(Paul Sintli Joyodigimin 2)
Cerpen Aribowo
MONDAY, JANUARY 17, 2005
Sepintas lalu Paul Sintli
Joyodigimin melihat perempuan itu di pojok cafe Tunjungan Plasa, di satu siang
yang panas. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu ketawa
manja di pangkuan seorang laki-laki hitam besar. Dia dikelilingi 4 laki-laki
bertubuh besar. Para laki-laki itu sebentar-sebentar ketawa sambil mencubit
manja perempuan itu. Dari jarak jauh Paul Sintli melihat perempuan itu bagai
boneka Barbie yang sedang ditimang-timang 5 laki-laki. Tubuhnya seolah
dilemparkan dari satu tangan ke tangan besar lainnya disertai gelak tawa yang
keras. Tubuh perempuan itu bagai kapas: dilempar-lemparkan, digoyang-goyang,
dicubit-cubit, dan digendong-gendong. Dalam pandangan sepintas lalu itu Paul
Sintli Joyodigimin merasa seperti menonton film. Tapi entah film apa. Entah
sesuatu yang lain apa, sesuatu yang riang apa, sesuatu entah apa dan di mana.
Tidak dinyana keesokan harinya
Paul Sintli Joyodigimin melihat kembali perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh
di dalam Surabaya Plasa. Di antara kerumunan pengunjung perempuan itu bergerak
cepat bagai bayangan ketakutan. Tubuh sintal itu seolah berkelebat-kelebat
menyalip setiap orang. Lalu di pojok ruang perempuan itu menyaut gagang telepon
umum dan akhirnya dia berkata habis-habisan. Matanya yang besar bulat melotot
seperti sedang dicukil ketika berkata-kata di depan gagang telepon. Tidak lama
kemudian tampak air matanya muncrat-muncrat. Dalam pandangan sepintas lalu itu
Paul Sintli Joyodigimin menyaksikan perempuan itu berbicara terus-menerus
sambil menangis lebih dari dua jam. Suaranya menyalak-nyalak, badannya
bergoyang-goyang, ludahnya muncrat-muncrat, dan tangannya berkali-kali
memukul-mukul perutnya. Paul Sintli Joyodigimin tak bisa mendengar sepotong pun
kata-kata perempuan itu, seperti ribuan orang yang ada dalam plasa, sehingga
tak bisa dirasakan sedikit pun kata pedih perempuan itu kecuali air matanya
yang terus-menerus muncrat. Terbersit sedikit oleh Paul Sintli untuk memberi
kata-kata dari drama sepintas lalu perempuan itu dalam buku catatannya, tetapi
mendadak dia batalkan: "ah, apa yang bisa diambil dari dunia sepintas
lalu, kecuali serpihan kertas kosong jalanan?"
Dua jam perempuan itu
terjerembab. Badannya lemas menggelepar di lantai. Badan sensual dan berambut
panjang itu beberapa menit tersungkur di atas lantai tak bergerak sedikit pun.
Bagai mayat. Setengah jam kemudian dia bangun kembali dan langsung disautnya
gagang telepon. Dia bicara lagi, keras-keras, lalu kepalanya geleng-geleng, dan
akhirnya nangis terguguk-guguk. Dibantingnya gagang telepon. Sebentar kemudian
direnggutnya gagang telepon kembali: bicara lagi. Keras-keras. Kakinya
mencak-mencak. Dengan agak kasar dia ambil botol kecil air aqua dari dalam tas
kecilnya dan kemudian diminum cepat-cepat sambil mulutnya terus bicara di depan
gagang telepon.
Setelah kesal bicara melalui
telepon perempuan itu naik ke lantai 3. Dia masuk ke cafe. Di dalam cafe
ternyata telah berkumpul 5 laki-laki bertubuh besar. Perempuan itu segera
dipeluk-peluk oleh 5 laki-laki itu. Suara ketawa meledak di antara 5 laki-laki
dan perempuan itu. Dari jauh, secara sepintas lalu, Paul Sintli Joyodigimin
seolah-olah melihat perempuan itu bagai boneka Barbie dilempar-lempar dari satu
tangan besar ke tangan besar lainnya. Dari satu pelukan ke pelukan lainnya.
Sambil badan sensual perempuan itu dipijit-pijit. Tiba-tiba Paul Sintli
Joyodigimin mengambil buku catatannya dan menulis pendek: "Apakah ini goa
angs?" Tiba-tiba Paul Sintli Joyodigimin menyangkal sendiri. Menyangkal
berkali-kali, berkali-kali. Tapi catatan pendeknya tak dihapus pula.
