dan pertumbuhan sebuah bangsa Indonesia.Tengok saja misalnya dalam masa pergerakan, pengolahan tema-temanya lebih mengekspresikan kesadaran-kesadaran dan aspirasi-aspirasi kebangsaan. Setelah Indonesia menyelamatkan kemerdekaannya, tema-tema itu bergeser pada ekspresi penderitaan maupun kegembiraan dari pertumbuhan sebuah bangsa yang masih dalam proses membangun.

BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH




Para Pemain
1.       Bawang Merah
2.       Bawang Putih
3.       Bawang Bombay
4.       Ibu Bawang Merah
5.       Bapak Bawang Putih
6.       Pangeran
7.       Pengawal I, II, dan III
8.      Peri
Jaman dahulu kala, si sebuah desa yang bernama desa “BUMBU” tinggalah sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga tersebut adalah Ayah Bawang, Ibu bawang daun, dan Bawang putih.
Ayah Bawang  
Bu , nak , Ayah pamit kerja ya. Hati – hati di rumah.
Ibu bawang daun
 iya Yah hati-hati di jalan. Nanti bawang putih mengantarkan makan siang untukmu ke pasar.
Bawang putih
semoga jualan ayah laku ya.

Ayah bawang pun pergi ke pasar untuk berjualan di toko besarnya.

Bawang putih
bu, bawang putih pergi ke sungai dulu ya bu. Asalamualaikum.
Ibu bawang daun
ya hati-hati ya nak.

Serenade



Cerpen: Agus Noor 
 
Sumber: Jawa Pos,  Edisi 10/16/2005 Post:
  10/17/2005 Disimak: 251 kali

AKU suka matanya, seperti langit hampir malam yang dipenuhi kunang-kunang. Kau akan melihat hamparan kesenduan dalam mata itu. Mata yang terlalu melankolis untuk seorang laki-laki yang selalu gugup dan tergesa-gesa ketika berciuman. Tapi sepasang mata itulah yang membuatku jatuh cinta.

Sisa hujan masih terasa dingin di kaca saat aku bertemu dengannya di toko ikan hias. Aku tengah memandangi ikan-ikan dalam akuarium, ketika sepasang mata itu muncul dari sebalik kaca -membuatku terkejut. Di antara ikan-ikan kecil warna-warni, sepasang mata itu bagai mengambang. Sementara gelembung-gelembung udara dan serakan batu koral, membuat wajahnya seperti terpahat di air. Ia mengerdip, entah untuk apa. Tapi aku menangkapnya sebagai semacam isyarat untuk memulai sebuah percakapan.

Ketika akhirnya kami bercakap-cakap sebentar, aku seperti mendengar denting genta, bergemerincing dalam hatiku.

Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya Penumbuhan Sinergi Apresiasi



Minggu, 17 Juni 2001
Oleh Agus Noor


PERSOALAN apreasiasi sastra yang berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah ternyata menjadi faktor krusial yang mesti segera dibenahi. Apreasiasi sebagai "titik awal" siswa mencintai dan (mencoba) memahami karya sastra, ternyata sering tidak tertumbuhkan karena pengajaran sastra yang tidak membuka ruang interpretasi dan dialog, tetapi lebih menekankan pada penghapalan nama-nama sastrawan, periodisasi dan sederet judul karya sastra. Siswa (nyaris) tidak memiliki kesempatan untuk mendiskusikan teks-teks sastra "secara langsung" untuk menemukan penghayatan dan pemikiran mereka sendiri berkaitan dengan karya-karya itu. Terlebih ketika ketiadaan buku sastra di perpustakaan sekolah, membuat siswa cenderung mengenal karya sastra melalui potongan atau kutipan teks, atau rangkuman sinopsis roman yang cenderung simplistis.

Sirkus



Cerpen: Agus Noor

Post:  01/12/2006 Disimak: 122 kali
Sumber: Media Indonesia,  Edisi 01/08/2006

ROMBONGAN sirkus itu muncul ke kota kami....
Gempita tetabuhan yang menandai kedatangan mereka membuat kami--anak-anak yang lagi asyik bermain jet-skateboard--langsung menghambur menuju gerbang kota. Rombongan sirkus itu muncul dari balik cakrawala. Debu mengepul ketika roda-roda kereta karnaval berderak menuju kota kami. Dari kejauhan panji-panji warna-warni terlihat meliuk-liuk mengikuti musik yang membahana. Dan kami berteriak-teriak gembira, "Sirkus! Sirkus! Horeee!!!"
Sungguh beruntung kami bisa melihat rombongan sirkus itu. Mereka seperti nasib baik yang tak bisa diduga atau diharap-harapkan kedatangannya. Rombongan sirkus itu akan datang ke satu kota bila memang mereka ingin datang, menggelar pertunjukan semalam, kemudian segera melanjutkan perjalanan. Rombongan sirkus itu layaknya kafilah pengembara yang terus-menerus mengelilingi dunia, melintasi benua demi benua, menyeberangi lautan dan hutan-hutan, menembus waktu entah sejak kapan.

Rendezvous




Cerpen: Agus Noor

Sumber: Media Indonesia,  Edisi 04/28/2002 Post:  09/25/2002 Disimak: 275 kali

SUATU malam aku terdampar di sebuah kafe. Ah, terdampar! Aku merasa pas dengan ungkapan itu.Seperti biasa, begitu malam menyepuhkan kelam, aku segera berkelebat keluar rumah seperti kelelawar terpesona kegelapan yang gaib. Kegelapan yang selalu membuat seluruh sarafku meremang lantaran sisa hangat matahari yang bagai menguap, suara-suara yang perlahan mengendap dalam gelap, remang bayang dan langit yang bimbang menyaksikan kota yang mengubah diri dengan terang cahaya. Tetapi, kesunyian yang menyebar di udara bagai menghisap gemerlap cahaya itu, hingga kota terlihat memucat seperti wajah seorang tua yang tengah sekarat.Mobil meluncur pelan dan tenang.

Potongan-Potongan Cerita di Kartu Pos




Cerpen: Agus Noor

Sumber: Jawa Pos,  Edisi 08/06/2006 Post:  08/09/2006 Disimak: 153 kali

________________________________________
SAYA mendapat beberapa kiriman kartu pos dari Agus Noor. Pada setiap kartu pos yang dikirimnya, ia menuliskan cerita -tepatnya potongan-potongan cerita- tentang Maiya. Berikut inilah cerita yang ditulisnya pada kartu pos-kartu pos itu:

Kartu Pos Pertama & Kedua

MAIYA terpesona melihat kemilau kalung manik-manik itu. Tak pernah Maiya melihat untaian kalung seindah itu. Pastilah dibuat oleh pengrajin yang teliti dan rapi. Ada juga anting-anting, bros dan gelang. Maiya menyangka semua perhiasan itu terbuat dari berlian.

"Ini bukan berlian, Nyonya," jelas perempuan itu. "Ini manik-manik airmata…"

Mata Mungil yang Menyimpan Dunia


Post:  03/13/2006 Disimak: 146 kali
Cerpen: Agus Noor 
Sumber: Kompas,  Edisi 03/12/2006 

Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermain-main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari celah conblock.
Karena kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan teriakan-teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa. Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil, agar ia bisa mendengar apa yang diteriakkan bocah itu. Tapi Gustaf malas menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan menyerbu begitu kaca mobilnya terbuka.
Maka Gustaf hanya memandangi bocah itu dari dalam mobilnya yang merayap pelan dalam kemacetan. Usianya paling 12 tahunan. Rambutnya kusam kecoklatan karena panas matahari. Selalu bercelana pendek kucel. Berkoreng di lutut kirinya. Dia tak banyak beda dengan para anak jalanan yang sepertinya dari hari ke hari makin banyak saja jumlahnya. Hanya saja Gustaf sering merasa ada yang berbeda dari bocah itu. Dan itu kian Gustaf rasakan setiap kali bersitatap dengannya. Seperti ada cahaya yang perlahan berkeredapan dalam mata bocah itu. Sering Gustaf memperlambat laju mobilnya, agar ia bisa berlama-lama menatap sepasang mata itu.

L’abitudine



Cerpen: Agus Noor 

Sumber: Kompas,  Edisi 01/18/2004 Post:  01/20/2004 Disimak: 245 kali
________________________________________
SERINGKALI Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.
SUNGGUH Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri…." Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. "Setidaknya aku ingin menjadi merpati."

Kupu-kupu Seribu Peluru


  Cerpen: Agus Noor 

Post:  02/22/2004 Disimak: 342 kali
Sumber: Kompas,  Edisi 02/22/2004

BAGAIMANAKAH kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?
RASANYA belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan, perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis itu sembari berbisik perlahan, "Domba kecilku..." Ia terpesona oleh mata bening gadis kecil itu.