Seminggu kemudian Paul Sintli
Joyodigimin secara tak sengaja melihat sepintas lalu perempuan itu bersama
pejabat Pemerintah Kota Surabaya membuka acara amal untuk yatim piatu di Balai
Kota Surabaya. Dia berbicara sangat serius dengan para pejabat Pemerintah Kota.
Mereka saling hormat. Mereka saling bungkuk-membungkuk. Dari jauh Paul Sintli
Joyodigimin sepintas lalu melihat perempuan itu memimpin acara dan lalu
menyanyi dan menari dengan lemah lembut bersama-sama anak yatim piatu. Sebentar
kemudian diikuti oleh para pejabat Pemerintah Kota menari-nari. Para wartawan
memotret dari tiap sudut ketiak perempuan itu. Mereka ikut-ikutan menari dan
menyanyi. Di antara pejabat Pemerintah Kota Surabaya ada ulama, pendeta, dan
para pengusaha. Mereka saling doa, saling pidato, saling prihatin, saling bantu
uang, saling menghibur para yatim piatu. Bahkan ada yang sampai saling
menangis. Akhir acara amal itu adalah makan bersama antara pejabat Pemerintah
Kota, ulama, pendeta, pengusaha, perempuan itu, dan anak yatim piatu.
Selesai menyaksikan acara amal
yatim piatu di Balai Kota Surabaya Paul Sintli Joyodigimin segera membuka buku
catatannya. Dia menulis agak panjang sedikit. Dia mulai dari kalimat "Dari
goa angs...mengangkat batu ke atas bukit dan selanjutnya terhempas di ketiak
waktu sepintas lalu". Kemudian dengan telaten Paul Sintli Joyodigimin
memasukkan beberapa lembar kertas catatannya ke dalam surat. Dia kirim
catatannya itu ke beberapa redaksi koran dan majalah. Keesokan harinya beberapa
koran dan majalah memuat berita tentang catatan Paul Sintli Joyodigimin.
Catatan tentang manusia tergopoh-gopoh. Bergerak-gerak, bergoyang-goyang,
berkelebat-kelebat, dan tergopoh-gopoh. Manusia yang dipilin-pilin waktu
sepintas lalu. Manusia entah dengan catatan entah apa. Tapi semua merasakan,
ada di antara kita semua.
Paul Sintli Joyodigimin sendiri
merasakan jarak yang jauh antara yang dirasakan dan ditulisnya dalam catatan
hariannya dengan yang ditulis koran. Rasanya wajahnya dipilin-pilin oleh media
massa. Bahkan dibongkar-bongkar lalu disusun kembali dari tata rak komputer
media massa. Apalagi wajah perempuan itu dipilin jadi Barbie. Tapi semua itu
dibiarkan oleh Paul Sintli Joyodigimin. Yang penting dia bisa leluasa menangkap
dunia perempuan sepintas lalu yang pernah lalu dalam dirinya.
Tiba tiba tumbuh gairah untuk
membungkus kelebatan perempuan yang sepintas lalu itu dalam pengalamananya. Dia
coba susun dalam pengalamannya masa kecil, remaja, merantau, dan
kesendiriannya. Dicari benang merah. Dicari akar mulai sebagai sosok sementara.
Sayangnya sosok perempuan itu tiba-tiba tak pernah nampak kembali. Perempuan
itu tak muncul lagi dari pandangan Paul Sintli Joyodigimin.
Selama berhari-hari Paul Sintli
Joyodigimin mencari perempuan itu di mal-mal Surabaya. Mulai pagi sampai malam
hari. Dari cafe ke bioskop dia cari cari. Bahkan dari toilet ke toilet mal dia
masuki. Saking kesalnya, kadang-kadang dia membayangkan setiap perempuan di
dalam mal adalah perempuan itu. Kemudian dia lihat dari jauh, seperti orang
sedang memantau kampanye pemilu.
Tapi gagal. Perempuan sepintas
lalu itu berbeda dengan semua perempuan yang ada di mal-mal. Perempuan sepintas
lalu adalah perempuan sepintas lalu. Selalu dalam dunia sepintas lalu. Tidak
ada perempuan mal yang berada dalam kelebatan dunia sepintas lalu, kecuali
perempuan sepintas lalu itu.
Paul Sintli Joyodigimin mulai
kesal. Frustrasi. Perempuan sepintas lalu itu tak secuil pun berbekas dalam
mimpi-mimpinya. Mimpi Paul mulai berisi goa-goa yang kosong. Gurun-gurun kering.
Dan kelengangan yang dingin. Baru kali ini Paul merasakan dirinya seperti
terbang tatkala mengulum sebongkah bayangan hilang perempuan sepintas lalu.
"Bagaimana catatan ini akan kuselesaikan, kalau dia berakhir dalam
sepintas lalu?" keluh Paul sambil mengucak-ucak matanya di atas tempat
tidur.
Akhirnya Paul Sintli Joyodigimin
memutuskan untuk mengontak para pejabat kota yang pernah bikin acara yatim
piatu beberapa hari lalu. Semua pejabat kota yang dihubungi merasa tidak pernah
kenal perempuan sepintas lalu. Semua pejabat kota Surabaya seperti membayangkan
cahaya asing setiap diminta mengingat perempuan sepintas lalu. Lubang
kemungkinan apa pun dia tempuh untuk menemukan kembali perempuan sepintas lalu.
Berhari-hari, berminggu minggu, dan berbulan-bulan. Sia-sia: perempuan sepintas
lalu seolah telah menguap dan lenyap.
Saking kesalnya Paul Sintli
Joyodigimin mulai tidak tidur di rumah lagi. Dia berjalan dari satu gang ke
gang lain: hanya mengejar bayangan perempuan sepintas lalu yang lenyap. Dia
panggili perempuan sepintas lalu dengan kalimat, "Sisipus...Sisipus...di
mana kamu?" di setiap kegelapan malam. "Bukankah pada setiap
kesementaraan kita bisa menamai apa pun?" tulis Paul dalam catatannya.
Malam larut dicabik-cabik oleh suara Paul yang mulai kering. Dan tetap saja dia
dimakan kesenyapan.
Paul Sintli Joyodigimin mulai
menulis lagi di koran-koran. Setiap hari koran-koran Surabaya diberondongi Paul
Sintli Joyodigimin tentang manusia perempuan sementara dan sepintas lalu.
Anehnya semua koran meneruskan tulisan Paul Sintli Joyodigimin dengan kalimat:
dunia sementara dan sepintas lalu. Macam bayangan yang berkelebat-kelebat dan
akhirnya lenyap. Semua di matanya sedang dalam kelenyapan, ketiadaan, minimal
sepintas lalu. Sementara. Sejenak. Sejenak ada perempuan sepintas lalu, sejenak
ada mimpinya tentang tubuhnya yang ingin berubah, tapi tinggal mimpi belaka.
Dan sejenak tidak ada siapa siapa, kecuali catatannya yang tak pernah utuh.
Saking jengkelnya Paul Sintli
Joyodigimin mengambil pistolnya. Dia kejar bayangan lenyap perempuan itu. Di
tiap jam, detik, dan hari perempuan itu dikejar-kejar pistol Paul Sintli
Joyodigimin. Saat ini tak banyak yang diinginkan: hanya tampak sebentar,
sebentar saja, dan kemudian disempurnakan dengan tembakan: dor! Seolah-olah
setelah menembak wajah kelebat perempuan itu akan berakhir semuanya dalam
keutuhan. Seolah-olah semua akhir telah dekat. Seolah-olah pistol bisa
menyelesaikan dan mendekatkan ketidakjelasan menjadi kekonkretan wajah
perempuan itu?
Berkali-kali pelatuk pistol
ditarik: dor, dor, dor, dor! Di setiap ruang rumahnya telah ditembaki,
seolah-olah menembak bayang-bayang perempuan itu. Seolah-olah darah telah
mengucur dan muncrat-muncrat. Seolah-olah Paul Sintli Joyodigimin menembak
sesuatu yang ada, padahal tidak ada. Setelah pelornya habis Paul Sintli
Joyodigimin mulai menyadari: perempuan sepintas lalu itu tak pernah mau pergi
dari bayang-bayang dirinya. Dan hanya satu cara untuk menghilangkannya:
mengakhiri dirinya sendiri. Sebab yang sepintas lalu telah nyata dalam dirinya:
gelisah. ***
Surabaya, 10 Agustus 2004
posted by imponk | 4:05:16 AM
Haloo kak boleh tanya gak tentang biografi penulis cerpen ini? biografi aribowo ini. Terima Kasih.
ReplyDelete